Pipi Jenar bersemu merah mendengar pertanyaan nakal dari Remo barusan. "Kamu jangan menggoda aku, nanti aku berubah pikiran nih!" ancamnya malu-malu.
Remo tersenyum jahil seraya mengarahkan miliknya pada milik Jenar yang telah menanti sejak tadi.
Sebelum Remo melakukannya, Jenar sesaat menahan dada pria tampan itu. Dia mengulum bibirnya sesaat. "Kamu ..., janji gak akan meninggalkan aku, kan?" tanya Jenar akhirnya menyerah. Tak guna baginya menolak Remo, toh kalau dipikir-pikir, Remo sangat memesona, tak ada yang kurang darinya. Berpacaran dengan pria seperti Remo seharusnya adalah sebuah karunia bukannya musibah.
Remo menatap sendu kedua manik Jenar yang sayu. "Kamu takut? Kamu takut aku akan mencampakkan kamu kayak mantan kamu yang buruk rupa itu?" Sekali lagi dia bertanya usil.
"Ish! serius dikit, dong! Kenapa malah ngebahas Jaka, sih?" Jenar jadi teringat pada mantannya yang menyebalkan itu. Dia masi
Cuaca cerah di luar. Langit biru sepenuhnya, nyaris tak ada awan putih menggantung di atas cakrawala siang itu. Tak banyak pula angin yang berembus hingga cukup sesak rasanya.Jenar menatap laptopnya dengan lesu. Hari ini dia rasanya lebih malas dari biasanya, pikirannya tak mau pergi dari sosok tampan Remo. Hari ini dia bilang ada syuting, apa aku liat nanti ya? Dih ngapain sih, batin Jenar bimbang sendiri.Lamunan Jenar pecah ketika sebungkus es loli diletakkan di atas mejanya. Jenar terkejut bukan main, rupanya ada Jaka di hadapannya. Es loli dengan rasa melon itu adalah favorit Jenar, biasa Jaka yang membelikannya, dan sekarang dia belikan lagi.Jenar mengangkat kepalanya pelan, menatap Jaka dengan muka bingung. "Kenapa?" tanyanya pelan."Itu es untuk kamu. Aku ..., datang untuk berbaikan, aku minta maaf udah ..., udah menyakiti hati kamu kemarin." Jaka berucap pelan.&nb
Jaka melepas sepatunya setiba di kamar kost Jenar. Jenar masih terus mengoceh dalam hati, bertanya-tanya kenapa Jaka tak langsung pamit pulang, dan malah meminta untuk datang ke kamar kost Jenar, katanya hanya mau meminta segelas teh hangat.Mata Jaka seperti mata keong, melihat sepertinya ada perubahan di kamar kost kekasihnya. Dan benar saja, dia menangkap perubahan itu dengan cermat. "Mana foto kita yang biasa ada di atas TV?" Dia menunjuk pada bagian yang biasanya diisi dengan bingkai foto.Jenar yang sedang merajang air panas terpaku. Semalam foto itu dibuang oleh Remo, dan tadi pagi dia sudah membuang sampah ke tong sampah besar, pastinya telah diangkut oleh tukang angkut sampah."Hm?" gumam Jaka bertanya sekali lagi."Kemarin ..., eh aku baru cek kalau pinggiran frame-nya udah busuk, lapuk dimakan rayap mungkin, jadi aku bawa ke tukang foto buat dibaikin, tapi frame ukuran segitu l
"Tolong kamu juga pulang. Aku capek, si kunyuk itu kelamaan di sini tadi."Jenar berusaha untuk menolak Remo masuk ke dalam kamar kostnya. Namun, Remo berkeras untuk tetap masuk. Tenaga yang jauh berbeda alhasil membuat Remo menang."Ha ha! Si kunyuk?" Remo tertawa dingin sambil menutup pintu kamar kost Jenar. "Bukannya kamu bilang kalian udah putus?" tanyanya dingin sambil meletakkan kantong plastik belanjaan di atas lantai.Jenar sesaat terdiam sebelum menjawab datar, "Aku rasa kita gak perlu bahas itu." Dia berusaha untuk tak nenatap mata elang Remo."Kenapa kita gak perlu membahasnya? Siapa yang salah? Hm? Kamu berbohong? Atau ..., dia maksa untuk balikan?" selidik Remo dengan muka masih keras, menahan rasa cemburu yang hebat sebenarnya."Ngomong apaan sih?! Dia juga gak maksa untuk balikan, kok!" bantah Jenar seraya duduk kembali di depan TV."Teru
