Kepala Jenar sakit luar biasa, cahaya matahari yang menembus jendela tepat mengenai matanya. Dia bergerak gelisah, rasanya seluruh tubuhnya terasa berat dan mukanya terasa membengkak. Jenar tak tahu dia sedang berbaring di atas tempat tidur siapa, tapi pastinya ini bukan tempat tidurnya, terasa berbeda, ini jauh lebih empuk dari tempat tidurnya di kamar kost.
Jenar berbalik badan, mencoba membuka mata dan menatap langit-langit. Putih bersih, langit-langit kamar itu putih bersih. Jenar ingat kalau cat kamar kostnya seluruhnya berwarna biru langit. Jenar seketika langsung bangkit, dia lebih kaget lagi saat sadar tubuhnya hanya dibalut sebuah selimut. "Aku di mana?!" pekiknya panik sambil memegang rambutnya yang berantakan.Dia merasa ada yang aneh, ada yang tak biasa, ada yang berbeda di tubuhnya. Dia merasa bagian bawahnya terasa perih dan berbeda, dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dia ingat semalam, dia minum bersama model tampan asing bernama Dean, lalu dia dan Dean menyaksikan sebuah pertengkaran di lantai dansa, antara seorang selebriti tampan bernama Remo dan dua gadis yang tak dia kenal namanya. Lalu setelah itu ... Jenar tak ingat apa-apa lagi."Ya Tuhan! Apa yang terjadi?! Kenapa aku lupa semuanya?! Apa yang terjadi?!" pekik Jenar panik sambil menepuk-nepuk pipinya gemas campur sebal karena tak ingat apa-apa."Hng ...."Tubuh Jenar serasa tersengat aliran listrik tingkat tinggi ketika dia mendengar suara gumaman dari sebelahnya, dia lirik sesaat, Jenar langsung merapatkan selimutnya dan otomatis menjauh. Ada seorang pria bertubuh besar dan tinggi sedang berbaring telungkup di sebelahnya. Jenar bisa melihat seluruh punggungnya terekspos. Pundak yang lebar itu sesaat membuat Jenar tak fokus. Kulit pria asing itu berwarna kuning agak kecokelatan, dan ada beberapa tato di punggungnya. Dia terlihat sangat maskulin, sepertinya jelas bukan figur Jaka."Tunggu!" seru Jenar lagi. "Aku ngapain sama cowok asing ... di kamar berdua?!" pekiknya panik, tersadar akan posisinya saat ini. "HAAAAHHH?!!!!!" Jenar menjambak rambutnya.Akibat teriakan berisik itu, pria di samping Jenar terbangun dan membalik badannya sampai Jenar bisa melihat wajahnya. Secara spontan Jenar tersungkur ke lantai kamar ketika dia lihat wajah pria di sampingnya ternyata selebriti bernama Remo yang kemarin membuat keributan di klub malam. "Kok ... kok bisa?! kenapa kamu di sini?!!!" teriak Jenar panik sambil menggulung tubuhnya dengan selimut.Remo duduk bangkit, di pagi hari begini Jenar bisa melihat jelas wajahnya, dia sangat tampan, seperti pria impian dari negeri dongeng, seperti bintang iklan parfum mahal yang dia lihat di TV. Dada bidang dan perut sixpack-nya bisa membuat Jenar mimisan. Rambutnya yang tebal dan berisi tampak kacau, Remo menggaruknya cuek. "Ini kan kamar gue, jelas aja gue ada di sini!" kata Remo dengan mata masih setengah tertutup.Jenar langsung mengedarkan pandangannya. Memang benar, kamar luas serba putih ini bukan kamarnya, luasnya saja setara seperti luas rumah ibunya, dengan dinding kaca dan perabotan serba kayu yang terlihat sangat mahal. TV raksasa, lampu kamar yang tinggi, dan berbagai piagam penghargaan yang dipajang di lemari kaca, bahkan lantainya saja terbuat dari marmer yang sepertinya bernilai miliaran. Jenar tak tahu sama sekali kenapa dia bisa ada di sini.Remo menunjuk Jenar dengan sembrono, "Ngapain ditutup? Gue udah liat semuanya, gak