Siapa bilang saya mengalah," ucap Rey.
"Ya terus maksudnya gimana?" Lama-kelamaan bikin tambah kesel juga ni orang.
"Kita tidur seranjang."
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
Sinar matahari menyusup masuk lewat kaca jendela, membuatku terpaksa harus membuka mata. Kuambil ponsel di atas meja depan sofa, untuk melihat sekarang udah pukul berapa. Ternyata baru pukul enam pagi. Siapa sih yang udah buka-buka jendela, bikin gak bisa lanjutin tidur aja. Pasti manusia batu itu deh.
Ngomong-ngomong soal manusia batu, kok udah gak kelihatan, ke mana perginya ya? Ah, bodo amat, mau pergi ke kutub utara kek, ke segitiga bermuda kek, aku gak akan peduli. Atau sekalian pergi dari dunia ini juga bagus. Eh, artinya dia mati dong? Dan aku auto jadi janda dong? Gak papa, no problem for me. Justru aku seneng, karena kalau dia mati, aku gak akan bilang innalillah, tapi aku akan nengucap alhamdulillah. Hehe.
Karena gak ada manusia batu, dan aku pun masih pengen males-malesan, maka aku putuskan untuk pindah buat rebahan di ranjang. Iya, tadi malem aku tidur di sofa dan menolak untuk tidur seranjang dengan dia. Sorry banget ya, gak sudi aku tidur sama dia, entar malah dia nyari-nyari kesempatan pas aku udah tidur, seperti grepe-grepe gitu. Hih, ngeri bayanginnya.
Dan sekarang kurasa badanku udah pegal-pegal gak karuan. Seumur-umur aku baru ngerasain tidur di sofa, dan beginilah akibatnya. Semua ini gara-gara manusia batu itu, seandainya saja tadi malem dia mau mengalah, pasti aku gak akan merasakan ketersiksaanku ini. Dasar tak berperasaan!
Hmmm ... empuk juga tidur di ranjang ini. Lebih empuk ketimbang ranjang di kamar tante Mariska kemarin. Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku kembali memejamkan untuk pergi ke lautan mimpi. Anggap aja ini sebagai ganti yang tadi malam.
"Hah! Kok ada air? Bocor kah?" tanyaku dengan mata yang masih terpejam. Belum juga lima menit, udah ada gangguan. Tapi masa iya, hotel mewah begini atapnya bocor.
"Bocor, bocor, emangnya ini rumahmu yang bocor. Cepat bangun!"
Huh! Ternyata ini kerjaannya si manusia batu.
Aku pun akhirnya membuka mata, dan terpampang lah di sana cowok hitam manis tinggi, lagi berdiri sambil memegang gayung.
"Paan sih lo! Ngeselin banget, pagi-pagi udah bikin tensi gue naik aja," sungutku kesal. Bagaimana gak kesal coba, dia main nyiprat-nyiprat air ke mukaku. Aku bangun dari rebahan dan duduk di ranjang.
"Biar bangun, gak ngorok terus, kamu perempuan harusnya yang rajin, masa jam segini belum bangun. Mana tadi kamu gak sholat subuh," gerutu Rey.
Oh, rupanya ini manusia batu mau bangunin aku? Tapi ya gak gitu juga kali cara banguninnya, pake nyipratin air segala, kayak gak bisa pake cara yang baik-baik. Mamaku aja yang setiap pagi bangunin gak pernah pake cara menyebalkan kayak gitu. Bilang aja mau ngerjain!
"Ya lo harusnya bangunin dengan cara yang baik dong, gak usah pake nyipratin air segala, lagian gue udah bangun kok, terus emangnya kenapa kalau gue bangun siang begini? Masalah buat lo! Dan for your information, gue lagi dapet tamu bulanan, jadi wajar dong tadi gak sholat subuh," belaku.
