Share

4. Tujuan Baskara

Kemarin ... adalah hari yang sudah dicap buruk oleh Joita. Sudah diberi harapan palsu, bonyok akibat tawuran, dihina, tambah pulang jalan kaki pula.

Ya, kemarin saat Joita hendak pulang, Baskara mengajaknya bersama. Tapi Joi menolak mentah-mentah, mengatakan bahwa ia tak ingin naik motor butut Baskara lagi.

Mungkin juga ikut kesal, Baskara tak lagi membujuk Joita. Dan berakhir Joita menaiki angkot karena uang yang ia punya tidak cukup untuk naik bis dan taksi. Berhubung ia tidak memalak, karena harinya dihabiskan untuk baku hantam.

Ya, kalian taulah, angkot berwarna merah yang kulit badan mobilnya agak terkelupas. 5 menit sebelum sampai di rumah Joita diturunkan, dengan alasan keluarganya ada yang terkena musibah.

Joita sangat kesal dan bahkan ingin menuntut sopir angkotnya. Tetapi sang sopir malah mengembalikan seluruh uang Joi dan pergi begitu saja.

Sungguh, Joi bersumpah serapah saat itu juga. Mengatakan bahwa tidak ada hal yang berjalan lancar di hari itu.

Ia berhasil sampai rumah setelah menempuh 20 menit lebih, padahal normalnya hanya 7 menit saja untuk pejalan kaki. 

Di jalan, Joita terus-terusan berkata kasar sambil sesekali merusak bunga yang ada di pinggiran jalan. Jika ia kepanasan dan kembali dongkol, ia berhenti dan duduk di trotoar seperti anak kecil. Setelah malu dilihat banyak orang baru ia melanjut jalan. Begitu terus, hingga akhirnya berhasil ke rumah.

Jika tahu akan seperti itu, Joita tak akan mentraktir teman-temannya sampai menguras habis uang saku. Tak akan pernah lagi.

Kini, ia duduk di dapur sambil mencincang-cincang daging. Meluapkan kekesalannya terhadap hari kemarin. Ah ... jika diingat lagi Joita jadi marah sendiri.

"Ica! Mama gak suruh kamu nyincang dagingnya." Mama Joita datang dengan kaget. 

Kesadaran Joita kembali lagi setelah teriakan sang Mama. Ia menatap daging cincangan di depan dengan sama kagetnya. Ia menutup mulut, tak percaya.

"Terus mau digimanain itu?" tanya Mama Joi setengah kesal. Daging mahal-mahal diekpektasikan enak dimakan, malah jadi cincangan kecil-kecil. Daging modelan begitu ditumis ya sayurnya masak duluan, dagingnya langsung gosong.

Joi melirik Mamanya sambil terkekeh pelan. "Maaf, Ma." Kemudian ia tertawa.

Sedangkan sang Mama mengambil cincangan Joi dengan ketus. Ia memasaknya entah dibagaimanakan. Ketahuilah, ibu-ibu pintar merekayasa.

Malam itu, Joita benar-benar memakan cincangannya sendiri yang tak terasa daging lantaran sangat kecil. Baiklah, daging selanjutnya apakah berbentuk dadu?

***

Setelah hari libur usai, datanglah lagi hari sekolah yang paling membosankan, Senin. Hari yang tidak disenangi seluruh umat pelajar. Termasuk Joita. Bukan karena apa, tapi karena pelajar di sekolahnya selalu membawa uang sedikit saat hari Senin. Tak tahu kenapa.

"ICA! Pacarmu, nih!"

Teriakan Mama yang menggelegar membuat Joi rolling eyes. Lagi-lagi orang miskin itu. Segera Joita menyelesaikan kegiatan mengikat tali sepatunya, lalu beranjak ke luar.

Ia dapat melihat jelas Baskara bersender di motor bututnya, lagi. Dan sang Mama yang asyik mengibrol dengannya. Ah, Joita tak suka.

Tanpa mood, Joita menyalimi Mama lalu naik ke motor Baskara. Begitu pula cowok itu.

Di jalan, mereka saling diam-diaman. Kalau Joita sudah pasti bad moon sejelek-jeleknya. Wanita mana yang senang naik motor butut. Ayolah.

"Jangan datang lagi besok."

Baskara bertanya, "Kenapa?" Ia menatap Joita lewat spion motor.

"Karena gue nggak suka, nggak mau dan benci itu. Sekedar saran, buang motor tua lo ini. Sakit mata gue pas liatnya." 

Tepat pemberhentian, Joita melihat sepasang kekasih di sampingnya dengan mobil mewah dan pakaian mewah. Keduanya terlihat serasi dan elegan. Tak seperti dirinya sekarang.

"Joi, lo suka cowok kaya itu gunanya apa, sih? Kan, lo bisa berjuang sama-sama buat ngenaikin derajat kalian."

Joita kembali menatap jalanan saat lampu lalu lintas berubah hijau. "Karena Papa gue gak mau anaknya susah lagi, seperti dia yang dulu. Gue susah-susah dihidupin orang tua dan dengan gampangnya seseorang minang dengan derajat yang rendah. Orang tua capek-capek ngurus anaknya biar hidup makmur, eh dia datang ngajak susah. Becanda? Cih." Ia terkekeh kecil.

"Gue mau nerusin kekayaan orang tua gue karena gue bangga akan hasil kerja keras mereka, bukan pergi dengan laki yang derajatnya rendah buat mulai dari awal. Persetan setia, gue nggak akan kemakan sama setia."

Baskara masih diam.