ada yang menarik!""Hah?! Apa?!" seru Jenar, dia tak tahu mana yang membuatnya lebih kesal, sikap Remo yang angkuh dan mengejek tubuhnya atau kenyataan bahwa telah terjadi sesuatu di antara mereka berdua. "Apa ... apa yang terjadi semalam? Tolong jelasin! Kita gak bisa lupa begitu aja!""Menurut lu apa? Coba pikir sendiri." Remo bangkit berdiri dengan hanya memakai celana boxer hitamnya, dia membuka pintu kaca balkon untuk menghirup udara pagi yang bersih.Jenar tahu ke mana arah jawaban Remo, tapi dia tak mengerti kenapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, dia bahkan tak mengenal Remo secara personal. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa sepertinya tidur bersama seorang aktor ternama yang baru sekali dia temui berkat sebuah kartu VIP PASS? Kalau bukan karena Ratu, dia bahkan mungkin tak akan pernah bertemu dengan Remo, entah ini sebuah kesialan atau malah keberuntungan, Jenar kebingungan."Ko-Kok bisa? Kenapa ...?" Air mata Jenar membendung di pelupuk matanya.Jenar terlihat sangat hancur, tapi Remo malah bersikap biasa saja, hal seperti ini bukanlah yang pertama kali baginya. "Lu nangis? Kenapa?" tanya Remo tak bisa memahami perasaan Jenar."Kamu masih bisa nanya?! Kamu pikir apa?! Sial! Ngapain juga gue ngomong sopan ke orang kayak lu?!" Amarah Jenar tiba-tiba meledak, dia tak tahu harus melampiaskannya pada siapa.Melihat Jenar tiba-tiba mengamuk, timbul rasa bersalah pada Remo. Pria tinggi itu mendekati Jenar dan berniat untuk menenangkannya, "Lu jangan nangis, hal kayak gini biasa terjadi, kita cuma kehilangan kontrol ....""KITA?!!!" bentak Jenar tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Gue bukan orang busuk kayak lu! Lu gak tau ini pertama kali buat gue?!" Jenar mencoba bangkit dan memungut pakaiannya yang ternyata terletak di lantai begitu saja.Remo tertawa tapi dia marah, "Lu nyalahin gue?! Biar gue kasih tau apa yang terjadi semalam!" serunya tak terima disalahkan. "Semalam gue ketemu sama Dean, dia minta bantuan gue buat ngantar lu pulang, lu dalam keadaan mabuk berat karna katanya lu gak biasa minum, Dean gak tau mesti ngantar lu ke mana, makanya dia minta bantuan gue."Oh ... ternyata semua ini gara-gara cowok yang namanya Dean itu! Brengsek! kecam Jenar dalam hati. "Terus? Terus apa lagi?!""Ya ... gue gak tau mesti bawa lu ke mana! Orang gue juga gak kenal lu siapa, ya udah ... gue bawa ke rumah gue aja,""Terus?!" sela Jenar makin tak sabar mendengar cerita selanjutnya."Ya ...." Mendadak Remo menggaruk tengkuknya gugup, matanya berputar-putar, seperti berusaha mencari jawaban yang paling tepat."Apa?! Jawab sekarang!" desak Jenar naik darah."Gue lagi stres semalam, ada masalah sama pacar gue, jadi ... eh ... gue liat lu tidur gitu, gue gak bisa diam aja ... makanya ... ya gue ...."Tanpa dilanjutkan pun, Jenar sudah tahu apa maksud Remo. Jenar langsung berdiri dan memukuli dada bidang Remo dengan kesal. "Dasar sampah! Kenapa?! Kenapa?!" tangis Jenar, itu artinya Remo melakukannya dalam keadaan sadar, bukan akibat pengaruh alkohol. Dalam kata lain, dia telah melakukannya tanpa seizin Jenar."Tenang! Gue akan tanggung jawab!" seru Remo masih terlihat tak merasa bersalah sama sekali."Apa gue minta tanggung jawab lu?! Gak! Bukan itu yang gue minta! Gue minta lu kembalikan apa yang lu ambil semalam!" teriak Jenar frustrasi.
Remo menatap Jenar dengan mata penuh empati. Mulutnya kehabisan kata-kata.
