Share

Kelas yang ngebosenin

Rain sound

Saat hening menyapa tak ada siapapun yang bisa menyadari kehadiran mereka, namun saat sang luka menyapa jelas kita bisa menyadari atas kehadirannya.

Tentu ini membuat kita sadar bahwa tak selamanya indah

Sudah jam pelajaran kedua tapi gurunya masih belum masuk ke dalam kelas. Oza sudah mulai jengah dengan suasana kelasnya yang tak jelas. Saat lagi mainan pulpen guru kewirausahaan masuk dan membagikan sebuah lembaran laporan untuk tugas PKL nanti. "Baik, anak-anak yang sudah dapat tempat buat kerja lapangan maju ke depan ya." Seru Bu Purwa. Oza mendorong Puri untuk menjadi perwakilan kelompok mereka. Saat Puri berdiri nama gadis itu sudah disebut. "Griloza?" Oza mendengus lalu melangkah dengan malas sambil mengangkat tangan kanannya.

"Saya..." Ucapnya, malas.

"Bagikan, ke teman-teman kamu." Oza menerima kertas itu dan berbalik ketempatnya. Sepanjang jalan gadis itu hanya ngedumel tak jelas dan membanting kertas dengan tak santai.

Puri menatapnya dengan pandangan heran. Lalu menggeleng kepalanya tak habis pikir. Setelah itu Bu Purwa mengadakan ulangan harian kewirausahaan. Dia sempat berpikir, kenapa gak ngambil sift pagi saja biar gak bisa sekolah. Terkadang penyesalan selalu datang terlambat. "Aturan kemarin langsung PKL ajh ya?" Gumamnya tanpa sadar.

Badra menangkis lengan Dahlan yang terus memberikannya sebungkus rokok. Hari ini rasanya tidak enak sekali untuk menghisap oksigen nikotin itu. "Nolak mulu, masih belum mau nyentuh banget?" Sindiran Dahlan membuat orang yang berdiri di depan pintu gerbang sekolah mereka melirik sinis.

"Apa sih,"

"Ya abis lu gak mau mulu, gak asem apa?" Tanya Dahlan yang memainkan asap rokoknya dengan sempurna.

"Gak," bohong jika pemuda tak merasa pahit lidahnya. Badra mengembuskan nafas panjang lalu berbalik masuk ke dalam sekolah.

Saat langkahnya sudah ada di ambang pintu masuk. Badra tetiba berhenti ketika mendengar celetukan Fathan. "Gue denger-denger ya, ada anak depan yang kenal sama Betran? Siapa?" Badra tak mau terlibat lebih jauh. Pemuda itu mengulum bibirnya dan langsung pergi meninggalkan mereka tanpa mendengar kelanjutannya.

Oza terus merengek-rengek minta tolong pada ketiga temannya itu. Namun tak ada satupun yang ingin menolong gadis itu dari pak Prabowo. Hari ini semua mata pelajarannya terlalu membuat anak itu mengantuk dan tidak bersemangat dalam belajar. Pada saat bel berbunyi, gadis itu langsung menaruh semua kertas yang ada di tangannya ke meja guru kemudian berlari menuju kesebuah kantin.

Ketika gadis itu lari, Puri tersenyum ketus. Karena nama terakhir yang ada di dalam buku guru itu adalah dirinya. "Oza kampret!" Umpatnya tertahan.

Nida dan Vera tak mau ikut tertarik ke dalam permasalahan kedua temannya. Mereka memilih untuk diam dan tak membantu apapun kecuali diminta.

Oza masih berlari sampai tiba-tiba dia menabrak tubuh seseorang yang tidak sengaja buat jantungnya berdetak cepat. Gadis itu memejamkan matanya takut pada orang itu kemudian membuka kelopak matanya perlahan dan pandangan mereka beradu.

Yang jadi pertanyaan itu. Hatinya masih pada porosnya atau tidak? Sejak beberapa menit yang lalu gadis itu tidak berkedip saat memandang wajah pemuda itu. Setelah itu dia pun sadar dan langsung melangkah mundur hingga terpentok tempat sampah.

Dikantin gadis itu tidak berhenti menatap wajah yang ada di kedai depan. "Ya Tuhanku, ciptakan satu untuk hambamu ini." Cetus Oza. Nida menggerakkan tangannya ke arah kening temannya itu.