"Lo tau siapa di dunia ini yang paling setia?" Joi tersenyum kecil. "Diri kita sendiri. Kita gak bakal pernah ninggalin kita, gak pernah gak ada saat dibutuhin, selalu sabar saat ada masalah."

"Itu kata Papa gue."

Mereka masuk ke gerbang sekolah. Berhenti di parkiran lalu melepas helm masing-masing. 

Joita menatap Baskara saat anak itu balik menatapnya. "Jadi, jangan ajak gue hidup susah."

Cewek itu mengedipkan sebelah matanya, lalu pergi setelah mengibas rambut dengan sombong. 

Sedangkan Baskara yang diam dari tadi hanya bengong. Ia menatap jalan Joita yang lenggak-lenggok bagai ular sawah dengan datar.

"Dia udah keramas nggak, ya?

Setelah menggertak halus Baskara, Joi masuk ke gedung kelasnya. Koridor ia lewati dengan sombong dan sok cantik. Ia masa bodoh dengan tanggapan orang lain, hidupnya Joita ya Joita yang harus peduli dengan tanggapannya. Bukan orang lain.

Di sana, Joi bertemu dengan 4 sahabat yang sama bejatnya. Mereka semua langsung berangkulan.

"Eh ... si Tiara dimarah Mamanya dong."

Semuanya menganga. "Lo pulang bonyok-bonyok, Ra?" tanya Bianca.

Jadi, saat selesai perkelahian itu mereka kembali ke sekolah. Merapikan diri dan menutup lukanya dengan krim. Kemudian pulang saat jam pulang seperti murid yang lain.

Tentang Tiara yang ketahuan bonyok, entah ia hapus make upnya atau bagaimana. Intinya, wajah mereka kembali mulus saat pulang sekolah.

"Ketahuan dia, ngab. Cupu asli." Clara asyik memanasi.

Tiara membalas, "Gue nggak munafik ya, kaya kalian contohnya."

Joita menjitak kepala Tiara langsung. "Yang ngomong abis kabur dari rumah malem-malem ke bar, njir." Semuanya tertawa, menyetujui ucapan Joi.

"Bener, heh!"

"Eh ... iya. Lo pulang pagi apa nggak dimarah sama Mama lo, Ra?" tanya Angel kembali mengingat kejadian malam mereka saat di bar.

Tiara mengibas rambut. "Nggak, lah! Orang gue manjat pager, dan Pak Mahmud molor."

Mereka tertawa lagi. "Gila Pak Mahmud. Percuma njir orang tua lo bayar mahal ke dia, kalo kerjanya molor terus," kata Bianca.

"Iya, anjir. Kapan-kapan gue maling di rumah lo aja kali ya," tutur kata Clara.

Sedangkan Tiara tak membalas. Ia asyik tebar pesona pada cowok-cowok yang mereka lewati. Percayalah, bagi Tiara terlihat cantik lebih penting daripada Pak Mahmud yang makan gaji buta.

"Ngomong tentang bar, kapan-kapan kita ke sana lagi yuk. Besok gimana? Kangen banget sama alkohol," ucap Angel dengan wajah merekah.

Clara berdecih. "Jangan naif, Ngel. Bilang aja lo rindu dijamah sama salah satu bartender di sana." Mereka menggoda Angel.

"Apaan, sih? Nggak!"

Tiara yang dari tadi mendengar jadi jengah, ia rolling eyes. "Gue liat lo masuk ke kamar sama bartender ya, Ngel."

Semuanya bersorak menggoda untuk Angel. Apalagi Bianca, ia yang paling keras. Awalnya sih Angel menjaga mahkotanya, tapi sejak bertemu dengan bartender yang mereka katakan ia jadi khilaf. Perawan atau tidak perawan, itu urusan Angel.

"Joita, nih! Lo kapan pacaran lagi? Sumpek banget liat lo jomblo."

Joita mengedikkan bahu sambil smirk.

"Iya, Joi. Lagipula, lo belum pernah tidur sama laki sebelumnya, kan?" tanya Bianca.

Membuat Joi mengernyit. "Udah, anjir. Gue udah bilang kalo gue pernah tidur sama Antakali."

Clara menyahut, "Seriusan sama temen SMP lo itu? Emang kalian pernah pacaran?"

Joita menggeleng. "Tidur bareng kan nggak harus pacaran," ucapnya sambil mengedipkan satu mata.

Membuat semuanya berseru. 

Ya, mereka adalah sekumpulan anak jahat yang ramah tamah saat di rumah saja. Di luar, mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan. 

Bermain dengan dunia luar membutuhkan uang, kan? Sedangkan mereka tak pernah meminta uang dengan orang tuanya lebih dari jatah bulanan. Yap, mereka menghasilkan uang dari main tadi itu.

Semuanya merasa itu adalah hal yang benar dan wajar dilakukan untuk anak muda. Jadi, kenapa tidak?

Pintu kamar mandi cowok dibuka oleh Baskara. Ia menatap kelompok Joita yang lewat. Ia mendengar percakapan anak-anak itu. 

Namun, Baskara tidak peduli. Menyukai Joita? Mustahil. Dari awal Baskara hanya akting, di depan Joita, temannya, atau bahkan orang tua anak itu. Yang Baskara butuhkan bukan hati Joita, tapi persetujuan Joita dalam menjalin hubungan kontrak mereka. 

Baskara hanya kesal dengan wanita-wanita yang menguntitnya. Sebab itulah Joita bisa menjadi perisai dari semua, karena kenakalan dan banyak yang segan padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status