Ia merasa ditatap dengan pandangan berbeda dari yang lain, entah apa.
Revan menolehkan kepalanya ke kanan untuk memastikan. Ia melihat seorang laki-laki yang sedari tadi menatapnya dengan pandangan berbeda dan tidak ramah.
Mereka tanpa sadar saling melihat satu sama lain selama beberapa saat, sampai akhirnya laki-laki tadi memalingkan wajahnya dan memandang ke arah depan kelas.
Laki-laki itu duduk di paling belakang sebelah kiri sehingga terpisah dua meja dengan tempat duduknya Revan.
Revan masih melihat laki-laki itu.
Sepertinya dia membenciku, batin Revan setelah menyadari arti tatapan menusuk dari laki-laki itu.
Berbeda dengan tatapan teman sekelasnya yang lain.
Terserahlah, aku tidak peduli, ucap Revan dalam hati dan kembali memperhatikan pelajaran. Sampai suara bel tanda istirahat berbunyi.
Revan menghela napas saat melihat para gadis di kelasnya mulai mendekatinya. Guru yang mengajar bahkan belum keluar dari kelas dan mereka dengan tidak sopannya langsung berdiri dari tempat duduk.
Merepotkan sekali, batin Revan mulai memikirkan cara untuk melarikan diri.
*****
Revan menghentikan kegiatan belajarnya, ia mulai membereskan buku-buku pelajaran di meja belajarnya. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
Perhatiannya sejenak terpaku pada sebuah buku. Buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah.
Seketika Revan teringat perempuan yang ia temui di perpustakaan. Ia juga ingat perkataan perempuan itu. ‘Kuberi tahu ya, aku tidak mencari-cari perhatian seperti yang kau katakan. Dan kau sudah salah paham.’
Aku rasa dia memang bukan salah satu gadis yang seperti itu, batin Revan.
Menurutnya, jika gadis itu memang mengikutinya, sudah pasti dia memperlakukan Revan dengan perlakuan istimewa dan berkata-kata yang manis.
Sebaliknya gadis itu bersikap biasa dan sewajarnya.
Besok aku akan mengembalikan buku ini, batin Revan lagi.
*****
Revan mengambil sebuah buku dari rak yang berderet di depannya. Saat ini ia berada di perpustakaan.
Ia membuka buku yang tadi diambilnya, hanya sekilas saja. Ia membuka buku itu secara asal.
Revan tidak benar-benar membaca buku itu. Ia lebih fokus pada pikirannya karena ia merasa terganggu.
Ia tahu ada beberapa orang yang mengikutinya. Lebih tepat disebut beberapa gadis yang menguntitnya.
"Menyebalkan," gumam Revan samar yang hanya bisa didengar dirinya sendiri.
Revan kembali memperhatikan deretan buku di rak. Tanpa sengaja Revan melihat sosok gadis yang sedang duduk menghadap ke arah nya. Revan bisa melihatnya lewat sela-sela deretan buku dan rak buku. Sosok itu terlihat fokus membaca.
Tiba-tiba Revan memiliki niat untuk menghampiri sosok itu.
*****
Diana berjalan sambil melihat-lihat deretan buku di rak perpustakaan. Ditangannya sudah ada dua buku yang mau ia baca. Tiba-tiba langkahnya berhenti. Matanya sedikit menyipit untuk memastikan apa yang ia lihat.
Diana memiringkan kepalanya. Ia melihat buku yang kemarin menjadi rebutan antara dirinya dengan murid baru yang bernama Revan.
Bukanya seharusnya buku itu kembali esok hari? Entah siapa yang selesai mengerjakan tugas, batin Diana.
Ia jadi merasa ragu jika ini buku dari murid baru yang kemarin meminjam. Karena buku ini seharusnya ada besok hari dan bukan hari ini sesuai yang ia katakan.
Diana masih belum bergerak. Ia terdiam dan kemudian berpikir bahwa Revan mungkin tidak meminjam buku itu kemarin.
Jika memang seperti itu seharusnya Diana tak perlu memberikan buku itu padanya.
Akhirnya Diana memutuskan mengambil buku itu. Ia tidak mau kejadian kemarin terulang lagi. Berebut dengan siswa lain.
Teman sekelasnya belum ada yang selesai mengerjakan tugas itu. Entah bagaimana mereka mencari materi tugasnya karena bukunya sudah habis dipinjam oleh siswa kelas lain.