"Mau lagi dapet atau engga, kamu harus tetep bangun pagi, apalagi sekarang status kamu udah jadi istri, harusnya kamu lebih dulu bangun dari pada saya."
Busyet deh ni laki kalau ngomel mulutnyaaaa ... masya Alloh, bikin aku pengen ... nampol. Gimana gak pengen nampol coba, dari dulu sampai sekarang, kata-kata yang keluar dari mulutnya pasti selalu pedes, untung aja gak sampai bikin aku diare.
"Suka-suka gue mau bangun jam berapa, napa jadi lo yang repot, lagian siapa bilang jadi istri harus bangun duluan? Baru tahu gue ada teori kayak gitu. Oh iya, sebenarnya gue udah bangun dari tadi." Aku masih melayangkan pembelaan.
"Udah bangun tapi balik tidur lagi, apa bedanya?" tanya Rey dengan disertai tatapan matanya yang menurutku lebih menyeramkan dari pada tatapan harimau.
"Ya kan tadi malem gue tidur di sofa, itu aja baru bisa tidur jam dua, ya wajarlah kalau gue tidur lagi, lagian gue juga pengen ngerasain kali tidur di ranjang yang super duper nyaman ini." Bagus Key, terus aja bela diri, jangan sampai lelah untuk membuat manusia batu yang sialnya udah jadi suami ini, merasa menang.
Aku gak akan pernah mau mengalah, apalagi sama manusia sejenis Rey. No, no, no.
"Ck! Dasar kampungan."
What? Dia ngatain aku kampungan?
"Eh, gue emang kampungan, tapi masih punya hati, gak kayak lo, orang kaya tapi gak punya hati."
"Sudahlah, saya cape berdebat terus sama kamu." Rey menghembuskan nafasnya kasar. "Sana mandi, setelah ini kita pulang."
Kan, bener-bener tukang nyuruh. Untung aja aku masih punya banyak stok sabar, kalau enggak, udah aku buang dia ke segitiga bermuda, biar ketemu sama dajal.
Tanpa mendebat lagi, akhirnya aku bangkit dari ranjang, dan berjalan menuju kamar mandi. Udah lengket juga rasa badan ini, dari kemarin belum mandi. Seandainya saja tadi malem aku menerima ajakan Rey buat tidur seranjang sama dia, udah pasti dia bakalan ngerasain nyium bau badanku yang bau bangke ini.
Mungkin kalau beneran tadi malem tidur seranjang, bisa jadi dia gak kuat sama badanku, dan mungkin saja lama-lama dia bisa ... mati. Ah, kenapa gak kepikiran buat bunuh dia dengan cara halus seperti itu ya? Kan aku gak bakalan dijadiin tersangka. Eh tapi, kayaknya gak ada deh sejarahnya orang mati karena nyium badan yang bikin istighfar berkali-kali.
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
"Sudah siap semua kan?" tanya Rey.
"Emang kenapa?" Aku balik bertanya.
"Ya, kita check out sekarang juga," jawab Rey datar.
"Sekarang?" beoku.
"Apa masih kurang jelas? Atau kamu masih pengen di sini, ngabisin waktu berdua dengan saya?" Rey menaikkan sebelah alisnya.
"Dih! Sorry dori, stroberi yah! Mending berduaan sama kambing dari pada sama manusia kayak lo," ejekku.
"Oh, begitu ya, baiklah, setelah ini saya akan berikan kambing buat kamu, anggap saja sebagai tambahan mas kawin," ujar Rey, sok.
"Cih, mas kawin, emangnya dari kemarin lo ngasih gue mas kawin?" Cemes terus Key.
"Terus kalau bukan mas kawin, lalu cincin yang kamu pakai itu sebagai apa?" Rey melirik ke arah jariku.
"Yaelah, cuma cincin doang belagu amat." Aku memutar bola mata.