BRAK!Jenar kaget ketika Jaka mengentak meja kerjanya cukup kuat. Gadis cantik itu langsung menengadah. Wajah Jaka terlihat sangat tidak dalam keadaan baik."Apa maksud kamu yang semalam itu? Dia itu siapa?" tanya Jaka sedikit mengintimidasi.Jenar tetap berusaha mengabaikan, dan masih fokus dengan laptop di depan matanya. "Kamu gak liat aku lagi apa?" sahutnya terdengar judes."Jangan main-main sama aku, Nar! Siapa cowok semalam? Aku tau dia artis, aku pernah liat dia muncul di TV, tapi apa hubungan kamu sama dia?" tanya Jaka lagi, mendesak."Kenapa gak kamu tanya sendiri semalam?" sahut Jenar masih tak mengalihkan pandangan dari laptopnya. Dia tahu benar Jaka tak berani bertanya langsung pada Remo."Kan ..., kan kamu sendiri yang minta aku untuk pergi, makanya aku pergi kemarin! Jawab aku, Nar ..." Jaka diam sesaat, dia mengulum bibir bawahnya seakan
Sebuah minivan milik management yang menaungi Remo berhenti di depan gedung kost Jenar. Mata Jenar membulat, dia kira Remo sendiri yang akan datang menjemputnya, tapi ternyata orang dari management tempat dia bekerja.Gadis bernama Putri yang merupakan asisten Remo turun dari minivan. "Remo yang nyuruh kami buat jemput kamu. Ayo masuk, dia masih ada pemotretan makanya gak bisa jemput." Putri mempersilakan Jenar untuk masuk ke dalam minivan.Jenar menurut meski hatinya mendumel. Untuk apa Remo ngajak aku ketemu kalau dia sendiri lagi kerja? Dih, dasar orang aneh! Batin Jenar sebal.Pintu minivan itu tertutup otomatis lalu sang sopir melajukannya kembali.***Selama dalam perjalanan, baik Jenar maupun Putri hanya saling diam. Sampai tiba-tiba Putri menyerahkan sebuah botol teh lemon."Minumlah, kamu pasti haus."Meski terasa sangat
Selama makan malam bersama sampai di jalan pulang, mulut Jenar masih terkatup, tak keluar satu kata pun dari bibir manisnya.Remo asyik bicara sendiri. Segala hal dia ceritakan, dari kegiatannya selama satu minggu ini sampai apa saja yang dia lakukan dalam menjaga dietnya. Namun, Jenar masih diam tak berkutik, sepertinya tidak menaruh perhatian sama sekali.Pikiran Jenar masih tertancap pada kata-kata Putri tadi, dan juga dia mulai sadar betapa beda dia dan Remo, sepertinya hubungan mereka tak akan berhasil. Menyaksikan dengan mata sendiri, Remo bersikap begitu manis pada model perempuan tadi, bahkan berpose mesra, hati Jenar menjadi kecut, meski dia tahu itu profesionalisme semata."Kayaknya semua ini gak akan berhasil." Jenar mengeluarkan suara ketika mereka hampir sampai di gedung kamar kost Jenar.Remo otomatis memperlambat laju mobil sportnya. "Hah? Maksud kamu?" tanyanya bingung.&nb
Kedua manik Jenar memandang kosong pada gelas kopi di atas meja. Kafetaria perusahaan siang itu mulai sepi berhubung jam istirahat makan siang akan berakhir dalam lima menit. Namun, pikiran Jenar masih mengembara pada kejadian beberapa malam lalu bersama Remo, seakan tak ada jalan keluar darinya.Kopi di atas meja telanjur dingin sudah, Jenar nyaris tak menyentuhnya, dia juga melewatkan makan siang. Beberapa hari ini dia begitu murung."Kamu belum mau balik, Nar?"Sebuah suara halus menyapa Jenar, memecah lamunannya. Jenar langsung menoleh pada si pemilik suara yang ternyata adalah Jackson, rekan kerjanya. Pria berkarakter vanilla itu sesekali memang menyapa Jenar. Senyum manisnya selalu berhasil membuat hati kaum hawa mencair."Ah ..., iya ..., bentar lagi." Jenar menyahut agak terbata."Lagi ada masalah?" Jackson tiba-tiba duduk di depan Jenar, mel
"Ada yang sulit lu kerjain?" tanya Jackson sambil terus memperhatikan Jenar yang sedang sibuk bekerja."Gak apa-apa, bentar lagi selesai, kok. Lu gak mau pulang duluan?" Jenar balik bertanya."Gak, gue bakal nungguin lu aja, gue boleh kan antar lu pulang?"Untuk sesaat Jenar tersenyum kikuk, tapi kemudian dia mengangguk pelan.***Malam kian larut, tanpa sadar semua pekerjaan Ratu telah selesai dikerjakan oleh Jenar. Dia bisa menutup laptopnya sekarang, lalu mengecek jam dinding, tepat pukul sembilan. Buset, aku bahkan belum makan malam, pikirnya. Dia berganti mengecek ponsel pintarnya, tak ada satu pun pesan dari Remo. "Kenapa seakan-akan gue nunggu pesan dari dia?" gerutu Jenar seraya langsung memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas kerjanya.Tepat saat Jenar berbalik badan, dia temukan Jackson sudah terlelap di atas meja kerja di sebelahnya. Huft ..., gar