"Gue gak butuh tanggung jawab lu! Manusia monster!" Jenar memukul lengan Remo kuat-kuat. Dia masih belum tenang juga.Remo melongo melihat amukan Jenar yang tak main-main. Pikirannya jadi diimpit dua hal, dia merasa bersalah sekaligus merasa tak bersalah dalam waktu bersamaan. "Santai! Rileks ~! Udah kayak mau mati aja!" sahutnya mencoba menganggap remeh."Ya! Gue lebih baik mati ketimbang harus ngelakuin ini sama lu!" Air mata Jenar terus membanjiri pipinya.Rasa iba Remo jadi kian membumbung, rasa bersalahnya pada Jenar jadi makin tinggi. Biasanya hal seperti ini terjadi, para perempuan itu justru senang, baru kali ini ada perempuan yang secara mentah-mentah menolak dirinya. Dia tak bisa tinggal diam begitu saja. "Gue tau gue salah ... tapi gue akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa, gue gak akan meninggalkan lu gitu aja, rileks oke?" katanya pelan, matanya berkedip-kedip, menandakan tak enak hati pada Jenar."Apa kata Jaka nanti? Gue
"Ada apa, Nar? Cerita sama aku." Jaka duduk di depan TV tanpa ragu. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Jenar semalam hingga gadis itu tak bisa dia hubungi.Bibir Jenar menjadi lebih kering, dia gugup luar biasa. Tidak mungkin dia jujur pada Jaka soal yang terjadi padanya dan Remo. "Kamu kenapa? Duduk aja, kita ngobrol dulu." Jaka meminta Jenar untuk tetap bersikap tenang."Ya ... aku gak apa-apa, kok." Jenar duduk di hadapan Jaka, tapi dia agak terlalu jauh seolah sengaja ingin menghindar dari pacarnya itu."Kenapa? Baju aku bau?" tanya Jaka sambil menempelkan hidungnya ke ketiaknya. "Gak bau, kok!" katanya polos."Bu-Bukan gitu!" Jenar menggoyangkan kedua telapak tangannya."Terus apa?" tanya Jaka lagi."Ya, itu aku .... aku cuma agak kikuk aja. Maaf, ya." Jenar kehabisan kata-kata.Sikap Jenar yang tak pandai menutupi perasaannya malah membuat Jaka langsung bisa tahu kalau ada sesuatu yang dia tutupi.
Gara-gara Remo, hidup Jenar sekarang benar-benar kacau. Semuanya terasa berantakan. Jaka meminta mereka untuk berpisah sementara dengan alasan dia butuh waktu. Sementara di tempat kerja, Jenar tak bisa fokus sama sekali pada pekerjaannya, dia masih terus dihantui oleh Remo. Anehnya, dia malah kepikiran Remo terus. Seharusnya dia membenci pria itu setengah mati, bukannya malah terus-terusan memikirkannya. Semuanya jadi kacau balau.Jenar ingin menyalahkan Ratu, tapi bagaimana pun, Ratu tidak sepenuhnya salah, Jenar sendiri yang menerima tawaran minum dari Dean. Kini dia hidup dalam kebimbangan, impian untuk menikah dengan Jaka tampaknya juga akan kandas tanpa harapan. Mana mungkin pria baik-baik dari keluarga baik-baik seperti Jaka akan memaafkan dan menerima Jenar kembali.***"Jenar, ada yang nyariin lu tuh di bawah!" panggil seorang teman kerja Jenar.Jenar melongo, siapa yang ingin bertemu dengannya sekarang saat dia sedang sibuk bekerja.
