Share

Part 3

"Key, jangan pingsan lagi dong, ini hari bahagiamu," tutur Mama.

"Iya Key, jangan pingsan, sekarang kita keluar yuk, Rey sudah menunggu di depan." 

Aku tak memperdulikan ucapan mama maupun tante Mariska, karena tubuhku sekarang rasanya ingin limbung saja. Dan tak lama semuanya kembali terasa gelap.

🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎

"Key, ya ampun ... bangun dong sayang."

"Key, sayang, ayo bangun, ini hari bahagia kamu."

Sayup-sayup kudengar suara mama dan tante Mariska bersahut-sahutan menyebut namaku. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Perlahan kubuka kedua mataku. Hal yang pertama kulihat adalah mama dan tante Mariska yang tengah berusaha untuk membuatku siuman, seperti pada waktu aku pingsan pertama tadi. Entah berapa lama aku hilang kesadaran hingga ada beberapa wanita paruh baya berada di kamar ini. Mungkin akan kutanyakan nanti pada mama.

"Sayang, kamu udah sadar?" tanya Tante Mariska. Aku hanya mengangguk pelan.

"Baguslah kalau gitu, ayo coba kamu bangun." Elah, si mama, nggak bisa apa ya ngebiarin aku rebahan barang sekejap.

Aku mengedip-ngedipkan mataku ke arah mama. Berharap mama mengerti kode yang kuberikan, bahwa anaknya yang cantik jelita ini masih pengen rebahan.

"Nggak usah manja deh, kamu itu pingsan selama sepuluh menit, jadi udah sepuluh menit kamu rebahan, udah buruan bangun." Bener-bener deh mama nggak ada pengertiannya sama sekali, anaknya baru siuman udah keburu langsung disuruh bangun, mana sambil ngomel-ngomel lagi.

"Iya sayang, kayaknya kamu udah nggak papa, yuk coba bangun, biar perias bisa rapihin make up sama tatanan rambut kamu." Ini juga tante Mariska main nyuruh yang aneh-aneh aja. Kesel deh, bener-bener nggak ada yang ngertiin aku.

Dengan berat hati akhirnya aku bangun dari posisi rebahan. Setelah itu Mama sama tante Mariska langsung membantuku bangkit dari ranjang dan menuntunku berjalan menuju meja rias, yang mana sudah ada dua perias tadi di dekat sana.

Mama mendudukkanku di kursi meja rias, dan perias pun memulai pekerjaannya untuk merapikan tatanan rambutku yang di sanggul sederhana dan tentu saja make up-ku pun turut diperbaiki. Tak lupa mama memeriksa dan merapikan kebaya yang kupakai, mungkin takut terlihat kusut.

Aku sama sekali tak menyangka bila hari ini aku mengenakan kebaya pengantin khas jawa. Semua tak pernah kuduga sebelumnya, dan benar-benar ini seperti mimpi. Dulu aku selalu berkhayal jika di hari pengantinku nanti aku akan mengenakan kebaya pengantin khas jawa seperti ini, namun tentu saja tak pernah berharap jika harus menjadi pengantin pengganti, apalagi pengantinnya Si Rey. Hiii ... ngeri, membayangkannya saja aku tak sudi.

Tapi sialnya sesuatu yang membuat ngeri itu aku mengalaminya saat ini. Benar-benar seperti mimpi. Siapa saja tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

Andai ada satu orang saja yang mau mengerti perasaanku dan mau membantuku untu menolak tawaran tante Mariska, mungkin sekarang aku tak akan terjebak di situasi menyedihkan ini. 

Eh, ngomong-ngomong dari tadi aku tak melihat Difi semenjak tante Mariska menyeretku ke sini. Apa dia sama sekali tak mencoba mencariku, atau paling enggak ya ngikutin aku waktu diseret tante Mariska tadi. Padahal dia itu si ratu kepo, lah kok tumben nggak pengen tahu tentang prahara penyeretanku. Ah, pasti dia masih sibuk menghabiskan kue-kue di depan, dasar mata kue-an.

"Nah, sudah selesai Neng Keyla," ucap perias bernama Lela, yang berhasil membuatku terperanjat dan sadar dari lamunan tentang teman satu-ku yang nggak ada akhlak itu.

"Eh, kok cepet banget?" 

"Kan tinggal merapikan saja neng," timpal perias yang satunya.

"Udah Key, ayo bangun." Mama menyuruh sembari memegang lengan kananku untuk bangun dari kursi rias ini.

Aku hanya menurut. Aku dan mama berjalan berdampingan dan tentu saja mama menuntunku. Mungkin takut kalau aku kabur.

"Ma, kita mau ngapain sih," bisikku pada mama.

"Keluar, Key." 

"Mau ngapain coba?" Meskipun aku sudah nggak betah lagi berada di kamar ini, tapi rasanya enggan jika harus mengikuti mama. Seperti ada sesuatu yang mencurigakan.