"Kamu meremehkan saya?" Lagi-lagi Rey menaikkan sebelah alisnya. Kalau kayak gini, dia udah pantes banget kalau jadi pemeran antagonis di sinetron-sinetron yang sering mamaku tonton sampai nangis-nangis sendiri.
"Situ merasa diremehin?" sinisku.
"Coba kamu tanya sama bunda saya, apa saja yang telah saya berikan sama kamu sebagai mas kawin, atau kalau tidak, kamu bisa tanyakan sama mama kamu."
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
Sekarang aku udah berada di lobi hotel, lagi nungguin manusia batu yang sedari tadi lagi berbicara apa sama resepsionis. Modus banget kan, bilangnya mau ngurusin check out, gak taunya sekalian tebar pesona. Dasar laki-laki gak tau diri, udah tau punya istri, masih aja cari kesempatan buat deketin cewek lain.
Aku bukan cemburu ya, big no kalau itu mah. Cuma aku kesel aja dari tadi nungguin sambil duduk di sofa ini. Mana orang yang pada seliweran dari tadi pada liatin terus. Berasa jadi anak hilang tau.
"Key, ayo kita pergi sekarang." Akhirnya dia selesai juga.
Aku bangkit dari duduk, dan berjalan mengikuti Rey. Kan, berasa kayak bapak dan anak deh.
Karena hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, mau tidak mau kami berbalik arah dan kembali duduk di sofa lobi.
Orang-orang yang tadinya ada di luar, kini berhamburan masuk, hingga lobi ini ramai.
"Heh, kenapa tadi gak langsung pulang aja sih," ujarku pada Rey.
"Kamu lihat di luar lagi hujan kan?" jawab Rey datar.
"Ya kan kita bisa langsung naik mobil, jadi nggak bakal kehujanan lah."
Rey hanya bergeming tak lagi menanggapi ucapanku. Dasar manusia aneh bin plin-plan, tadi pengen cepet-cepet pergi, sekarang malah milih lama-lama di sini.
Oh, aku tahu, pasti dia masih pengen liatin mbak-mbak resepsionis yang dari tadi dideketin. Huh, dasar modus.
Karena bosen, aku mengeluarkan ponsel pintarku dari saku celana jeansku, dan mulai berselancar di sosial media.
Ketika membuka whatsapp, lagi-lagi banyak pesan yang berisi ucapan-ucapan selamat dari kerabat-kerabatku yang tadi malam tak bisa datang waktu resepsi.
Tadi malam kerabat-kerabat dari pihak mama dan papa memang banyak yang datang, dari yang tua sampai yang muda, dari yang balita, sampai kerabat papa yang udah kakek-kakek. Dari yang giginya masih rapi sampai yang gak punya gigi. Dan dari yang gayanya biasa-biasa aja, sampai yang gayanya mirip sama kayak syahroni.
Tapi sayangnya, kerabat-kerabat yang dari desa gak pada dateng, termasuk juga kakek dan nenek dari pihak mama. Mungkin mereka berhalangan gak bisa hadir, apalagi ini mendadak banget dan tanpa perencanaan, jadi wajar aja kalau yang jauh-jauh pada gak bisa dateng. Selain karena faktor jarak dan transportasi, bisa jadi juga karena ada alasan-alasan yang lainnya.
Lagi asyik-asyiknya berbalas pesan dengan para saudara, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan sofa yang tengah kududuki.
"Key ...."
