Share

Part 5

Kia menunduk tak sanggup menatap lelaki di depannya. Keadaan ini sama seperti 7 tahun yang lalu, saat Kia ingin mengakhiri hubungan mereka. Kafe tempat mereka bertemu saat ini pun sama. Bahkan Teguh memesan minuman yang sama. Iced Coffee Latte dan Es Cokelat favorit Kia.

“Ehm... Azkia...“

Kia mengangkat kepalanya, menatap sosok lelaki didepannya, tepat langsung ke bola matanya. Sialnya tatapan Kia justru membuat jantung Teguh berdesir seolah diterpa angin. Masih seperti dulu, detak jantungnya akan berpacu lebih cepat saat berada di dekat Kia.

“Terima kasih sudah mau menemuiku.“ Ucap Teguh pelan.

“Apa maksudmu mengajakku kesini?” sahut Kia galak.

Teguh menarik nafas panjang, “Kamu nggak bisa menghindariku terus seperti yang kamu lakukan selama ini. Itu menyakitiku.”

“Akupun sama.” Sahut Kia dalam hati.

“Kamu harus jelaskan apa salahku hingga selama bertahun-tahun menghindariku, seolah aku penjahat yang bisa mencelakaimu.”

Kia mendengus kesal, “Kita sudah selesai, nggak ada hubungan apapun. Salahkah jika aku menghindar darimu? Kita sudah nggak ada keperluan satu sama lain.“

“Oh, jadi kemarin hubungan kita hanya berarti seperti itu dimatamu? Yang ketika tidak ada keperluan, bisa kamu buang begitu aja?”

Kia memejamkan matanya, menyadari bibirnya terlalu cepat mengeluarkan alasan yang bahkan tidak sempat terpikirkan oleh akal sehatnya. Dia sendiri sadar ucapannya itu melukai hatinya sendiri. Bagaimana dengan perasaan lelaki di depannya.

“Jadi aku tidak berarti apa-apa bagimu, Kia?”

Masih terdiam, Kia menundukkan wajahnya.

“Maaf Teguh, aku nggak bermaksud kayak gitu. Cuma memang kita sudah nggak ada apa-apa lagi, dan kamu sebentar lagi menikah. Tidak baik bagi kita jika masih bertemu. Ini akan menyakiti calon istrimu.”

“Kia, paling tidak beri aku alasan kenapa kamu begitu menghindariku. Jadi aku bisa berpikir, dan mungkin berdamai dengan perasaanku. Rasa bersalah yang selalu menghantuiku. Maafkan aku jika dulu aku melakukan kesalahan yang membuat kamu kecewa sampai nggak mau berkomunikasi sedikitpun.”

“Kamu tau, banyak orang yang sebelumnya adalah sepasang kekasih, dan ketika putus mereka masih bisa berteman. Dan aku mau kita juga kayak gitu Kia. Jika ada salahku, maafkan aku. Tapi tolong bilang apa yang kulakukan sampai kamu membenciku begitu besar selama ini. Kita harusnya berpisah baik-baik. Nggak perlu ada saling menghindar.” Ucap Teguh panjang lebar.

Kia berdiri dan beranjak keluar dari kafe itu, setelah sebelumnya berkata, “Maaf, aku nggak bisa berteman sama kamu.“

Kia berlari memasuki mobilnya. Tanpa Kia tau Teguh mengikutinya.  Kia kaget ketika dia masuk ke mobilnya, Teguh sudah duduk di kursi penumpang, di sampingnya.

“Aku sudah bilang, kamu tidak bisa terus menghindar. Aku cuma perlu alasan dari kamu Kia.” Teguh mencengkeram kedua pergelangan tangan Kia, hingga mereka berhadapan.

Akhirnya pertanahan Kia runtuh. Air mata yang dengan susah payah ditahan akhirnya jatuh. Kia menangis, hingga bahunya berguncang. Melepaskan semua perasaan yang ditahannya selama ini.

Teguh tertegun, melihat Kia menangis. Terlihat begitu terluka, kacau, berantakan. Rambut nya kini menutupi sebagian wajah cantik Kia. Dahinya dipenuhi dengan keringat. Ternyata menangis menguras banyak energi juga.

“Hiks.. hiks...” Kia menarik nafas panjang, “Tolong.. Hiks... Ajari aku caranya... Hiks... Melupakan... Kamu...” dan air mata Kia semakin deras ketika kalimat itu keluar dari bibirnya.

Cengkeraman tangan Teguh melemah, Kia menarik kedua tangannya, menutupi wajahnya. Bersandar pada kemudi mobilnya sambil terus terisak. Teguh mengelus puncak kepala gadisnya itu dengan perasaan sayang. Membiarkan Kia mengeluarkan semua emosinya yang tertahan entah berapa lama.