Setelah itu Diana duduk di salah satu meja yang ada di perpustakaan. Ia memilih meja yang tidak ada satupun orangnya dan duduk sendirian.
Ditengah-tengah kegiatan membaca yang Diana lakukan, tiba-tiba ia kehilangan fokus membacanya.
Ia mengalihkan perhatiannya dari buku yang dibacanya, beralih pada sosok yang mendekat ke mejanya.
Itulah alasan Diana kehilangan fokus. Sosok itu langsung duduk di seberang meja tepat di depan Diana sehingga mereka saling berhadapan.
Diana merasa canggung, orang itu seolah menganggap keberadaan Diana seperti angin karena tidak mengucapkan apa-apa tapi langsung duduk begitu saja.
Kemudian sebuah suara terdengar, "Jadi kau sudah mengambil buku yang aku pinjam kemarin," ucap sosok itu yang ternyata adalah Revan.
Diana tidak tahu itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Nada ucapannya terdengar datar.
"Begitulah. Kau sudah menggunakan buku ini dan tidak membutuhkannya jadi kau mengembalikannya hari ini?" Diana ikut melirik buku yang diperhatikan Revan.
Jadi Revan memang sudah selesai meminjamnya.
Tapi kenapa tidak ditaruh di tempat yang ditunjuk sih? Bagaimana kalau diambil orang? Atau dia yang tidak mengerti. Itu mungkin saja, karena Diana memang tidak mengatakannya dengan jelas dan hanya menunjuk saja.
Diana menghela napas pelan.
"Hm," Revan bergumam samar mengiyakan pertanyaan Diana.
Bisakah Diana menarik kesimpulan bahwa pemuda itu masih salah paham padanya. Mengira dia adalah salah satu penguntit dan masih tidak bersikap baik pada Diana.
Diana merasa jawaban yang diberikan dan semua ucapan dari pemuda itu terkesan cuek.
Tapi kalau dia masih salah paham padanya, kenapa dia mau duduk didekat Diana. Bukannya masih banyak meja yang kosong di perpustakaan ini.
Percaya atau tidak, sebenarnya Revan justru ingin berbasa-basi dengan Diana. Revan tahu seharusnya dia meminta izin dulu pada Diana sebelum duduk semeja dengan Diana.
Revan hanya bingung bagaimana berbicara pada Diana, sampai akhirnya saat ia duduk dan tidak sengaja melihat buku 'rebutan' di antara buku diatas meja. Revan mencoba membahas tentang itu.
Lalu sekarang Revan bingung apa yang mau dibicarakan lagi. Akhirnya pikiran lainpun datang, perpustakaan bukan tempat mengobrol dan semua meja di perpustakaan adalah hak semua orang.
Jadi ia tidak perlu minta izin dan ia juga tidak perlu berbicara lagi karena perpustakaan bukan tempat mengobrol.
Alhasil dengan pemikiran itu, Revan menghilangkan keinginan berbicaranya.
Mari beri tepuk tangan untuk Revan sebagai penghargaan. Ia memang adalah sosok orang pendiam dan antisosial yang sejati.
Kedengarannya keren tapi sebenarnya konyol. Revan sadarkah kau dengan dirimu ini.
Sekarang mari kita coba maklumi, Revan sebenarnya mendekati Diana karena dia merasa risih.
Risih karena terus dibuntuti oleh beberapa orang. Lebih tepatnya beberapa gadis penggemarnya.
Alasan dia ke perpustakaan untuk menjauh dari penggemarnya kini tidak berhasil untuk kedua kalinya. Kemarin mungkin dia bisa lolos.
Oleh karena itu Revan mendekati Diana yang sedang sendirian untuk membuat dirinya nyaman.
Revan merasa Diana tidak seperti penggemarnya. Diana bersikap biasa-biasa saja padanya. Tidak membuat Revan risih.
Di sisi lain, Diana melihat tiga orang gadis saling berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya.
Diana sadar mereka sedang memperhatikan Revan. Kemudian salah satu gadis itu didorong oleh kedua temannya untuk mendekati Revan.
Sebelum gadis itu mendekat, seorang pemuda tiba-tiba datang dan duduk di sebelah Diana. Membuat semua aktivitas yang dilakukan Diana dan Revan bahkan gadis yang mau mendekati meja terhenti karena kaget.
