Share

Part 3

Kia bersenandung riang sambil melangkahkan kakinya. Entah kenapa pagi ini suasana hatinya begitu bagus. Secerah cuaca pagi ini, matahari bersinar cerah langit terlihat bersih dan biru. Sesekali angin bertiup menerpa wajahnya, sejuk.

Kia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah sakit tempatnya bekerja. Rumah Sakit Jasmine adalah salah satu rumah sakit swasta terbaik yang ada di kota ini. Rumah sakit ini terkenal dengan pelayanan nya yang sangat baik pada para pasiennya.

Ada satu tempat yang suka Kia perhatikan dari rumah sakit ini. Yaitu taman bunga yang terletak di dekat parkiran tempat dia sering memarkir mobilnya. Taman bunga nya tidak terlalu besar, tapi cukup asri dengan berbagai jenis bunga. Beberapa kursi panjang disediakan bagi yang ingin bersantai. Di sekitar taman disediakan lampu-lampu dan tidak lupa, di beberapa pohon, dililit dengan lampu-lampu kecil sehingga ketika malam hari, taman itu tampak memanjakan mata. Ada kolam air mancur di tengah taman itu. Bagi sebagian orang, memandangi ikan yang sedang berenang di kolam cukup ampuh menghilangkan rasa penat dan lelah mereka. Entah bagi keluarga pasien, maupun bagi karyawan rumah sakit itu sendiri.

“Pagi Rian…” sahut Kia pada temannya yang sudah terlebih dulu datang.

Rian melongo, “Buset, cerah amat neng. Tumben pagi-pagi.” Goda rian.

Kia hanya tersenyum sambil mengangkat bahu nya, lalu melirik jam dinding. Masih ada setengah jam sebelum apel pagi.

“Kantin yuk, ngopi?” ajak Kia.

Rian berdiri semangat. Dia memang belum sarapan tadi pagi. Biasanya jika Kia mengajak ke kantin, itu artinya makan gratis.

“Ayok, lo pengertian banget, tau aja gue lagi laper.”

Kia tertawa melihat tingkah Rian.

---

Pekerjaan Kia menyiapkan resep-resep untuk pasien sudah selesai. Kia lalu beranjak ke meja kerja nya, menghidupkan komputer untuk membuat laporan. Sudah hampir jam tiga sore, sebentar lagi jam pulang.

“Kia, ada barang datang noh.” Teriak Rian.

Kia menoleh, “Apa yan? Darimana?”

Tidak ada sahutan. Kia lalu beranjak untuk menerima barang yang dimaksud.

“Barang dari mana mas?” tanya Kia.

“Surabaya, Bu.” Jawab kurir sambil menyebutkan salah satu distributor obat-obatan dan alat kesehatan.

“Ada berapa koli? Tolong bawa masuk ya, nanti saya cek di dalam.”

Kia menerima surat jalan dan faktur yang diberikan kurir, lalu mengecek barang yang dimaksud apakah sudah sesuai dengan yang tertera di fakturnya. Selesai, Kia lalu menandatangani dan menuliskan di buku penerimaan barang miliknya.

“Mas, tanda tangan di sini ya.” Ujar Kia.

“Iya bu, nanti bos saya aja yang tanda tangan. Bentar ya.”

Tak lama kemudian, seorang lelaki yang terlihat sibuk dengan teleponnya berjalan mendekat. Nafas Kia tertahan, tenggorokannya kering tiba-tiba. Tapi lelaki itu terlihat santai tidak terkejut sedikitpun.

“Te… Teguh?”

Lelaki itu tersenyum lebar, “Kia, apa kabar?” sambil mengulurkan tangannya.

Seperti terhipnotis, Kia menjulurkan tangannya juga. Kia merasa wajahnya panas ketika tangan mereka bertemu. Mungkin saat ini wajahnya memerah. Meskipun pikirannya mengatakan untuk menghindar, tapi Kia tidak bisa menemukan celah untuk pergi. Sebenarnya Kia senang bisa bertemu dengan mantan kekasihnya ini. Bagaimanapun juga, hatinya sejuk seolah menemukan tetesan air disaat hatinya kekeringan karena terlalu lama merindukan sosok di depannya ini.

“Jadi dimana aku tanda tangan?” Tanya Teguh, membuyarkan lamunan Kia.

Masih tak bisa berkata-kata, Kia menunjuk bagian yang harus ditanda tangani Teguh.

“Kamu kerja disini? Kapan kamu pindah? Setahuku kamu kerja di Bandung kan?”

