Share

Empat Pertanyaan Empat Permintaan

Pemotretan  itu terhenti saat menjelang makan siang. Satu lagi yang Nadira ketahui bahwa ternyata di pabrik itu terdapat layanan makan siang gratis bagi para karyawan. Dan saat ini, Nadira beserta tim pemotretan tengah berada di sebuah area kantin yang luas dan nyaman dengan makanan yang tampak menggiurkan di hadapan mereka. 

"Dia itu cowok, apa lukisan berjalan sih?” Nadira bisa mendengar bisikan beberapa gadis yang duduk di depannya. Ia menduga mereka para staff administrasi karena mereka tidak mengenakan seragam seperti yang digunakan buruh lainnya.

“Gue juga penasaran. Cakepnya itu loh, kebangetan banget.” Lanjut yang lain. Mereka sepertinya tidak malu mengungkapkan pujian meskipun saat itu kantin tengah ramai.

“Yang gue tau, katanya dia itu Turki tulen.”

“Maksudnya?”

“Kan kalo Sir Adskhan atau Sir Lucas itu blasteran ya. Ada darah Indonesianya gitu. Nah kalo dia, emak sama bapaknya beneran Turki asli.”

“Pantesan, cakepnya beda.” Kekeh salah satu gadis itu. “Menurut loe pada, dia jomblo gak sih?”

“Menurut loe?” salah satu dari gadis itu balik bertanya. “Masa iya cowok begitu jomblo.” Lanjutnya. “Loe ganti pertanyaan loe. Harusnya loe nanya, dia punya cewek berapa. Itu baru bener.”

Teman-teman dari kumpulan gadis itu terkikik seraya mengangguk. “Iya juga ya, masa iya cowok tampan plus tajir macem gitu jomblo. Justru kalo jomblo malah patut dicurigai. Bisa jadi dia malah hombreng.” Ucap yang lain yang dijawab dengan sebuah toyoran.

“Sialan loe. Kalo sampe dia denger, bisa di cut loe.” Tegur yang lain. “Tapi kalo emang dia suka nyimpen stok banyak, gue mau donk dijadiin koleksi.”

"Yey, ngaca dong loe. Laki sama anak loe di rumah mau dikemanain?" Tegur temannya itu.

Nadira terdiam. Dalam hati menduga-duga tentang siapa ‘dia’ yang mereka bicarakan. Erhan kah itu? Apa pria itu memang ada disini? Satu pikiran tiba-tiba muncul di benaknya. Ia menduga kalau Erhan sebenarnya tahu dimana keberadaan Gisna saat ini. Haruskah dia mencari pria itu dan bertanya? Nadira menggelengkan kepalanya pelan. Tidak, itu bukan ide yang baik.

Mereka bersamaan kembali menuju ruang foto. Furniture yang sebelumnya kini sudah berganti dengan barang baru. Dan Nadira juga kini sudah mengenakan pakaian baru. Namun saat ia hendak keluar dari ruang make-up. Seseorang berjalan masuk dan membuatnya terkejut.

“Cantik.” Puji pria itu, menatap langsung mata Nadira dari arah cermin di depannya. “Maaf, aku baru punya waktu untuk menyambut super model kita.” Ucapnya seraya berjalan mendekat dan berdiri di belakang kursi Nadira. Nadira memandang pria yang baru saja semalam mengganggunya. Ya, siapa lagi kalau bukan Erhan. Tetangga baru yang juga sepupu ipar sahabatnya yang kini baru ia tahu merupakan salah satu atasannya. “Aku juga sudah melihat hasil potretanmu hari ini. Aku jadi sedikit ragu, memilihmu menjadi model mungkin bukan ide yang benar.” Lanjut pria itu. Dan mendengar ucapannya membuat dahi Nadira mengernyit seketika.

“Apa maksudnya itu?” tanyanya dengan nada tak suka. Ia jelas tidak melakukan kesalahan, kenapa pria itu mengatakan kalau dia telah salah memilih model? Memangnya apa yang dilakukan Nadira?

Erhan terkekeh. Pria itu kemudian berjalan mendekati meja rias. Meletakkan bokongnya yang seksi di sana. Melipat kedua tangan di depan dada dan memandang Nadira. Memperhatikan penampilannya dari atas ke bawah.

“Maksudku,” ucap Erhan dengan nada lambat. “Aku hanya takut, konsumen kami bukannya tertarik pada model furniture yang kami jual. Tapi lebih terpikat pada kecantikan sang model.”

Rayuan Erhan malah membuat Nadira mendengus. “Rayuan receh seperti itu tidak akan mempan, Sir.” Jawab Nadira kemudian. Tapi kemudian Nadira menyadari adanya peluang. Mumpung Erhan ada disini, jadi kenapa ia tidak sekalian bertanya. “Ada yang ingin aku tanyakan pada Anda, Sir.”

“Panggil aku Erhan, Nadira. Aku tidak suka kau memanggilku dengan sebutan formal seperti itu.”

Lagi-lagi Nadira mengernyitkan dahi. Lalu kemudian ia menggeleng. “Saya tidak bisa melakukan itu.” tolaknya halus. “Walau bagaimanapun, Anda atasan saya disini. Anda orang yang membayar saya.” Lanjutnya.