Kaget karena pemuda itu berseru dengan keras, "Diana!" serunya sambil duduk di sebelah Diana.
*****
"Kevin! Kau tidak boleh berteriak. Ini perpustakaan tahu!" Diana mengomel karena kesal dikagetkan oleh teman satu sekolah menengah pertama dengannya dulu. Sekarang mereka berbeda kelas. Sebenarnya Diana tidak akrab dengan Kevin, hanya saja Kevin suka sekali mendekatinya, begitu yang dipikirkan Diana di otaknya. Bukannya tidak tahu kalau Kevin menyukainya, hanya saja Diana sudah menyukai orang lain dan masih tetap menyukainya hingga sekarang. "Apa yang kau baca?" kata Kevin tanpa merasa bersalah. Diana menghela napas, "Memangnya kau tidak lihat?! Aku membaca buku." Kevin cemberut, "Aku tahu kau membaca buku, maksudku buku apa yang kau baca?" tanya Kevin tak menyerah sekalipun Diana membalasnya dengan dingin. "Nih, baca sendiri!" Diana menunjukkan sampul bukunya pada Kevin. Sebenarnya Diana ta
Kevin berjalan menuju halte yang sepi. Ia akan pulang sebelum rumah panti dikunci. Kalau tidak ia bisa terkunci di luar dan tidak bisa tidur di kasurnya karena telat pulang. Tidak ada yang ingin tidur diluar jika punya kasur empuk di kamar. Saat ia hendak duduk di halte itu, penglihatannya tak sengaja menangkap keberadaan orang yang ia kenal di dekatnya. Sebelumnya Kevin tidak sadar pada saat berjaan menuju ke sini. Ia hanya menggunakan sepeda motor saat bekerja dan itu bukan kendaraan miliknya melainkan restoran pizza tempat dimana ia bekerja. Kenapa sekarang ia harus bertemu dengan orang itu? "Kau?! Kenapa kau ada di sini?" Kevin spontan berseru pada orang yang tidak ia sukai itu. Kevin bisa melihat tatapan yang sama dari orang itu. Sama-sama tidak senang dengan keberadaan masing-masing. "Ini
Oh tidak. Kenapa aku begitu ceroboh. Bagaimana bisa aku lupa, batin Diana saat menyadari sesuatu. Diana langsung berdiri setelah menengok sembari menarik napas cepat, lalu, "Sepedaku!" Diana berteriak. Diana reflek mengejar sepedanya yang berjalan. Tentu saja ada yang mengendarainya. Sepeda Diana dipakai tanpa izin. Atau lebih tepatnya sepedanya di bawa kabur. Salahnya Diana yang belum memarkirkan sepedanya dengan benar dan menguncinya. Dia bahkan tak sadar membiarkan sepedanya berbaring di belakang halte. Revan dan Kevin masih bengong, sebelum akhirnya ikut menyusul Diana. "Tidak bisa.." Diana bergumam disela-sela acara larinya. Sepedanya tentu lebih cepat daripada larinya. Diana tak kehabisan akal, ia segera melepas sebelah sepatunya lalu melemparkannya dengan kekuatan penuh dan dengan bidikan yang akurat. "Takkan kubiarkan kau mengambil si merah!" seru Diana. Si merah adalah sebutan sepeda miliknya. Sepatu
Kevin sekarang ada di perpustakaan karena mencari Diana. Ia sebenarnya jarang bisa bersama dengan Diana karena Diana sering ke perpustakaan. Sekarang ia masuk ke dalam perpustakaan hanya untuk mencari Diana. Setelah mengelilingi perpustakaan, ia akhirnya menemukan Diana di meja paling pojok di belakang. Diana tampak serius membaca. Kevin langsung duduk tanpa permisi di kursi yang berhadapan dengan Diana. Diana segera sadar dan melihat Kevin saat Kevin mendekatinya. Kevin belum bicara dan hanya menatap Diana. Hingga akhirnya membuat Diana mengangkat sebelah alisnya setelah semenit berlalu dalam diam. Mereka saling menatap dalam diam selama itu. Diana merasa heran. Kevin sadar dengan reaksi Diana dan mengeluarkan suara dengan ragu-ragu, "Diana kau tahu kan, murid baru dikelasku?" Diana kini mengerutkan dahi mendengar ucapan Kevin.