“Hiks… Ajari aku… Hiks… Supaya aku bisa… Menghapus semua yang sudah… kita lewati… ”

“Jauhi aku, Teguh… Buat aku berhenti mengharapkan untuk bisa hidup dengan kamu. Tolong… Hiks…”

Teguh memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut. Menarik nafas menahan amarahnya. Menahan emosi agar tidak membentak gadis rapuh di depannya.

“Kalau kamu masih mencintai aku, kenapa kamu terus menghindar? Kita bisa memperbaiki semuanya kalo kamu mau bicara, Kia.”

Setelah tangisannya berkurang, Kia menjawab, “Kamu tau alasannya. Jujur, aku benci diriku sendiri. Aku benci pikiranku yang tidak bisa mempercayai apapun yang jauh dariku, yang nggak bisa terlihat oleh mataku. Aku benci semua itu, aku nggak bisa tenang.”

Tapi setelah itu, air mata kembali membanjiri pipi Kia. Membuat pundaknya kembali berguncang akibat isakannya.

Teguh lalu menarik tangan Kia dan membawanya ke dalam pelukannya. Awalnya Kia menolak, mendorong tubuh lelaki itu menjauh, tapi tenaganya seakan sudah terkuras akibat menangis. Kia tak mampu lagi melawan ketika Teguh menenggelamkan wajah Kia ke dalam dekapannya. Kia merasakan dada bidang lelaki itu, lalu menghirup aroma maskulin yang lembut menenangkan. Air matanya masih mengalir tanpa bisa dia hentikan.

“Jangan jadikan masa lalu orang tua kamu sebagai alasan. Kamu tau nggak semua lelaki kayak gitu. “ ucap Teguh tegas sambil mengelus rambut Kia. Menghirup wanginya, yang ternyata masih sama seperti dulu.

Teguh tak habis pikir, apa yang dipikirkan Kia dengan menyiksa dirinya sendiri. Membohongi perasaannya sekian tahun. Sampai Teguh sendiri menyerah untuk mengejar Kia, menyerah untuk mendapatkannya lagi. Karena semua yang Teguh lakukan dulu terasa sia-sia. Kia bahkan tidak memberikan respon apapun.

Hatinya bimbang.

Awalnya dia ingin berdamai dengan mantan kekasihnya, supaya tidak meninggalkan perasaan bersalah yang mengganjal. Memantapkan hatinya untuk menikah sebentar lagi, hanya tinggal hitungan hari, meninggalkan semua kenangan masa lalu dengan indah.

Tapi lihat sekarang, begitu dia tau bahwa gadisnya ternyata masih mencintainya, hatinya bimbang. Meskipun Kia meminta Teguh untuk menjauhinya, Teguh tidak bisa. Dia masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa Kia masih belum melupakannya. Kenyataan ini terlalu indah untuk bisa dipercaya akal sehatnya. Biarlah untuk hari ini Teguh akan egois menuruti perasaannya. Melupakan sejenak pernikahannya yang sudah di depan mata.

Tanpa Teguh sadari, entah sudah berapa lama tangisan Kia berhenti, digantikan oleh nafasnya yang teratur. Kia tertidur di pelukannya. Teguh mengecup kening Kia pelan, lalu memegang bahu Kia dan menyandarkannya . Mengatur kemiringan jok mobil agar Kia bisa berbaring dan istirahat. Melupakan sejenak semua yang ada di kepalanya.

Teguh masih terus memandangi wajah polos Kia saat tidur. Bibirnya sedikit terbuka. Sisa-sisa air mata masih membekas di kedua pipinya.

“Kenapa kamu baru datang sekarang? Kenapa ketika lulus kuliah dua tahun lalu kamu nggak langsung pulang?” ucap Teguh perlahan sambil membelai rambut Kia.

Terlambatkah sudah jika Teguh ingin kembali pada Kia? Tapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja meninggalkan calon istrinya. Undangan sudah disebar. Segala persiapan sudah beres. Teguh juga tak sanggup memikirkan keluarganya menanggung malu jika sampai pernikahannya batal.

“Kamu membuat semua semakin sulit untukku, Sayang.” Teguh kembali memijat keningnya, tapi tetap tak mampu berpikir jernih.

Sementara tak jauh dari mobil Kia, seorang gadis berdiri tak berkedip seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kaca mobil Kia memang sedikit terang sehingga bisa terlihat dari luar. Kalila, gadis itu berlari dengan senang karena tak sengaja melihat lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Namun langkahnya terhenti saat melihat lelaki itu memasuki mobil yang tak dikenalnya, dan sepertinya keduanya terlibat pertengkaran hingga gadis di dalam mobil itu menangis. Kalila hampir tak bisa menopang tubuhnya saat melihat calon suaminya memeluk orang lain, membelai rambutnya dengan mesra, bahkan dia mengecup keningnya. Air mata Kalila sudah tak terbendung, turun dengan deras tanpa bisa ditahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status