FLASHBACK
Sudah menjadi kebiasaan dari Keluarga Umar dan Keluarga Regar untuk kumpul bersama di hari minggu. Mereka akan bercengkrama riang sambil melepas penat karena telah bekerja seharian. Bahkan tak jarang pula mereka keluar rumah untuk mengunjungi pantai atau sekedar piknik di taman kota.
"Azka. Tolong ambilin hp bunda di kamar." terdengar suara Citra dari dapur.
"Kalian jangan dulu main tanpa aku, oke. Awas kalau kalian main curang." Azka berdiri lalu segera berlari ke kamar bundanya.
"Iiih, Abang Azka lama. Inikan giliran aku yang main." Ayi memberenggut kesal hingga membuat Abi tertawa.
"Udah, tungguin aja dulu. Barusan juga, Abang Azka pergi." Abi menggocok ember yang di dalamnya terdapat dadu, lalu melemparnya. Baru saja Abi ingin melihat angka yang keluar, namun terhalang karena Ayi lebih dulu memungutnya beserta dengan papan ular tangga dan menyimpannya di kotak khusus.
Pov Hana”Abi?”Mendengar Abang Azka menyebut nama itu, aku membelalakkan mata kaget. Siapa yang kakakku panggil dengan sebutan Abi ini? Gibran? Aku langsung mengarahkan pandangan ke Gibran untuk melihat bagaimana ekspresinya saat ini. Terlihat dia juga sedikit kaget lalu dengan cepat mengubah ekspresinya seperti biasa. Ini tidak mungkin Gibran kan? Aku kembali berusaha meyakinkan diri sendiri kalau memang Abang Azka hanya asal menyebut nama. Namun tidak dengan jawaban Gibran.“Iya?” ucapnya tidak yakin.Aku menggelengkan kepala berusaha memahami suasana. Keadaan ini masih rumit untuk ku cerna.“Benarkan ini Abi? Yang dari Bandung, anaknya Pak Umar.” Azka langsung memeluk Gibran dengan cara pelukan laki-laki ke sesama lalu menepuk-nepuk pundaknya. Wajah Azka terlihat sangat senang.Aku menghampiri mereka, mungkin ada kesalahpahaman disini.“Abang.” Aku menarik
Hari ini Hana datang ke sekolah sedikit terlambat dari biasanya. Saat menyusuri lorong menuju kelasnya ia merasa ragu. Setelah kenyataan yang terungkap kemarin, dia menjadi enggan untuk bertemu dengan Gibran. Tapi mau bagaimana lagi, kewajibannya sebagai siswa adalah mengikuti pelajaran.Sesampainya di depan kelas, Hana berdiam diri. Suasana ramai yang terdengar dari dalam kelas menandakan kalau sebagian besar temannya sudah datang. Hana memegang erat totebagnya sembari berpikir keras jika masuk nanti dia berencana untuk langsung duduk saja tanpa melihat Gibran.“Hana.”Hana berbalik dan mendapati Sean yang berlari ke arahnya. Entah mengapa, Hana merasa lega dengan kehadiran Sean.“Tumben telat, biasanya juga paling awal datang. Kirain Lo absen tadi.” Ucap Sean yang kini berdiri tepat di depan Hana.“Sotoy banget sih, telat apaan coba. Bel masuk aja belum bunyi.” Dengus Hana yang dibalas tawa oleh S
Anak laki-laki yang berusia sekitar 9 tahun itu sesekali menatap keluar jendela mobil yang di tumpanginya. Senyum selalu mengembang dibibirnya. Sudah empat hari ia tidak bertemu Ayi temannya—tetangganya. Ia harus ikut orang tuanya untuk pergi ke kampung halaman mereka di Makassar."Baru juga empat hari nggak ketemu Ayi, udah kangen aja." Rossa menatap anak laki-lakinya dengan gemas.Anak laki-laki itu hanya menatap mamanya dengan tersenyum.Di bangku pengemudi Umar-Ayah anak laki-laki itu menimpali. "Sudahlah Ma, berhenti menggoda anakmu itu.""Iya nih Mbak. Liat tuh Abinya jadi malu-malu gitu." kini Reza yang duduk di samping Umar saudara dari Rossa yang menyahut.Rossa hanya tersenyum geli mendengar ucapan adiknya itu."Ma." Abi kini menatap mamanya."Iya sayang." Rossa membalas tatapan anak laki-lakinya."Kadonya masih mama simpankan?
