Share

Still The Same
Still The Same
Penulis: ayuniarani

1. Perpisahan

Anak laki-laki yang berusia sekitar 9 tahun itu sesekali menatap keluar jendela mobil yang di tumpanginya. Senyum selalu mengembang dibibirnya. Sudah empat hari ia tidak bertemu Ayi temannya—tetangganya. Ia harus ikut orang tuanya untuk pergi ke kampung halaman mereka di Makassar. 

"Baru juga empat hari nggak ketemu Ayi, udah kangen aja." Rossa menatap anak laki-lakinya dengan gemas.

Anak laki-laki itu hanya menatap mamanya dengan tersenyum. 

Di bangku pengemudi Umar-Ayah anak laki-laki itu menimpali. "Sudahlah Ma, berhenti menggoda anakmu itu."

"Iya nih Mbak. Liat tuh Abinya jadi malu-malu gitu." kini Reza yang duduk di samping Umar saudara dari Rossa yang menyahut.

Rossa hanya tersenyum geli mendengar ucapan adiknya itu.

"Ma." Abi kini menatap mamanya.

"Iya sayang." Rossa membalas tatapan anak laki-lakinya.

"Kadonya masih mama simpankan?" Abi bertanya dengan was-was, takut mamanya lupa membawa kado itu dari Makassar.

"Masih. Sudah berapa kali kamu bertanya tentang hal itu?" Rossa tersenyum menggoda anaknya

Abi tidak menjawab. Ia langsung kembali mengalihkan perhatiannya pada jalan sekitar yang dilalui mobilnya. Ia berharap agar mereka segera sampai di rumah sehingga ia bisa memberikan kado untuk Ayinya yang sedang berulang tahun.

Rossa yang melihatnya menggelengkan kepala sembari tersenyum. Sedangkan Umar dan Reza membicarakan bisnis yang tertunda.

***

Abi mendadak bingung melihat banyak orang yang berada di sekitar rumahnya. Ekspresi yang sama juga ditunjukkan oleh kedua orang tua dan paman Abi. Orang-orang tersebut sebagian besar menggunakan pakaian serba hitam. Bendera kuning juga terlihat di depan rumah Regar—tetangganya. Yang lebih mengherankan lagi, banyak wartawan disekitar rumah.

 Kini mobil keluarga Umar telah terparkir sempurna di halaman rumah mereka. Abi lebih dulu keluar dari mobil di ikuti paman dan kedua orang tuanya. Mereka memandang ke arah samping rumah mereka.

"Siapa yang meninggal Pa?" Rossa memandang suaminya penuh tanya. Sedangkan Umar mengedikkan bahu tidak tahu.

Umar berjalan diikuti istrinya menuju ke rumah keluarga Regar. Sedangkan Abi masih diam di tempatnya mencerna apa yang sebenarnya terjadi sembari melihat orang-orang sekitar.

"Abi ayo kita ke sana." Reza memegang tangan keponakannya menuntun agar mengikutinya menuju ke rumah keluarga Regar.

Abi tak berkata apa-apa. Hanya satu dipikirannya saat ini. Ayi. 

Abi masuk kerumah itu dengan tangan yang masih di pegang oleh Reza. Dari ambang pintu ia bisa melihat tante Citra yang sedang menangis tersedu-sedu di pelukan mamanya. Sedangkan papanya kini memeluk Azka dan adiknya Ayi—anak tante Citra dan om Regar. Azka hanya dalam posisi diam sedangkan Ayi menangis selalu memanggil papanya.

Melihat Ayi yang menangis seperti itu membuat Abi tidak tega. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Abi melepas pegangan tangan Reza dan mulai mendekati ayahnya, Reza pun juga turut masuk dan mendekat ke arah kakak iparnya.

"Abi. Pergilah dengan Abang Azka dan Ayi ke taman." ucap Umar dengan masih mengelus puncak kepala Ayi yang masih belum berhenti menangis.

"Tidak om. Aku disini saja." Azka tetap tenang melepas pelukan Umar dan kembali menatap ibunya yang menangis dipelukan Rossa.

Umar menghela nafas dan kembali menatap Abi. "Kalau begitu Ayi saja. Pergilah sayang. Abi ayo ajak Ayi ke taman."

Abi mengangguk, lalu mengulurkan tangannya pada Ayi. Semula Ayi hanya menatap uluran tangan itu, tak lama kemudian ia mulai menggapainya dan berdiri. Abi menggenggam tangan Ayi begitu lembut, membawanya menuju taman belakang rumah itu.

***

Satu minggu kemudian...

Abi tergesa-gesa turun dari tangga. Ia mencari keseliling rumah dan tidak menemukan satupun anggota keluarganya. Ia pun memutuskan untuk melangkah ke dapur dan bertanya pada Bi Inah.

"Bi. Mama dan Papa ke mana?"

Bi Inah yang sedang memunggungi Abi langsung berbalik. Ia masih memegang pisau yang di pakainya untuk mengiris bahan masakan.