Mata Kia melotot karena terkejut. Darimana dia tahu Kia pernah kerja di Bandung. Hatinya kembali bersorak, ternyata lelaki ini masih memperhatikannya.

“I..Iya, kemaren dua tahun di Bandung. Begitu kontrak habis, aku pindah ke sini.” Ucap Kia.

Teguh mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah. Kapan-kapan kita ketemu ya… Aku permisi dulu. Bye..”

Dia langsung pergi dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Meninggalkan Kia yang sedang memijat keningnya yang berdenyut-denyut.

---

Sehari sebelumnya.

Teguh melangkah masuk ke kantornya, menuju meja salah satu karyawannya.

“Nia, kalo nanti ada barang punya RS Jasmine, entah itu obat-obatan atau alat kesehatan, kasih tau saya ya. Biar saya yang kirim kesana.”

Nia mengerutkan keningnya, heran karena mengirim barang bukanlah tugas bosnya. Mereka punya banyak kurir yang bertugas di pengiriman sesuai dengan pembagian wilayah masing-masing.

“Tapi pak..”

“Nggak usah banyak tanya.” Teguh langsung meninggalkan Nia yang masih bingung dengan bosnya tersebut.

Teguh duduk di ruangannya. Memandangi beberapa undangan di atas meja kerjanya, yang belum sempat dia sebarkan. Memang, untuk beberapa orang dekat seperti sahabat-sahabatnya, Teguh memilih mengantarkan sendiri undangannya, tidak menyuruh kurir.

Di cover undangan berwarna biru muda itu tertulis namanya dengan indah.

Teguh & Kalila.

Kalila Jovanka. Gadis cantik yang dikenalnya beberapa tahun lalu. Saat dia mulai menyerah mengejar cinta Kia. Gadis yang mempu mengisi kekosongan hatinya karena kecewa terlalu dalam akibat menjauhnya Kia darinya. Kalila merupakan sosok yang sangat lembut dan penyayang. Dia adalah salah owner dari salah satu wedding organizer di kota ini. Bisa dibilang, Sincerity Project, wedding organizer milik Kalila adalah salah satu yang terbaik meskipun baru berjalan sekitar dua tahun belakangan.

Teguh mengenal Kalila saat menghadiri resepsi pernikahan sahabatnya, Kenan. Saat menemui sang pengantin di ruang tunggu, saat mempelai wanita sedang re-touch make up. Teguh melihat Kalila yang cekatan mengatur jalannya resepsi pernikahan rekannya itu. Dia terlihat fokus dengan kertas kecil di tangannya, sementara tangan kanannya terlihat memegang headset di telinganya yang terhubung dengan HT (Handy Talky), serius mendengarkan penjelasan kru nya, mungkin.

Sesekali gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tunggu yang hanya ada 5 orang di dalamnya. Mempelai wanita bersama make up artisnya, Kenan yang sedang berbincang dengan Teguh, dan Kalila sendiri.

Gadis itu memastikan mempelainya akan selesai re-touch make up dan bersiap kembali ke pelaminan. Saat matanya bertatapan dengan Teguh, gadis itu tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya sopan. Teguh lalu berinisiatif mengulurkan tangannya, “Hai, gue Teguh.”

“Lila” jawab gadis itu singkat. Lalu beranjak keluar dari ruang tunggu setelah salah satu kru memanggilnya.

Sejak saat itu, entah bagaimana Teguh dan Kalila mulai dekat dan tak lama kemudian menjadi sepasang kekasih.

Teguh menarik nafasnya yang terasa berat. Memikirkan kenapa Kia datang justru disaat dia akan menikah. Seandainya Kia datang lebih cepat, mungkin nama yang tertera di undangan itu bukanlah nama Kalila, tapi Azkia.

Teguh memejamkan matanya, memikirkan Kalila dan Kia disaat yang bersamaan. Sungguh hatinya dilanda kebimbangan yang sangat besar. Entah apa yang membuat dia bimbang, padahal Teguh menikahi Kalila bukan karena terpaksa, melainkan karena keinginannya sendiri. Dan seluruh keluarganya menyambut baik niat Teguh dan mendukung sepenuhnya keinginan lelaki itu.

Di tengah kebimbangannya itu, dia lalu meraih ponselnya.

“Kenan? Lo sibuk? Bisa ketemu nanti pas istirahat? Ada yang mau gue omongin sama lo.” Teguh menghubungi sahabatnya itu, mencoba mencari jalan keluar dari kebimbangannya saat ini. Dia tidak bisa berpikir jernih. Mungkin dia perlu saran dari sudut pandang yang lain. Bukan hanya dari egonya saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status