Erhan menggeleng. “Aku bukan atasanmu. Dan bukan aku juga yang membayarmu. Kontrakmu itu antara kau, agency dan perusahaan bukan denganku. Karena bukan aku juga yang memilihmu menjadi model.” Jawab Erhan lagi. “Lagipula, lebih dari itu. diluar semua ini kita adalah tetangga dekat. Dan kau adalah sahabat dari iparku, yang berarti kau juga adalah temanku.” Jawab Erhan dengan senyum manis di wajahnya. “Atau kalau kau mau status kita lebih dari itu, aku dengan senang hati akan mengabulkannya.” Ucapnya seraya mengedipkan sebelah matanya.

Nadira membulatkan matanya. “Tidak. Terima kasih.” Tolaknya lagi. “Tapi karena Anda sedang membahas ini, maka sekalian saja saya bertanya.” Nadira memandang Erhan dengan tajam. “Anda pasti tahu dimana keberadaan Gisna saat ini, bukan?”

“Gisna?” pria itu balik mengerutkan dahi.

“Sepupu Anda, Lucas tadi pagi datang ke apartemen saya dan menanyakan Gisna. Sebelumnya teman saya memberitahu saya kalau Gisna menghilang. Dan Anda serta sepupu Anda yang lain mengatakan kalau Anda tidak tahu dimana keberadaan Gisna. Tapi saya rasa, itu tidak benar. Anda menyembunyikannya saat ini kan?” itu bukan pertanyaan, melainkan tuduhan. Erhan mengangkat sebelah alisnya dan memandang Nadira dengan angkuh. “Kalian menyembunyikan keberadaan Gisna, kan?” kali ini pertanyaannya meragu.

Erhan menggaruk cuping hidunganya dengan telunjuk tangan kirinya. “Lalu?” pria itu balik bertanya. Yang malah membuat Nadira kembali mengerutkan dahi.

"Maksudnya?" Nadira balik bertanya karena tidak mengerti dengan pertanyaan pria itu.

“Kau menuduh kami menyembunyikan Gisna. Lalu masalahnya apa? Gisna menghilang, dan jika memang kami yang menyembunyikannya lalu masalahnya apa?"

Nadira mengerutkan dahi. "Jadi benar kalian menyembunyikannya?" Tanyanya lagi. Erhan balik mengedikkan bahu.

“Jawabanku, tergantung pada jawabanmu.” Ucap Erhan dengan senyum licik di wajahnya.

Nadira memicingkan mata. Ia mencurigai hal yang tidak menyenangkan dari ucapan Erhan. “Saya tidak sedang ingin bercanda, Sir.” Ucapnya tak suka.

Erhan menyeringai. Menatap Nadira dengan penuh arti yang sebenarnya membuat Nadira bergidik ngeri. “Aku juga tidak sedang mengajakmu bercanda, Nona Nadira. “ jawab Erhan masih dengan seringaian di wajahnya.

“Jadi benar, kalian menyembunyikannya?” Nadira semakin ingin tahu.

Erhan mengedikkan bahu. "Belum tentu. Bisa iya, bisa juga tidak. Kembali lagi, jawabanku tergantung pada jawabanmu.” Ucapnya. "Tapi, semisal kami memang menyembunyikan Gisna, kenapa aku harus memberitahumu? Hilangnya Gisna tidak ada urusannya denganmu bukan?"

"Tentu saja ada." Jawab Nadira lagi.

“Benarkah? Apa hubungannya denganmu?” tanya pria itu dengan sebelah alis yang kembali terangkat. “Oke, kau memang sahabatnya. Tapi dia menghilang ataupun disembunyikan, itu tidak ada hubungannya denganmu. Karena itu pilihannya dan itu ada dalam lingkup urusan rumah tangganya. Dalam hal ini kau adalah orang asing. Jadi kau tidak perlu terlibat dan mempermasalahkannya kan?"

"Aku mengkhawatirkannya!” jawab Nadira dengan lantang. Ia merasa emosi pada perkataan Erhan mengenai statusnya sebagai orang asing. Walau bagaimanapun, separuh hidupnya dia habiskan bersama Gisna. Bagaimana bisa disebut orang asing? “Terlebih lagi dia sedang mengandung dan baru saja keluar dari rumah sakit. Jika sesuatu terjadi padanya, bagaimana? Aku ingin tahu dia ada dimana, bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja?"

"Jadi berapa pertanyaan semuanya? Tiga?" Erhan memandang Nadira dan jarinya bergantian. Nadira balik memandangnya bingung. Erhan malah kembali mengulang pertanyaan yang tadi Nadira ajukan. "Gisna dimana?" Erhan mengacungkan telunjuknya. "Bagaimana keadaan bayinya." Ia mengacungkan jari tengahnya. "Apa dia baik-baik saja." Ia mengacungkan jari manisnya. "Tiga pertanyaan dan butuh tiga jawaban. Dan ditambah satu lagi pertanyaan." Erhan mengangkat kelingkingnya sehingga keempat jarinya mengacung sempurna. "Apakah kami menyembunyikannya." Ucapnya.