"Kak Kevin mau kemana? Sekarang kakak piket bersih-bersih, apa kakak lupa?" Seorang anak berumur dua belas tahun menatap Kevin yang sedang membuka pintu. "Oh benarkah? Aku melupakan itu. Apa kau mau membantuku? Sekarang aku harus pergi," Kevin menatap penuh harap. "Memangnya kakak mau kemana? Bukannya kerjaan kakak libur hari ini? Jika aku tahu kemana kakak pergi, mungkin aku akan pertimbangkan membantu kakak," balas bocah itu. "Aku masih harus bekerja, karena sekarang aku menambah pekerjaan baru, yaitu menjadi pegawai swalayan. Jadi tolong bantu aku ya!" Kevin menyatukan telapak tangannya tanda permohonan. "Maaf ya kak. Sayangnya aku juga piket hari ini." Kevin lemas, " Kenapa tidak kau katakan-" Belum selesai perkataan Kevin, bocah itu berkata, "Tapi aku bisa meminta bantuan pada yang lainnya. Kakak tenang saja, mereka pasti mau membantu karena mereka pasti mengerti." Kevin tersenyum. "Jika menyangkut pekerj
"Apa kalian memang dekat?" David bertanya dengan semangat. David jarang melihat Diana bersama temannya. Bahkan Diana tak pernah mengajak seorang pun ke rumahnya. "Kami sebenarnya jarang bertemu." "Oh begitu," balas David kehilangan semangatnya. David menyadari perkataan Revan sebelumnya. "Kalian teman satu sekolah, tapi kalian bukan teman sekelas?" tanya David karena jika mereka teman sekelas Revan akan mengatakannya. Revan mengangguk. "Jadi itu alasannya kalian jarang bertemu," kata David. Hening beberapa saat sampai David menyambung ucapannya, "Oh ya, apa kau pernah melihat dia bersama temannya? Apa kau tahu teman dekat Diana?" Revan menggeleng, "Aku jarang melihatnya bersama temannya. Jadi aku tidak tahu siapa teman dekatnya." Begitu juga denganku, batin David yg tak pernah melihat Diana dekat dengan temannya. Revan tiba-tiba teringat seseorang yang kadang berada didekat Diana. Tapi ia tidak
"Aku bisa mengambilkan tasmu dikelas. Kau sekelas dengan Kevin, kan?" Diana berkata sembari berdiri dari kursinya yang ada di sebelah Revan. Revan mengangguk. "Tunggu dulu, jadi aku tertidur disini dan kau juga membolos?" "Iya, kau sudah diberi izin. Jika kau khawatir ketinggalan materi aku bisa membantumu." Revan menggeleng menolak bantuan Diana. Sebenarnya bukan itu maksud Revan. Dia sama sekali tidak khawatir tentang pelajaran, tapi ia heran dengan Diana yang menghabiskan waktu berjam-jam menemaninya? Dia bisa meninggalkannya. Semuanya dilakukan Diana karena rasa bersalah. Oh iya, Revan belum sempat menjawab permintaan maaf dari Diana tadi. Diana sekarang sudah pergi keluar ruangan. Revan baru sadar. Setelah Diana membawakan tas Revan. Ia menunggu kelas Revan kosong dan mencari tas yang tersisa dan tertinggal. Ia juga mengambil ta
"Aku pernah bertemu dengannya sekali. Saat itu aku menabraknya setelah mengantarmu di hari pertama kau sekolah." "Menabrak?" Revan menajamkan pandangannya. Itu terdengar seperti kecelakaan. Memang kecelakaan tapi kecelakaan kecil. "Maksudku menabraknya saat berjalan kaki pergi dari sekolahmu. Dia tidak memperhatikan jalannya karena terlalu fokus membaca." Valen menjelaskan tergesa karena sedikit panik. Revan mengiranya menabrak dengan mobil. "Kau tidak bisa menghindar?" Valen tersenyum, "Aku? Tentu saja bisa." Revan sudah menghilangkan tatapan tajamnya tapi sekarang menyipitkan matanya lagi. Ia mengerutkan kening. "Aku sengaja membiarkan dia menabrakku. Dia kelihatan terlalu fokus membaca. Saat itu tak ada orang atau siswa lain. Mungkin karena itu dia tidak memperhatika