Jarum pendek jam dinding menunjuk angka lima. Jenar menutup laptopnya, lalu melepas kacamata anti radiasi yang selalu dia kenakan saat bekerja di depan perangkat komputer. Sudah waktunya pulang, pikirnya dengan hati riang. Gadis berusia 23 tahun itu hidup dengan cara sederhana dan juga dengan pola pikir yang sederhana. Baginya, hidupnya kini sudah sempurna, setidaknya hampir sempurna.
Lulus dari fakultas akuntansi setahun yang lalu dengan tepat waktu, bekerja di sebuah perusahaan kecil delapan jam sehari, tinggal di sebuah kost yang dia dekorasi sendiri, libur di akhir pekan dan bisa bermalas-malasan seharian, semuanya sempurna. Jenar tak pernah merasa kekurangan lagi, meski orang-orang bilang hidupnya terlalu membosankan dan agak datar. Jenar tak peduli apa kata orang. Apa lagi, sejak sebulan yang lalu, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia punya pacar.Pacarnya bekerja satu divisi dengannya, seorang senior bernama Jaka. Mereka mulai saling tertarik sejak beberapa bulan lalu, tak disangka Jaka melakukan gerakan cepat dengan menyatakan perasaan bulan lalu, dan Jenar menerimanya. Jenar suka berkhayal sendiri, Jenar dan Jaka, sebuah kombinasi yang tepat di kartu undangan pernikahan. Jenar memang tak mau buang waktu dengan berlama-lama berpacaran, dia dan Jaka sepakat untuk serius.Dua sejoli itu sama-sama berasal dari keluarga baik-baik, semakin cepat menikah akan semakin baik. Rencananya akhir tahun ini mereka akan menikah, setelah pernikahan itu terjadi, hidup Jenar akan sempurna seutuhnya.***"Nar, mau langsung balik, ya?"Teman kerja Jenar, Ratu, menyapanya setelah dia selesai mengemasi seluruh barang-barangnya ke dalam tas. "Iya, nih. Kenapa?" Jenar mengikat rambut panjang sepunggungnya."Hari ini gue ulang tahun, loh! Lu mesti datang, ya!" ajak Ratu.Jenar bengong sesaat. Ratu persis seperti namanya, cewek kaya raya ini punya gaya hidup yang berbanding terbalik dari Jenar. Ratu memiliki tas-tas mahal, bajunya selalu ketat dan mencolok, wajahnya selalu didempul riasan, dan dia juga memiliki ponsel-ponsel terbaru yang super canggih dan mahal. Pokoknya, dia dan Ratu seolah punya dinding penyekat. Entah kenapa tiba-tiba Ratu mengajaknya untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, meski mereka tak begitu akrab."Eh ... selamat ulang tahun ya, Rat! Tapi ... gue mesti langsung pulang sekarang, soalnya gue mesti nonton acara reality show favorit gue malam ini." Jenar menolak pelan.Air muka Ratu langsung berubah, egonya jelas terluka lantaran dia tak terbiasa menerima penolakan, mungkin Jenar adalah orang pertama yang menolak ajakannya. "Gak asyik banget sih lu! Kita kan sama-sama karyawan baru di sini, anggap aja ini pengenalan! Mau ya? Gue tunggu loh!" Ratu kukuh memaksa, dia tak akan menyerah sampai Jenar mengiyakan tawarannya, yang lebih tepat disebut sebagai paksaan.Jenar menghela napas panjang. "Oke, deh, Rat ... di mana acaranya?" tanya Jenar yang pasrah menerima.Ratu mengeluarkan sebuah kartu kecil. "Nih, lu datang aja ke klub malam ini ntar jam sepuluh, terus lu tunjukin kartu ini ke security-nya, biar lu dibolehin masuk!" jawab Ratu.Jenar menerima kartu kecil itu dengan gugup. Seumur hidup dia belum pernah masuk ke klub malam, ini akan jadi pengalaman pertama kalau dia sungguh akan datang. "Klub ... malam?" bisik Jenar tak percaya."Santai aja, kali! Kita kan udah cukup umur, lu tinggal datang aja! Gue tunggu ya, see you there, Jenar!" Ratu melambaikan tangannya sebelum dia keluar duluan.Selama beberapa menit Jenar memandangi kartu bertuliskan STARCLUB VIP PASS itu. Hati