8 tahun kemudian, Jakarta."Hana tungguin." Syafa berlari sambil memegang ranselnya.Hana yang mendengar namanya dipanggil langsung berhenti dan berbalik untuk melihat sahabatnya Syafa yang sedang lari terburu-buru. Akhirnya dengan nafas yang sedikit tidak teratur akibat berlari Syafa bisa sampai di dekat Hana."Sialan lo. Lo budek apa gimana sih. Dari tadi di panggilin Lo nya nggak respon." Syafa menarik nafas dan menghembuskannya."Sori loh Fa. Gue bener-bener nggak denger tadi." Hana mengacungkan 2 jari tanda peace lalu tersenyum lebar. Ia sama sekali tidak mengetahui jika sedari tadi Syafa sudah memanggil namanya.Syafa kemudian memutar bola matanya jengah. "Udah yok ke mading. Mau liat, Gue di mutasi ke mana." Syafa menggandeng tangan Hana untuk berjalan ke arah mading."Ckk. Gaya lo mutasi segala. Yang ada juga lo mah imitasi." Hana tertawa dengan ucapannya sendiri.
Mereka bertiga masuk ke dalam kelas yang saat ini telah resmi menjadi kelas di tahun terakhir mereka di jenjang SMA.Mereka menatap ke sekeliling kelas bermaksud untuk mencari bangku yang kosong. Rata-rata bangku depan telah diisi oleh siswa-siswi lainnya."Na, kita duduk di sana aja. Bangku depan udah pada penuh." Syafa menunjuk dua bangku yang terletak di barisan ke dua dari depan dan berada persis di samping tembok."Ya udah." Ucap Hana setuju, itu memang tempat strategis untuk memperhatikan pelajaran dengan baik yang tersisa. Hana dan Syafa mulai berjalan ke bangku yang dimaksud.Sean ikut berjalan mengikuti Hana dan Syafa. "Trus gue di mana?" Sean menunjuk dirinya sendiri.Syafa duduk di samping tembok, diikuti Hana yang duduk di sebelahnya. Setelah menyimpan tasnya di atas meja Syafa lalu menatap Sean. "Tuh di belakang kosong kunyuk." Tunjuknya kepada bangku kosong di belakang mereka.
Hari minggu. Hari yang sangat menyenangkan bagi setiap orang. Di mana kebanyakan orang akan lebih memilih bersantai di dalam kamar seharian sambil tiduran atau marathon movie maupun drama.Tapi menurut Hana, definisi menyenangkan di hari minggu bukanlah kegiatan seperti itu. Ia lebih suka mengerjakan banyak hal. Seperti pagi ini, ia menuruni tangga rumahnya dengan begitu riang sambil menyanyikan salah satu lagu milik Ed Sheeran."Suara lo jelek dek." Ucap Azka yang berada di ruang tengah tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari tv.Hana yang menginjak tangga terakhir pun langsung menghentikan nyanyiannnya dan mengerucutkan bibir. "Abang juga suaranya jelek." cibir Hana."Kita kan saudara.""Tau ah, terserah Abang."Hana langsung berjalan menuju dapur dengan menghentak-hentakkan kakinya. Sementara itu, Azka tertawa melihat kelakuan adiknya dan berdiri ikut menyusul
Hana mengikuti langkah Sean dan langsung di sambut oleh Raina di depan pintu. Raina langsung memeluk kaki Hana melepaskan kerinduannya pada kakak angkatnya tersebut.Hana menjauhkan tubuh Raina dari kakinya dan merasakan jika tubuh gadis kecil itu bergetar. Kemudian Hana berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan gadis manisnya. Hana membelalakkan mata mengetahui Raina sedang menangis. Di hapusnya jejak air mata yang mengalir di pipi chuby Raina."Raina kenapa nangis?" tanyanya langsung lalu merengkuh tubuh Raina ke dalam pelukannya. Ia tidak bisa melihat adik kecilnya ini menangis."Rindu kak Ha... Hana." ucap Raina di sela tangisannya.Jika mempunyai waktu senggang Hana memang akan menyempatkan diri berkunjung ke Day Care. Namun satu minggu kemarin ia benar-benar tidak bisa karena Bundanya sedang sakit dan dirinya sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah.Hana mengenal Raina empat tahun yang la
Pagi ini Hana berjalan menyusuri koridor dengan riangnya. Di sapanya setiap siswa-siswi yang melewatinya. Ketika ada yang memanggil namanya ia pun berhenti dan berbalik."Hana, tugas dari Bu Ratna udah gue teliti. Tinggal di serahin aja ke Bu Ratnanya. Nih, lo aja yang serahin yah soalnya gue ada tugas ngambil bagian di upacara." Gisel teman sekelas Hana menyerahkan beberapa lembar kertas yang telah dijilid rapi."Baiklah, kalo gitu gue taruh tas dulu baru ke ruang guru yah." Hana baru saja akan melangkah namun kembali di hadang oleh Gisel."Elo ke ruang guru aja sekarang Na, soalnya nanti keburu upacara. Itukan harus di setor sebelum upacara." Anjur Gisel yang terlihat seperti sedang terburu-buru."Oh gitu yah? Oke gue ke ruang guru dulu deh. Bye." Hana melangkah meninggalkan Gisel menuju ke ruang guru. Sedangkan Gisel berlari menuju ke lapangan.Hana berjalan di koridor sekolah sembari menat