Share

Mas Duda (Indonesia)
Mas Duda (Indonesia)
Penulis: Ade Tiwi

Part 1

Wika mengumpati dirinya melihat dari kejauhan sosok dosennya yang mengajar di kampus. Dosen yang sekarang merangkap menjadi tetangga baru di komplek lingkungan perumahan ini.

Merasa bingung, haruskah Wika menegur saja dosennya atau berpura-pura tidak melihat dengan cara menundukkan kepalanya? 

Aishh! Wika mengomel ngedumel tak jelas. Lagian, ngapain juga tuh si dosen pakai acara ikut-ikutan joging segala. 

Tak mau ambil pusing karena si dosen yang hampir dekat sedikit lagi akan lewat melintasinya. Wika pun membungkus kepala sampai batas hidungnya dengan penutup kepala hoddie yang di pakainya.

Hal ini tentu sangat membantu Wika, dengan begini ketika sang dosen melewatinya di jamin tidak akan mengenali sosoknya.

Wika bersorak gembira karena tak harus larut dalam situasi berbasa-basi menegur sang dosen. Di kampusnya saja Wika sangat membenci ketika ia mengajar dan Wika lebih sering memilih bolos, padahal Wika sangat suka pelajaran bahasa Inggris.

Selesai joging, Wika masuk ke dalam rumahnya dengan tubuh yang bersimbah penuh keringat, Wika berjalan ke arah lemari pendingin, membukanya dan mengambil satu botol air mineral dingin. Meneguk isi di dalam botol tersebut sampai tandas.

Wika membuka jaketnya karena merasakan panas dan membiarkan tubuhnya yang hanya mengenakan tank top. Inilah kebiasaan Wika yang memang suka saat berolahraga mengunakan jaket dan celana training panjang, hal itu Wika lakukan karena menurutnya membakar lemak dalam tubuhnya lebih banyak, karena Wika tidak suka tubuhnya menjadi gendut.

Wika berjalan ke arah dapur dimana sang mama tercintanya pasti sedang berkutat disana. Dan dugaan Wika benar, mamanya tengah membuat sarapan untuk mereka.

Beruntung hari ini hari libur, jadi Wika bisa sedikit bersantai dan menenangkan otaknya yang stress menghadapi segala urusan kuliahnya. Menghampiri sang mama dan memberikan kecupan manis di pipi mamanya.

"Pagi sayang, baru pulang joging?" tanya Bu Asti menyapa putrinya yang sejak pagi sudah tak terlihat keberadaannya di rumah.

Wika mengangguk, lalu kemudian matanya berbinar bahagia saat melihat sebuah kue cokelat kesukaannya.

"Kue cokelat!" pekik Wika bahagia dan hendak mengambil kue cokelat itu untuk ia makan.

Gerakan tangan Bu Asti menghentikan pergerakan Wika, menatap ibunya dengan pandangan bingung.

"Kenapa, Ma?" tanya Wika.

"Nanti saja makannya, sekarang bantu mama dulu ya?!" 

"Boleh, bantu apa ma?" tanya Wika antusias.

"Tolong kamu antarkan separuh dari kue cokelat ini ke rumah tetangga baru yang ada di sebelah rumah kita." kata Bu Asti yang langsung memotong kue itu menjadi bagian kecil-kecil.

Jederrrr.

Bagaikan kesambar petir tubuh Wika menegang kaku jegang-jegang dengan wajah gosong, sayangnya wajah Wika tidak gosong melainkan merah padam kala ia harus menuruti permintaan mamanya.

"Ini!" Bu Asti menyodorkan piring yang berisi potongan kecil-kecil kue bolu cokelat tersebut untuk di berikan ke tetangga baru.

Wika menatap bergantian ke arah kue cokelat itu dan mamanya. Bu Asti mengerutkan dahinya bingung saat melihat ekspresi raut wajah anaknya.

******

Setelah bersusah payah menolak permintaan sang mama, akhirnya Wika kalah dan tetap harus mengantarkan kue cokelat itu untuk dosennya.

Menghembuskan nafas kesal berulang kali sambil menatap pintu di depannya kini sebelum mengetuknya. Wika dilanda rasa bimbang, ketuk, tidak? Ketuk, kabur saja? 

Tidak, tidak. Perintah ibunya harus tersampaikan. Jika tidak maka akan menjadi bencana besar, bagaimanapun ini amanah, amanah yang membawa bencana.

Baru saja tangan Wika terangkat ingin mengetuk pintu tersebut, namun pintu sudah terbuka lebih dulu dan membuat tangan Wika menggapai udara. 

Mangerjapkan mata berulang kali sebagai reaksi spontan yang Wika lakukan, tangannya yang terangkat dengan terkepal pun ia ubah dengan gerakan lima jari yang melambai. Nyengir cengengesan menyapa sang dosen dengan sangat kikuk.

"Hehe, selamat pagi pak Pras." sapa Wika membungkukkan badannya sedikit sebagai sikap hormatnya.

Pras memperhatikan wanita di depannya saat ini dengan sorot mata menyipit. "Pagi, siapa ya?" 

Dia tidak mengenaliku? Atau pura-pura lupa? batin Wika bingung. 

Tapi, baguslah jika dia tidak mengingatku. Aku kan memang selalu bolos tiap ada pelajarannya, hihi. sambung batin Wika bersorak gembira.

"T-tetangga," Wika menunjuk ke arah sebelah dimana rumahnya berada.

Pras mengikuti arah jari Wika kemudian mengangguk mengerti. "ada apa?" tanya Pras tak suka berbasa-basi.

"Ah iya, ini!" Wika menyodorkan Piring berisi kue bolu cokelat. "Dari mama saya untuk bapak." kata Wika tersenyum.

"Untuk saya?" ulang Pras menunjuk dirinya sendiri memastikan jika wanita ini tidak salah mengasih.

Tidak pak, kue ini tadinya mau saya buang ke tong sampah. batin Wika ingin menyuarakan kata-kata itu.

"Iya pak, kue ini untuk bapak. Mama saya membuatnya dengan penuh kasih sayang dan ketulusan loh pak, mohon di terima ya." ucap Wika memasang wajah sendu yang menggemaskan.

Pras tersenyum senang dan segera meraih piring tersebut. "Terima kasih ya." 

Wika mengangguk dengan cepat, "sama-sama pak, kalau begitu saya permisi." kata Wika cepat dan terburu-buru hendak pergi dari situ

"Tunggu!" suara Pras berseru menyuruh Wika untuk berhenti.

Gerakan langkah kaki Wika berhenti. Mampus! Apalagi nih? 

Wika kembali berbalik badan menghadap Pras dengan senyuman manis. "Iya pak, kenapa ya?" 

Dahi Pras berkerut dalam seakan-akan tengah mengingat-ingat sesuatu. "apakah sebelumnya kita pernah bertemu dan saling mengenal?" tanya Pras yang seperti mengenali Wika.

"Dan, kamu juga tahu nama saya." 

Wika sekarang tahu jika pak Pras memang tak mengenalinya. Haruskah Wika merasa sedih atau gembira? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status