Jenar mencelos, ini sama sekali tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Namun, tak enak pula menolak ajakan Ratu, dia sudah menurunkan levelnya untuk mengajak orang seperti Jenar ke pesta ulang tahunnya, setidaknya dia mesti hadir meski hanya beberapa menit."Kita pulang sekarang?"Jenar terkejut lagi, mendadak Jaka muncul di hadapannya. Pria berkulit kuning langsat itu memiliki wajah yang manis dengan perawakan pria baik-baik, dia seperti Jenar versi laki-laki. "Oh iya ... aku udah siap," jawab Jenar. "Tapi, nanti malam aku akan keluar ya! Aku cuma mau ngasih tau kamu aja."Alis Jaka terangkat. "Ke mana? Ada apa malam ini? Kamu mau aku temani?" tanya Jaka.Jenar menggaruk alisnya bingung. "Eh ... si Ratu, kamu kenal kan? Dia tiba-tiba aja ngundang aku ke pesta ulang tahunnya malam ini, gak enak kalau ditolak, dia sampe maksa gitu."Ekspresi Jaka berubah total, kini dia tampak cemas. Dia sudah tahu reputasi Ratu yang suka pergi dugem dan dekat dengan dunia malam. "Kamu yakin mau datang? Itu sama sekali gak cocok dengan kita, dia pasti minum minuma keras.""Iya aku tau, tapi kan ... aku beda dari dia, aku gak mungkin minum, aku gak mungkin melakukan hal kayak gitu." Jenar berusaha meyakinkan Jaka."Kalau gitu aku temani, ya." Ucapan Jaka lebih bisa disebut sebagai paksaan dan bukannya permintaan.
"Janganlah, gak apa-apa kok, aku akan baik-baik aja. Aku gak akan ngapa-ngapain, aku janji langsung pulang nanti, ya ya ya? Aku gak akan lewat jam sebelas malam nanti pulangnya. Setelah sampe di kost-an, aku bakal langsung hubungin kamu nanti, aku akan kirim bukti kalau pulang selamat."
Bibir Jaka bergerak-gerak, dia sepertinya menimbang-nimbang. "Ya udah, tapi cukup sebentar aja ya, apa perlu nanti kamu aku antar dan jemput?" tanya Jaka lagi.Jenar langsung menolak, tak mau merepotkan Jaka. "Gak apa-apa, nanti aku bisa naik taksi, kok!" tolak Jenar."Ok, aku antar balik ya sekarang?" Jaka menyerahkan helm pada Jenar.Sepasang kekasih seumur jagung itu lantas pulang bersama dengan sepeda motor tua kesayangan Jaka. Usai mengantar Jenar ke gedung kost tempat Jenar tinggal, Jaka langsung berbalik untuk pulang, pria muda itu masih tinggal bersama orang tuanya.***Sampai di dalam kost, Jenar langsung membongkar habis lemarinya. Dia tak punya banyak pakaian pesta, bahkan malah nyaris tak punya. "Gawat ... aku cuma bakal jadi bahan lelucon nanti di sana, habislah aku ... huh ..." keluh Jenar sambil memandangi gaun-gaun bututnya. "Apa aku batal aja, ya? Tapi besok aku gak akan enak pas ketemu sama Ratu," gumam Jenar bicara pada dirinya sendiri.Tangan Jenar mengangkat satu gaun yang rasanya agak mendingan. Gaun malam berwarna hitam itu adalah gaun yang dia pakai saat malam perpisahan setelah lulus SMA beberapa tahun yang lalu, masih muat di tubuh rampingnya sebab tubuhnya memang termasuk sulit gemuk. Gaun polos itu berlengan buntung, ketat di badan, membuat tubuh Jenar terlihat cukup seksi.Jenar sebetulnya cantik, dia juga punya wajah dan senyum yang manis, hanya saja kepribadiannya yang pendiam dan datar membuatnya tak terlihat menarik, Jenar tak pernah merasa dia cantik."Udahlah, ini aja, deh! Bodo amat!" putus Jenar sekenanya seraya menyusun lagi pakaian yang dia bongkar di atas tempat tidur manisnya.Jenar harus bersiap-siap sekarang.