Bersambung
Lagi asyik-asyiknya berbalas pesan dengan para saudara, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan sofa yang tengah kududuki."Key ...," panggil orang di depanku.Spontan aku pun mendongak. Tiba-tiba saja tubuhku menegang. Sama sekali tak pernah terlintas di benakku untuk bertemu lagi dengan dia."Kak Arga." Aku masih menatapnya, kaget sekaligus tak percaya.Laki-laki yang kini berdiri di hadapanku, dengan memakai kaos putih dibalut dengan jaket kulit warna cokelat, dan celana jeans warna biru, tampak tersenyum ke arahku."Kamu masih inget aku kan?" tanyanya dengan senyum yang mengembang.Aku mengangguk. Bagaimana mungkin aku bisa lupa akan sosoknya. Sosok yang dulu selalu bisa membuatku tertawa, tempat aku mencurahkan unek-unek, dan sosok yang mampu membuat hidupku penuh warna.Dia, Arga Mahendra."Syukurlah kalau kamu masih inget." Kak Ar
Setelah duduk di samping kemudi, aku memasang sabuk pengaman. Setelah di rasa siap, mobil pun melaju meninggalkan pelataran hotel.Dalam perjalanan aku tak membuka suara. Sampai akhirnya Rey menanyakan sesuatu yang bingung harus kujawab apa."Key," panggil Rey."Hem.""Arga itu siapa kamu?" Dih, tanya-tanya."Emangnya kenapa?" Aku balik tanya."Ya, saya pengen tahu dia siapanya kamu. Kelihatannya kalian dekat." Kepo ni orang."Kepo," jawabku singkat."Tinggal jawab aja apa susahnya, Key." Dih, sewot."Tadi lo kan udah denger sendiri penjelasan kak Arga, kenapa sekarang tanya-tanya." Aku memandang lurus ke depan."Saya pengen dengar langsung dari mulut kamu." Ni orang kenapa sih sebenarnya, kok tiba-tiba jadi kepo begini."Penting banget ya?" Aku menoleh ke arahnya, dan tanpa d
Kami makan dengan diam, dan aku pun khusyuk menyantap makananku. Lebih tepatnya tak mau ambil peduli sama manusia batu di hadapanku."Rey, kamu kemana aja, sih? Dari kemarin aku nyariin kamu, lho." Tiba-tiba ada seorang wanita datang menghampiri meja kami. Ah, maksudku menghampiri Rey.Aku jadi penasaran siapa dia. Apalagi muka Rey seketika berubah menyadari kehadiran wanita ini.Siapa sebenarnya dia? Kok kayak nggak anggap aku ada di sini, padahal kan aku ada di depan Rey."Ehem." Aku berdehem.Wanita itu menoleh ke arahku, pandangan matanya tampak meremehkanku."Siapa lo?" tanya wanita itu."Menurut lo," jawabku cuek. Aku kembali menyantap makanan di depanku. Sebodo amatlah dia siapanya Rey, aku nggak peduli. Mending ngabisin makanan lezat ini, ya nggak? Sayang kan kalau makanannya dibiarin hanya karena wanita yang penampilannya
Part 11"Eh, Tes." Aku berbisik ke arahnya."Iya, Nya, eh, Key, eh, Mbak Key." Lucu juga ya si Tesa ini."Biasa aja kali." Aku menyenggol lengannya dengan lenganku. "Panggil Key, aja. Jangan pake embel-embel apapun.""Iya, Key." Tesa tersenyum."Kamu tau siapa wanita yang lagi sama Rey di depan nggak?""Ooh, yang lagi godain Pak Rey ya?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Tesa."Dia itu ... Nona Sindi, Key.""Sindi?" beoku."Iya, dulu dia pacarnya Pak Rey. Saya udah lama kerja di sini, Key, jadi lumayan tau kalau dulu mereka pacaran. Tapi tenang aja, sekarang mereka udah nggak ada hubungan apa-apa kok, ya meskipun Nona Sindi sering ke sini sih, tapi Pak Rey kayak nggak suka gitu," jawab Tesa panjang tanpa aku minta.Aku menganggu