"Za, lo kenapa? Ke sambat? Setan mana?" Tanya cewek itu beruntun.

Puri tersenyum menggoda saat mengikuti arah pandang gadis itu lalu meledeknya dan mencubit pipinya Oza. "Ouh, lagi liatin gebetan ya lo ... Pemandangan yang indah dan menakjubkan betul tidak saudariku?" Goda Puri, gadis itu mengangguk tak sadar. Saat sadar Oza langsung mengelak perkatanya tadi.

"Ey, apa sih!" Elaknya,

"Alah so malu anjing si kamu.." sambar Vera yang ikut menggoda gadis itu.

"Kalian tuh apa sih!" Nida terkekeh geli lalu mencolek pipinya dengan gemasnya.

Oza merenggut kesal karena mereka tidak berhenti mengejeknya. Bahrain lewat di depan meja mereka lalu menoleh sebentar menatap wajah gadis itu. Pemuda itu tak sendiri, dia bersama seseorang yang merangkul lengannya dengan mesra.

"Liat tuh, dah ada pawangnya." Celetuk Vera. Oza berdecak sebal lalu menghabiskan makanannya. Anak itu tak banyak bicara lagi ketika ia melihat pemandangan itu.

Gadis itu mendengus keras dan beranjak dari duduknya untuk segera kembali ke kelas. Dia melirik sekilas dan kemudian memberikan isyarat diam pada teman-temannya. "Shtt!! Halo? Ini siapa?" Ternyata ponselnya berdering.

"Ini gue," sahut sang lawan bicara.

"Ya gue sia--- lha elo?! Dapat dari mana, nomor gue?! Woy! Halo? Halo?" Sambungan teleponnya terputus dari lawan bicaranya itu dan membuat Oza menggeram marah.

"Siapa?" Tanya Puri.

"Orang yang gak pernah lo tau!" Ucap, Oza menggebu-gebu dan menghentakkan kakinya marah.

Puri, Nida dan Vera yang tak tahu tentang itu hanya saling menukar pandangan satu sama lain. Satu kesimpulan yang mereka ambil saat ini. "Ya siapa orangnya?" Gemas Nida yang ikut penasaran.

Oza berpikir sebentar lalu tak melanjutkan pembicaraan yang dia mulai. Jika dia ceritakan kepada ketiga temannya itu. Apa dia tak tambah pusing nantinya?

"Siapa ih!" Desak Puri, yang menatap wajah gadis di depannya dengan intens. "Ouh atau jangan-jangan lo ada gebetan lain ya?" Puri semakin mendesak anak itu. Namun Oza tetap tidak membuka suara.

Saat lagi kaya begini kenapa tidak satupun yang bisa membantunya. Ah sial sekali dirinya itu. "Dia anak depan," cicit anak perempuan itu dengan mengecilkan suaranya.

"Siapa?" Tanya ulang Puri.

"Anak depan ege!" Geram Oza yang langsung membuang muka tak enak.

Ketiga temannya beroh ria sampai sadar dan membulatkan mata mereka lalu menghentikan langkahnya. "APA?!!" seru ketiganya dengan kompak.

Oza mengusap telinganya agak berdengung dan menjitak satu persatu temannya. "Biasa ajh dong!" Mereka bertiga hanya meringis dan meminta maaf pada gadis itu.

"Maaf," sahut ketiganya kompak.

Jika bukan karena mereka adalah temannya. Sudah pasti gadis itu tak akan menganggap ketiganya teman satu kelas lagi. "Untung teman," keluhnya yang langsung mendapat pelototan Puri.

Badra memandang kedua temannya yang berani mematikan teleponnya. "Lo berdua apa sih, gue lagi telepon tadi!" Omelnya yang tidak dihiraukan oleh Farhana dan juga Dahlan.

"Lo lagi ngapain juga bukan urusan gue, kerjain tuh motor. Kita lagi praktikum." Tegur Dahlan yang so jadi ketua.

Badra mendengkus kemudian mengambil obeng kembang dengan gerakan kesal. Dahlan hampir kelepasan menggetok kepala pemuda itu jika tidak dipelototi oleh Farhana yang ada di di depannya. "Lagian gurunya ke mana?" Tanya Badra.

"Jujur gue bosen," lirih Dahlan yang gak di dengar oleh cewek itu. Farhana memperhatikan kondisi rambutnya dan membereskan meja yang dipakai buat kerja sembari bercermin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status