***Jenar masuk ke dalam klub malam dengan gugup. Wajahnya melongo memandangi sekitar. Melebihi ekspektasinya, klub malam itu jauh lebih gemerlap dan mewah tampaknya. Klub malam itu berlantai dua, dengan panggung yang cukup besar. Lampu berwarna-warni berpendar di segala arah. DJ bermain musik dari atas panggung, lantai dasar adalah lantai dansa tempat orang-orang menari, dan ada juga bar. Sementara di lantai dua ada banyak sofa dan meja tempat para pengunjung bisa duduk menikmati musik atau hanya mengobrol.Seluruh klub malam itu disewa oleh Ratu untuk malam ini, semua tamu bisa meminum atau memesan makanan apa saja tanpa perlu khawatir dengan harganya, jelas sekali dia adalah putri orang kaya. Jenar sampai tak bisa membayangkan kenapa dia bisa emmiliki rekan kerja sekaya Ratu. Dia tak tahu latar belakang gadis cantik itu, tapi pastinya dia bukan berasal dari keluarga sembarangan.jenar kikuk berjalan berputar-putar di lantai dasar klub malam dengan mata yang tak
Kepala Jenar sakit luar biasa, cahaya matahari yang menembus jendela tepat mengenai matanya. Dia bergerak gelisah, rasanya seluruh tubuhnya terasa berat dan mukanya terasa membengkak. Jenar tak tahu dia sedang berbaring di atas tempat tidur siapa, tapi pastinya ini bukan tempat tidurnya, terasa berbeda, ini jauh lebih empuk dari tempat tidurnya di kamar kost.Jenar berbalik badan, mencoba membuka mata dan menatap langit-langit. Putih bersih, langit-langit kamar itu putih bersih. Jenar ingat kalau cat kamar kostnya seluruhnya berwarna biru langit. Jenar seketika langsung bangkit, dia lebih kaget lagi saat sadar tubuhnya hanya dibalut sebuah selimut. "Aku di mana?!" pekiknya panik sambil memegang rambutnya yang berantakan.Dia merasa ada yang aneh, ada yang tak biasa, ada yang berbeda di tubuhnya. Dia merasa bagian bawahnya terasa perih dan berbeda, dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dia ingat semalam, dia minum bersama model tampan asing bernama Dean,
"Gue gak butuh tanggung jawab lu! Manusia monster!" Jenar memukul lengan Remo kuat-kuat. Dia masih belum tenang juga.Remo melongo melihat amukan Jenar yang tak main-main. Pikirannya jadi diimpit dua hal, dia merasa bersalah sekaligus merasa tak bersalah dalam waktu bersamaan. "Santai! Rileks ~! Udah kayak mau mati aja!" sahutnya mencoba menganggap remeh."Ya! Gue lebih baik mati ketimbang harus ngelakuin ini sama lu!" Air mata Jenar terus membanjiri pipinya.Rasa iba Remo jadi kian membumbung, rasa bersalahnya pada Jenar jadi makin tinggi. Biasanya hal seperti ini terjadi, para perempuan itu justru senang, baru kali ini ada perempuan yang secara mentah-mentah menolak dirinya. Dia tak bisa tinggal diam begitu saja. "Gue tau gue salah ... tapi gue akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa, gue gak akan meninggalkan lu gitu aja, rileks oke?" katanya pelan, matanya berkedip-kedip, menandakan tak enak hati pada Jenar."Apa kata Jaka nanti? Gue
"Ada apa, Nar? Cerita sama aku." Jaka duduk di depan TV tanpa ragu. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Jenar semalam hingga gadis itu tak bisa dia hubungi.Bibir Jenar menjadi lebih kering, dia gugup luar biasa. Tidak mungkin dia jujur pada Jaka soal yang terjadi padanya dan Remo. "Kamu kenapa? Duduk aja, kita ngobrol dulu." Jaka meminta Jenar untuk tetap bersikap tenang."Ya ... aku gak apa-apa, kok." Jenar duduk di hadapan Jaka, tapi dia agak terlalu jauh seolah sengaja ingin menghindar dari pacarnya itu."Kenapa? Baju aku bau?" tanya Jaka sambil menempelkan hidungnya ke ketiaknya. "Gak bau, kok!" katanya polos."Bu-Bukan gitu!" Jenar menggoyangkan kedua telapak tangannya."Terus apa?" tanya Jaka lagi."Ya, itu aku .... aku cuma agak kikuk aja. Maaf, ya." Jenar kehabisan kata-kata.Sikap Jenar yang tak pandai menutupi perasaannya malah membuat Jaka langsung bisa tahu kalau ada sesuatu yang dia tutupi.