Part 12Ciiit ....Tiba-tiba saja Rey ngerem mendadak. Ada apa ini?Aku terlonjak kaget. Untung saja sabuk pengaman tak lupa kupakai."Astaghfirulloh. Ampuni hamba Ya Alloh, hamba belum mau mati. Mama ... tolongin Key ...." Kedua tanganku kuletakkan di depan mata. Tak sanggup melihat kenyataan yang mungkin saja terjadi.Jantung kian keras berdetak, takut kalau seandainya nyawa ini ...."Berisik! Jangan lebay bisa? Saya cuma ngerem mendadak, nggak kecelakaan." Nah, biang onar dengan rasa tak bersalahnya ngomong gitu. Dosa nggak sih, membantai suami modelan si manusia batu."Heh, kenapa jadi lo yang marah-marah, harusnya gue yang marah karena lo udah bikin jantung gue hampir mau copot," omelku."Saya kan cuma ngerem, kenapa kamu se
Dari tempatku duduk, terlihat perempuan berusia enam puluhan berjalan menuruni tangga dengan dituntun oleh tante Mariska. Diikuti om Danu di belakangnya. Mungkin beliau yang dimaksud sebagai omanya Rey. Sepertinya waktu acara akad dan resepsi kemarin beliau belum tiba di sini.Sesampainya di bawah, dan berjalan ke arahku, aku lantas berdiri bermaksud menyalaminya. Namun tatapannya terasa sangat tak bersahabat."Oh, jadi seperti ini istrinya Rey." Omanya Rey menelisik penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.Mendengar perkataan oma tadi, seketika membuat nyaliku ciut.Oma tersenyum sinis. "Kampungan sekali dia, apa mata kamu sudah buram, Ris, hingga mencarikan pengantin pengganti untuk cucuku, harus perempuan seperti ini, sangat jauh berbeda dengan Berlin."Demi apapun, aku kesel banget dikatain kampungan dua kali dalam sehari ini. Tadi pagi oleh wanita gila mantannya Rey, sekarang sam
"Gue emang nggak tau bambang!" umpatku.Rey menjitak keningku dengan jarinya. "Aduh, sakit tau." Aku mengaduh sekaligus tak terima."Kamu bener-bener nggak pinter, kemana kamu waktu pembagian otak dulu?""Lagi jalan-jalan sambil nyari tahu sumedang," ketusku."Yang dipikirin kamu cuma makanan terus," sinis Rey."Biarin, hidup kan butuh makan. Biar kuat menghadap kenyataan. Apalagi sekarang hidup gue dikelilingi makhluk-makhluk menyebalkan sejenis lo itu, jadi butuh banyak asupan makanan.""Banyak makan tapi nggak gede-gede juga, termasuk itunya." Mata Rey mengarah ke bagian depan tubuhku.Refleks aku menyilangkan kedua tanganku untuk menutupi bagian yang Rey maksud. Ya meskipun aku lagi pake hoodie yang jelas pasti sangat menutupi, apalagi hoodie-nya kan longgar alias nggak ketat, jadinya nggak bakalan nyatak. Eh, nyetak apaan emang?
"Rey ... kamu itu, kenapa harus bersikap seperti itu, Key itu sekarang istri kamu, tanggung jawab kamu. Bunda nggak pernah ngajarin ya, kalau kamu kayak gitu, kasihan Key." Bunda berbicara sambil menjewer telinga kiri Rey. Dan Rey pun mengaduh kesakitan. Haha ... kasihan deh lu bambang!Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan aksi bunda memarahi Rey. Sungguh pemandangan langka."E-eh, apa yang kamu lakukan sama cucuku Mariska?"Semua yang ada di dapur pun serentak menoleh ke arah si empunya suara, termasuk aku.Tahu siapa yang tadi ngomong? Ya jelas si oma ompong lah, siapa lagi di rumah ini yang bisa ngomong ketus selain Rey dan omanya itu."Eng-enggak kok, Ma." Bunda melepaskan jeweran tangannya dari telinga Rey. Yah, padahal lagi pertunjukan seru, malah digangguin. Jarang banget kan kalau aku lihat Rey ketakutan sama bunda tadi, biasanya kan dia gayanya sok banget gitu lah, e