Share

Angkasa Merah di Kota Kertas
Angkasa Merah di Kota Kertas
Penulis: Firdaus Callista

PROLOG #1

Aku ingat itu hari paling mencekam sepanjang hidupku.

Kakakku, dikelilingi banyak orang seperti penjahat di film bandit. Kekar, raksasa, penuh otot dengan topeng tanpa wajah. Lengan dan kepalanya ditahan kuat. Dia memberontak, kelihatan penuh tenaga, tetapi tidak berdaya.

Kakakku tampaknya tahu apa yang akan terjadi. Dalam jarak yang jauh untuk saling menggapai, dia menemukanku—berdiri kaku tidak mampu bergerak. Sensasi air mata seperti mulai mendesak mataku. Aku tahu dia menatapku dalam jarak ini.

Dan dia berteriak, dengan suara yang begitu parau.

“PERGI! BUAT APINYA MEMBARA DI KOTA KERTAS INI!”

Dia menangis. Air mata membuatnya terlihat begitu jauh. Itu bukan lagi sorot sengsara. Itu sorot penuh harap, seperti percaya padaku.

Dan yang kuingat, aku berontak. Aku memang pergi, tetapi aku kembali ke arahnya. Aku berpikir bisa membawanya pergi seolah aku yang terkuat. Namun, itu naif. Belum sempat aku berlari, seorang wanita berkardigan merah—yang awalnya tampak tidak peduli—menangkap lenganku. Dia membanting dan menahanku agar tidak bisa bergerak. Aku berteriak, berontak hingga berulang kali agar bisa meloloskan diri. Namun, gagal. Wanita ini kuat.

Aku berusaha melihat kakakku, dan di momen itulah, senyumnya merekah.

Senyum yang pedih, seolah itu senyum terakhirnya padaku.

Dalam momen yang sunyi dan gelap itulah, suara mengerikan itu terdengar. Alunan melodi perpisahan terkesan menguat. Alunan waktu terasa melambat. Suara sekitar terkesan samar. Segalanya bergerak dalam nuansa menyesakkan.

Dan layaknya cahaya, peluru menembus cepat pelipisnya. Ruang waktu seperti meledak layaknya dalam alunan fiktif. Aku tersentak, tidak lagi bisa menahan desakan di mulutku.

“KAKAK!”

Air mataku keluar begitu saja. Benakku tersayat habis-habisan. Namun, suara itu tidak berhenti. Tembakan itu kembali, bahkan berulang kali. Aku dipaksa melihat darah dari orang yang paling kusayangi berhamburan layaknya serbuk kayu di sasaran tembak. Aku ingin menghentikan suara gila itu, tetapi tubuhku tidak bisa bergerak. Apa yang bisa kulakukan hanya menyaksikan sosok kakakku yang segera berubah menjadi jasad kaku tak bernyawa.

Tubuhnya terjatuh, sorot matanya hilang, dan senyumnya mulai kehilangan kehangatan. Dia tidak lagi menjadi seseorang yang ceria, dia sudah hilang, pergi menembus cakrawala yang bahkan tak lagi bisa kugapai.

Itu membuatku teringat saat kami masih bisa berjalan berdampingan seolah tidak pernah diancam siapa pun. Aku ingat kami punya janji di esok hari. Aku ingat dia akan mengajariku Matematika. Namun, malam itu terasa semakin malam. Menekan, mencekam dan mengerikan. Aku merasa langit gelap sedang menunjukkan jati diri aslinya. 

Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang jelas, aku sudah berteriak keras, mengutuk dunia yang telah membunuh satu-satunya keluargaku yang tersisa.

Lockwood. Aku pasti akan membalaskan dendam ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status