Gara-gara Remo, hidup Jenar sekarang benar-benar kacau. Semuanya terasa berantakan. Jaka meminta mereka untuk berpisah sementara dengan alasan dia butuh waktu. Sementara di tempat kerja, Jenar tak bisa fokus sama sekali pada pekerjaannya, dia masih terus dihantui oleh Remo. Anehnya, dia malah kepikiran Remo terus. Seharusnya dia membenci pria itu setengah mati, bukannya malah terus-terusan memikirkannya. Semuanya jadi kacau balau.Jenar ingin menyalahkan Ratu, tapi bagaimana pun, Ratu tidak sepenuhnya salah, Jenar sendiri yang menerima tawaran minum dari Dean. Kini dia hidup dalam kebimbangan, impian untuk menikah dengan Jaka tampaknya juga akan kandas tanpa harapan. Mana mungkin pria baik-baik dari keluarga baik-baik seperti Jaka akan memaafkan dan menerima Jenar kembali.***"Jenar, ada yang nyariin lu tuh di bawah!" panggil seorang teman kerja Jenar.Jenar melongo, siapa yang ingin bertemu dengannya sekarang saat dia sedang sibuk bekerja.
Dean pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan oleh Jenar. "Ayo keluar! Orang-orang udah nunggu kita!" Dean keluar dari mobilnya lebih dulu lalu menarik tangan Jenar."Ngapain juga orang-orang mesti nungguin gue?! Lu pergi sendiri aja sana!" tolak Jenar.Dalam aksi saling tarik-menarik itu, seorang perempuan cantik berpakaian sederhana melintas. "Dean? Kamu datang juga? Ayo cepat bergabung, kami lagi bakar daging!" Perempuan manis itu melirik pada Jenar yang masih berada di dalam mobil. "Kamu ngajak pacar kamu juga?" tanyanya jahil."Ha ha! Bukan! DiaJenar, diacuma temen," jawab Dean langsung menyangkal."Gue juga ogah jadi pacar lu! Jangan dekat-dekat!" Jenar mendorong Dean dengan sebal.Perempuan manis itu tampak kebingungan, dia tak tahu apa yang terjadi di antara Dean dan Jenar. "Ya udah, ayo join aja, semua udah pada nungguin tuh."Melihat sikap manis perempuan asing itu, Jenar akhirnya setuju untuk turun, dia merasa
"Gak usah sok ngegombal, deh!" Muka Jenar masih berlipat-lipat.Remo mengangguk sekadarnya, tak menanggapi kejudesan Jenar. Kalau terus diopeni, bisa-bisa mereka akan terjebak dalam aksi saling oceh tiada henti."Lu ngapain sih bawa gue ke sini?" tanya Jenar mengikuti langkah Remo masuk ke dalam sebuah kafe bernuansa kayu nan hangat."Gak ada, aku tau kamu gak sibuk, dan jarang keluar rumah, makanya aku berinisiatif. Harusnya kamu bersyukur." Jawaban Remo malah terdengar seperti sebuah hinaan.Kali ini Jenar yang mengalah untuk tak menyahut lagi. Remo membukakan kursi dari meja untuk Jenar. Tak bisa ditutupi lagi, pipi Jenar merona merah."Tau tadi mau ke tempat kayak gini, aku bakal ganti baju dulu," bisik Jenar."Kamu mau pake baju yang seksi?" goda Remo."Pikiran kamu itu isinya emang cuma itu ya?" damprat Jenar. Remo hanya tertawa seraya melepas jaketnya."Kalau aku bi
Seolah ingatannya telah kembali pulih, Jenar teringat pada kejadian beberapa waktu lalu di rumah Remo, rupanya pria mata keranjang ini masih sama. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapat apa yang dia mau."Padahal waktu itu aja lu ngejek badan gue! Sekarang mendadak nyanjung-nyanjung gue!" Jenar mendorong Remo dengan tegas untuk kali ini. Dia menolak terbuai pada bujuk rayu si buaya darat itu. Jelas sekali Remo hanya ingin memanfaatkannya. "Kalau lu gak mau antar gue pulang, ya udah gue pulang naik taksi."Remo menghela napas panjang. "Keras kepala banget sih," katanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya udah, ayo aku antar pulang." Walau keinginannya tak bisa dia lancarkan, dia tetap bersikap manis pada Jenar. Apa boleh buat, pikirnya, rencananya untuk membius Jenar lagi sepertinya akan gagal malam ini.***Remo menginjak rem saat sampai di depan gedung kost tempat tinggal Jenar. "Kamu tinggal di sini?" tanya Remo sambil ikut turun dari mob