Di depan pintu, tante Mariska tersenyum ke arahku, lalu meraih lengan kiriki untuk dituntunnya, sedangkan lengan kananku masih dituntun mama. Diapit dua wanita paruh baya ini membuatku seketika tersanjung. Duh, berasa jadi ratu.

Ratu pingsan maksudnya.

"Key, ayo kita keluar, penghulu sama Rey, dan yang lainnya udah nunggu dari tadi. Kamu harus tanda tangani surat nikah," ujar tante Mariska, dan aku hanya mengangguk saja, mau protes pun percuma kan?

Kami akhirnya keluar dari kamar yang sedari tadi membuatku sesak nafas, kemudian berjalan perlahan menuju tempat akad. Meski diapit oleh dua orang wanita yang telah berpengalaman menikah, tetap saja diriku gugup setengah mati. Jantung terus berdetak keras tak beraturan, meski ini sama sekali bukan pernikahan impianku.

Tiba di tempat akad, kulihat banyak orang berada di sini. Ada beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu yang kuketahui sebagai warga sini, yang berarti tetanggaku juga. Sisanya mungkin para keluarga dan kerabat Rey. Difi melongo ketika melihatku. Mungkin dia terkejut bahwa sahabatnya ini berubah jadi bidadari. Tak lupa kuberikan tatapan mematikan pada Difi. Seketika dia menutup kembali mulutnya.

Kulihat papa duduk di sebelah penghulu, berhadapan dengan ... Rey, Oh, astaga, kenapa dia terlihat ... tampan, tak seperti sebelumnya yang terlihat frustasi. Ia memakai setelan jas hitam yang di dalamnya mengenakan kemeja putih bersih, dipadukan dengan celana bahan panjang bewarna hitam. 

'Astaghfirulloh ... aku nggak boleh terpesona sama pesona Rey si kutukupret itu.'

Aku menggeleng-gelengkan kepala mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran tak bermutu itu. Gila apa aku memuji dia.

"Key, kamu kenapa kok geleng-geleng kepala gitu?" Ternyata ekspresiku tak luput dari penglihatan tante Mariska.

Aku berdehem dan mencoba meyakinkan bahwa aku baik-baik saja. "Eh, oh, enggak kok, Tan." 

"Ingat, Key, kamu sekarang udah sah jadi istri Rey, kamu jangan malu-maluin, dan jaga sikap kamu," bisik mama.

"Hmmm." 

"Key, apapun nanti arahan dari pak penghulu ataupun dari pembawa acara, kamu harus nurut ya, dan jangan pingsan lagi." Kini tante Mariska yang gantian memberiku wejangan.

Dua wanita ini bener-bener nggak ngerti situasi jantungku apa? 

"Nah, pengantin perempuannya sudah datang," ucap sang pembawa acara.

"Mari silahkan duduk di sebelah pengantin laki-laki," perintah pak penghulu.

Mama dan tante Mariska masih menuntunku berjalan menuju tempat sesuai yang diinstruksikan pak penghulu tadi. Rey berdiri menyambut, tatapan tajam ke arahku. Duh, jadi pengen kucolok mata elangnya itu.

Kalau kebanyakan orang di sini menatap takjub ke arahku, maka berbeda dengan Rey. Ia masih saja setia memghadiahuku tatapan maut. Entah apa maksudnya, mungkin penglihatannya sudah rabun kali ya? Pasalnya sekarang kudengar sayup-sayup orang memujiku cantik, eh malah Rey seperti ingin ... membunuhku.

Aku duduk berdampingan dengan Rey. Mama dan tante Mariska pergi menyingkir. Sebenarnya tadi aku sempat menahan lengan mama agar tetap menemaniku, tapi malah mama menepisnya pelan.

"Nah, sekarang pengantin putri silahkan tanda tangani buku nikah ini." Pak penghulu menyodorkan buku nikah serta bolpoin ke arahku. 

Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Bayangkan saja, semua gerak-gerikku masih saja tak luput diperhatikan oleh Rey. Bukan karena aku grogi ada didekatnya, tapi karena aku takut dia benar-benar akan membunuhku.

Selesai menandatanganinya, aku mendekatkan kembali buku nikah serta bolpoin itu ke arah pak penghulu.

"Karena ini belum ada fotonya pengantin wanita di buku nikah ini, jadi kapan-kapan diharapkan kalian menyetorkan fotonya ke KUA ya, biar bisa diurus. Jangan terburu-buru, nikmati saja dulu bulan madu kalian." Ucapan pak penghulu seketika membuat tawa orang yang mendengarnya, terkecuali aku dan tentu saja Rey.

Aku dan Rey hanya menanggapinya dengan menanggukan kepala. Ya masa mau mendebat pak penghulu dan memberi tahu bahwa kami tak akan bulan madu. Bisa runyam kan nanti.