"Pagi-pagi sekali Tuan dan Nyonya ke sebelah Abi." pisau yang dipegang Bi Inah dipakai menunjuk ke arah yang dimaksud—rumah Ayi.

Abi langsung bergegas pergi meninggalkan dapur dan menuju ke arah yang di tunjuk Bi inah. Bi Inah hanya menggeleng-gelengkan kepala berbalik dan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Abi merasa heran ketika melihat beberapa kardus dan koper yang tersusun di depan rumah Ayi. Di lihatnya Umar-papanya, Reza dan Azka yang memasukkan kardus dan koper-koper tersebut ke dalam mobil. Citra dan Rossa keluar rumah tersebut sambil membawa kardus lainnya.

"Apa ini yang terakhir?" Rossa meletakkan kardus itu di samping mobil.

"Aku rasa iya mbak. Udah ngga ada yang lain lagi." Citra memberikan kardus yang dibawanya kepada Umar.

"Sangat di sayangkan kalau kamu harus pindah. Kita sudah seperti keluarga di sini." Rossa menghampiri Citra.

"Mau gimana lagi Mbak. Ayahnya anak-anak udah tiada. Kami harus tetap melanjutkan hidup. Yah mungkin pindah ke Jakarta akan lebih baik."

"Aku dan Mas Umar bisa membantumu mencari pekerjaan di sini." Rossa mengelus pundak Citra dengan lembut. Sedangkan Umar mengangguk menyetujui perkataan istrinya.

"Makasih Mbak, kami sudah banyak merepotkan. Lagi pula di sana saya punya sahabat SMA yang sudah mencarikan saya kerja dan tempat tinggal." Citra memegang tangan Rossa yang ada di pundaknya kemudian menggenggamnya.

Abi yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka mulai mendekat.

"Ma, Tante. Ada apa ini?" Abi bertanya dengan bingung hingga membuat Citra gemas.

Citra pun berjongkok di hadapan Abi. "Sayang. Tante, Azka dan Ayi akan pindah." Citra memegang pundak Abi lalu menariknya ke dalam pelukan.

"Abi udah nggak bisa ketemu Ayi lagi?" kini Abi merasa sedih, Ayinya orang yang disayanginya akan pergi meninggalkannya.

Abi melepas pelukan Citra. Menatap ibu perempuan yang disayanginya dengan tatapan sedih. "Ayi dimana Tante?"

"Ayi ada di taman belakang sayang. Sana gih temuin Ayinya." bukan Citra yang menjawab namun Rossa.

Abi langsung berlari melenggang masuk kedalam rumah menuju taman belakang.

Citra berdiri kembali menatap Rossa dengan pandangan sedih.

"Aku tidak tega jika Abi dan Ayi harus berpisah Mbak. Tapi ya mau gimana lagi."

Rossa tersenyum menenangkan dan meraih Citra ke dalam pelukannya. Umar, Reza dan Azka hanya berdiri terdiam melihat interaksi keduanya.

Abi berjalan dan berhenti di depan sebuah pintu. Ia mendorong pintu itu hingga terbuka dan menemukan Ayi yang sedang duduk di bangku taman. Abi mendekat hingga sampai ke hadapan Ayi. Semula Ayi terkejut dengan kedatangan Abi lalu kemudian air matanya mulai jatuh satu persatu dan mulai terisak. Abi yang melihatnya pun langsung duduk di samping Ayi dan memeluknya.

"Ayah hiks... hiks sudah ning... ninggalin aku. Sekarang kita udah nggak bisa main sama-sama lagi." Ayi menangis sejadinya dipelukan Abi. Abi mengusap punggung Ayi untuk menenangkannya.

"A... bi aku ngga mau pisah."

"Jangan menangis Ayi." Abi menjauhkan tubuhnya dan kembali menatap Ayi. Ayi hanya terdiam sesekali mengusap air matanya yang masih terus mengalir lalu membalas tatapan Abi.

Abi mengambil sesuatu di kantong celananya. Sebuah cincin berwarna silver polos, di bagian dalamnya terdapat tulisan AA yang terukir cantik.

Abi memegang tangan kiri Ayi dan memasangkan cincin itu di jari manis. Cincin itu terlihat sangat pas melingkar di jari mungil Ayi.

"Sebenarnya aku mau kasi kamu ini beberapa hari yang lalu, sebagai hadiah ulang tahun buat kamu. Tapi karena kamu lagi sedih jadi aku baru kasi sekarang. Selamat ulang tahun Ayi. Kalau kamu rindu aku, kamu liat aja cincin ini." Abi tersenyum begitupun juga Ayi.

"Walau kita jauhan, jangan pernah lupain aku Abi." Pinta Ayi.

"Tidak akan. Kamu juga jangan pernah lupain aku Ayi." Ucap Abi sembari  menghapus sisa air mata diwajah Ayi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status