Nadira mengernyit. Apa disaat seperti ini memang mengharuskan pria di depannya ini berhitung? Namun kebingugan Nadira malah dijawab dengan senyuman oleh pria itu.

"Aku bisa menjawab semua pertanyaanmu. Tapi tidak gratis. Kau harus membayarku." Tawar pria itu.

Ahh, akhirnya Nadira mengerti. Dengan dagu terangkat dia menantang Erhan. "Berapa yang kau minta?” ucapnya. “Tapi berikan angka yang masuk akal, karena tidak sekaya keluarga Levent kalau kau mau tahu." Sindir Nadira dengan tajam. Karena emosi, dia sudah melupakan keformalan yang sejak tadi dia pertahankan.

Nadira lagi-lagi melihat senyum manis di wajah pria itu. senyuman manis yang mengandung kelicikan.

Erhan menggelengkan kepala. "Aku tidak perlu uangmu, nona manis." Ucapnya seraya tersenyum  semakin lebar. Nadira melihat pria itu berdiri. Selangkah maju mendekat ke arahnya. Meletakkan kedua tangnnya di kedua sisi pegangan kursi yang sedang didudukinya, membuat Nadira mau tak mau ikut mendongakkan kepala memandangnya. "Kalau kau bersedia memenuhi empat permintaanku. Maka aku akan menjawab empat pertanyaanmu saat ini juga." Lanjutnya dengan seringaian licik di wajahnya. Nadira bahkan bisa mencium napas berbau mint milik pria itu. dan aroma parfum yang segar juga turut menggelitik indra penciumannya.

Nadira hendak menekan lantai dan memundurkan kursi beroda yang kini dia duduki. Namun Erhan ternyata mencengkeram kursinya dan menahannya.

"Pe-permintaan apa maksudmu?” Tanya Nadira yang mendadak merasa takut akan keberadaan Erhan dan seringai yang tak juga hilang di wajahnya. “Aku bukan jin, ya. Yang bisa mengabulkan permintaanmu." Lanjutnya dengan sedikit gugup. Kedekatan pria itu entah kenapa tiba-tiba menimbulkan gelenyar aneh di tubuh Nadira. Dadanya mendadak berdebar dua kali lebih cepat dari seharusnya. "Lagipula kau itu serakah. Jin saja hanya mengabulkan tiga permintaan. Dan kau dengan serakahnya meminta empat." Tegur Nadira. Namun Erhan menyikapinya dengan tak acuh.

"Katakanlah aku bukan manusia kebanyakan." Jawabnya sambil mengedikkan bahu tak acuh. Erhan semakin mendekat sementara Nadira semakin menenggelamkan punggungnya pada sandaran kursi. Berharap bisa menjauh, namun Erhan malah semakin mencondongkan tubuhnya ke depan. Mau tak mau Nadira menelan ludah.

"Anda terlalu dekat, Sir." Cicit Nadira. Kedua tangannya terulur dan menahan dada Erhan yang ternyata terasa hangat di telapak tangannya. Erhan mencoba menahan senyumnya. Ternyata sikap impusifnya membuat gadis itu gugup sehingga kembali pada mode formal nya

“Bagiku ini cukup.” Ucapnya dengan bisikan pelan. Erhan mengangkat tangan kanannya dan memainkan rambut Nadira dengan jemarinya yang panjang. "Jadi? Bagaimana?” ucapnya. “Empat permintaan untuk empat jawaban?" Erhan mengangkat sebelah alisnya. Menuntut jawaban.

"Tapi itu tidak masuk akal. Maksudku, permintaan apa yang bisa Anda minta pada saya?"

Erhan mengedikkan bahu. Punggung jemarinya kini memindahkan rambut Nadira yang tergerai ke balik punggungnya. “Sejujurnya, aku belum memiliki satu pun permintaan.” Ucapnya masih dengan berbisik dan senyum manis di wajahnya. "Itu bisa kupikirkan nanti." Lanjut Erhan santai. "Selama kau setuju dengan syaratku, maka aku akan menjawab pertanyaanmu. Tapi kalau kau tidak membutuhkan jawabanku, maka…” Erhan mengedikkan bahunya dan kemudian menegakkan tubuhnya dengan gerakan lambat.

Erhan kembali menahan senyumnya saat melihat Nadira menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. "Pikirkan saja dulu.” Ucapnya. “Atau kalau ku punya informan lain, maka kau bisa bertanya dulu padanya.” Erhan berjalan menuju pintu. Ia membukanya, namun sebelum meninggalkan ruangan dia kembali menoleh ke arah Nadira dan tersenyum. "Tapi kalau informanmu tidak bisa memberikanmu jawaban, dan kau bersedia mengabulkan empat permintaanku. Maka aku akan menunggumu di ruanganku setelah acara pemotretanmu selesai.” Ucapnya seraya mengedipkan sebelah mata dengan cara menggoda. “Atau kalau kau mau yang lebih privasi, pintu apartemenku akan selalu terbuka.” Lanjutnya dan kini benar-benar meninggalkan Nadira yang masih memandangnya dengan terperangah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status