Selesai sesi penandatanganan buku nikah dan lainnya, pembawa acara mengarahkan aku dan Rey berdiri untuk sesi penyematan cincin nikah. Mau tidak mau aku pun mengikuti arahan konyol itu. Kenapa kubilang konyol, ya karena pasti ukuran cincin tak akan sesuai di jari manisku. Sebab cincin itu kan seukuran dengan calon pengantinnya Rey. Ralat, mantan calon pengantin.

"Ayo Rey, pasangkan cincinnya di jari Key." Entah sejak kapan tante Mariska sudah kembali berada di dekat kami.

Rey mengambil cincin berlian dari kotak beludru, kemudian memasangkannya di jari manis tangan kananku.

Ajaib! Cincinnya pas di jariku, tidak sempit dan tidak kebesaran juga. Apa mungkin ukuran jarinya mantan calon pengantinnya Si Rey itu sama denganku? Bodo amatlah, aku tak mau memikirkannya.

"Hmmm ... cincinnya bagus juga, mahal nih pasti," batinku sambil memandangi cincin yang baru saja tersemat di jariku. Aku tersenyum melihat cincin ini, membayangkan seberapa rupiah yang bisa aku terima jika kujual cincin berlian ini.

Nah, ijo kan mataku, dasar mata duitan.

"Key, ayo salim dan cium tangan suami kamu." Ih, apaan sih mama, masa nyuruh salim sama si kutukupret. Eh, tapi kan dia sekarang suamiku. 

Dengan takut-takut, aku memandang ke arah Rey yang masih saja menatapku tajam. Padahal kan aku ingin meminta izin boleh apa enggaknya salim ke dia.

Mengerti dengan tatapan ketakutanku, Rey menyodorkan tangan kanannya padaku. Sesuai perintah mama tadi, aku pun salim dan mencium tangan Rey. Eh, kok rasanya kayak kesetrum ya? Jangan-jangan Rey ini tiang listrik berjalan lagi.

Jepretan kamera pun mengiringi sesi ini.

Sebetulnya aku ingin cepat-cepat melepaskan tanganku dari tangan Rey, tapi entah kenapa seperti ditahan oleh Rey. Hmmm ... pasti nyaman kan pegang tanganku yang lembut ini, makanya nggak mau lepasin.

"Rey, sekarang saatnya kamu cium kening Key." Aku melongo mendengar titah tante Mariska, kemudian menatap Rey sambil memberi kode agar tidak menuruti permintaan gilanya tante Mariska. Tapi dia hanya menatapku datar.

Rey mendekatkan wajahnya ke wajahku. Plis, jangan bilang dia menuruti permintaan ibunya. Bisa copot jantungku dari tempatnya, apalagi ini jantung udah deg-degan nggak karuan, karena Rey sudah sedekat ini.

Cup.

Si*l! Rey benar-benar menuruti permintaan Tante Mariska. Dan kurang ajarnya lagi dia menciumku lama. Oh, aku baru sadar sekarang, kamera masih setia mengambil gambar pose ini, pantas saja Rey, nggak beranjak. Tapi bisa jadi kalau dia juga modus kan? 

Suara-suara baper terlintas di telingaku. Apalagi suara Difi, beh ... paling keras memenuhi ruangan. Dasar kaleng rombeng. Awas aja kalau giliran dia nikah, aku balas menyalakan petasan pas dia lagi sesi seperti ini.

"Udah Rey, dilanjut nanti di kamar." Perkataan pembawa acara itu sukses membuat orang-orang tertawa sambil melesek. Seketika pipiku terasa panas. Hah, pasti blushing nih. Dasar, gara-gara Rey kutukupret.

Selanjutnya kami diarahkan menuju dekorasi sederhana untuk berfoto-foto bersama keluarga, kerabat, dan juga tetangga-tetangga yang hadir.

Senyum paksa kupersembahkan ketika berulang kali fotografer mengarahkan kameranya ke arahku. Tanganku juga terpaksa bergelayut di lengan Rey. Kalau saja bukan karena paksaan mama, aku tak akan melakukan hal yang kuanggap menjijikkan ini.

Masih mending aku tersenyum walau sangat terpaksa, lah Rey? Dia masih setia memperlihatkan wajah datarnya, padahal sudah berulang kali tante Mariska memperingatkan untuk tersenyum. Dasar batu!

Selesai foto-foto, aku langsung pergi meninggalkan Rey mencari tempat duduk. Rasanya pantatku udah pegel banget pengen membantingnya ke kursi.

Aku mendudukkan diri di salah satu kursi di dekat jamuan kue. Nah, kebetulan aku laper, jadi langsung aja kusikat kue-kue yang sudah bikin liurku hampir menetes.

Hmmm ... yummy ... enak banget kuenya.

Sebenarnya dari tadi ada beberapa pasang mata yang memandang heran ke arahku. Masa bodoh lah, yang penting perutku terisi dan nggak menjerit-jerit lagi. Perut kenyang, hati pun senang. Dalam hati aku menyorakkan jargon ala Ehsan di film Upin Ipin.

Tiba-tiba. "Heh!"

"....."

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status