Dean pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan oleh Jenar. "Ayo keluar! Orang-orang udah nunggu kita!" Dean keluar dari mobilnya lebih dulu lalu menarik tangan Jenar."Ngapain juga orang-orang mesti nungguin gue?! Lu pergi sendiri aja sana!" tolak Jenar.Dalam aksi saling tarik-menarik itu, seorang perempuan cantik berpakaian sederhana melintas. "Dean? Kamu datang juga? Ayo cepat bergabung, kami lagi bakar daging!" Perempuan manis itu melirik pada Jenar yang masih berada di dalam mobil. "Kamu ngajak pacar kamu juga?" tanyanya jahil."Ha ha! Bukan! DiaJenar, diacuma temen," jawab Dean langsung menyangkal."Gue juga ogah jadi pacar lu! Jangan dekat-dekat!" Jenar mendorong Dean dengan sebal.Perempuan manis itu tampak kebingungan, dia tak tahu apa yang terjadi di antara Dean dan Jenar. "Ya udah, ayo join aja, semua udah pada nungguin tuh."Melihat sikap manis perempuan asing itu, Jenar akhirnya setuju untuk turun, dia merasa
"Gak usah sok ngegombal, deh!" Muka Jenar masih berlipat-lipat.Remo mengangguk sekadarnya, tak menanggapi kejudesan Jenar. Kalau terus diopeni, bisa-bisa mereka akan terjebak dalam aksi saling oceh tiada henti."Lu ngapain sih bawa gue ke sini?" tanya Jenar mengikuti langkah Remo masuk ke dalam sebuah kafe bernuansa kayu nan hangat."Gak ada, aku tau kamu gak sibuk, dan jarang keluar rumah, makanya aku berinisiatif. Harusnya kamu bersyukur." Jawaban Remo malah terdengar seperti sebuah hinaan.Kali ini Jenar yang mengalah untuk tak menyahut lagi. Remo membukakan kursi dari meja untuk Jenar. Tak bisa ditutupi lagi, pipi Jenar merona merah."Tau tadi mau ke tempat kayak gini, aku bakal ganti baju dulu," bisik Jenar."Kamu mau pake baju yang seksi?" goda Remo."Pikiran kamu itu isinya emang cuma itu ya?" damprat Jenar. Remo hanya tertawa seraya melepas jaketnya."Kalau aku bi
Seolah ingatannya telah kembali pulih, Jenar teringat pada kejadian beberapa waktu lalu di rumah Remo, rupanya pria mata keranjang ini masih sama. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapat apa yang dia mau."Padahal waktu itu aja lu ngejek badan gue! Sekarang mendadak nyanjung-nyanjung gue!" Jenar mendorong Remo dengan tegas untuk kali ini. Dia menolak terbuai pada bujuk rayu si buaya darat itu. Jelas sekali Remo hanya ingin memanfaatkannya. "Kalau lu gak mau antar gue pulang, ya udah gue pulang naik taksi."Remo menghela napas panjang. "Keras kepala banget sih," katanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya udah, ayo aku antar pulang." Walau keinginannya tak bisa dia lancarkan, dia tetap bersikap manis pada Jenar. Apa boleh buat, pikirnya, rencananya untuk membius Jenar lagi sepertinya akan gagal malam ini.***Remo menginjak rem saat sampai di depan gedung kost tempat tinggal Jenar. "Kamu tinggal di sini?" tanya Remo sambil ikut turun dari mob
Pipi Jenar bersemu merah mendengar pertanyaan nakal dari Remo barusan. "Kamu jangan menggoda aku, nanti aku berubah pikiran nih!" ancamnya malu-malu.Remo tersenyum jahil seraya mengarahkan miliknya pada milik Jenar yang telah menanti sejak tadi.Sebelum Remo melakukannya, Jenar sesaat menahan dada pria tampan itu. Dia mengulum bibirnya sesaat. "Kamu ..., janji gak akan meninggalkan aku, kan?" tanya Jenar akhirnya menyerah. Tak guna baginya menolak Remo, toh kalau dipikir-pikir, Remo sangat memesona, tak ada yang kurang darinya. Berpacaran dengan pria seperti Remo seharusnya adalah sebuah karunia bukannya musibah.Remo menatap sendu kedua manik Jenar yang sayu. "Kamu takut? Kamu takut aku akan mencampakkan kamu kayak mantan kamu yang buruk rupa itu?" Sekali lagi dia bertanya usil."Ish! serius dikit, dong! Kenapa malah ngebahas Jaka, sih?" Jenar jadi teringat pada mantannya yang menyebalkan itu. Dia masi
Cuaca cerah di luar. Langit biru sepenuhnya, nyaris tak ada awan putih menggantung di atas cakrawala siang itu. Tak banyak pula angin yang berembus hingga cukup sesak rasanya.Jenar menatap laptopnya dengan lesu. Hari ini dia rasanya lebih malas dari biasanya, pikirannya tak mau pergi dari sosok tampan Remo. Hari ini dia bilang ada syuting, apa aku liat nanti ya? Dih ngapain sih, batin Jenar bimbang sendiri.Lamunan Jenar pecah ketika sebungkus es loli diletakkan di atas mejanya. Jenar terkejut bukan main, rupanya ada Jaka di hadapannya. Es loli dengan rasa melon itu adalah favorit Jenar, biasa Jaka yang membelikannya, dan sekarang dia belikan lagi.Jenar mengangkat kepalanya pelan, menatap Jaka dengan muka bingung. "Kenapa?" tanyanya pelan."Itu es untuk kamu. Aku ..., datang untuk berbaikan, aku minta maaf udah ..., udah menyakiti hati kamu kemarin." Jaka berucap pelan.&nb