Share

2. 2021, AKADEMI GRINOVER #2

Bu Hiroko memiliki kelas yang harus dia masuki di periode setelah istirahat makan siang. Jadi, kelas konseling dimulai seusai jam sekolah. Aku duduk di sofa ketika mendapati guru pra-kalkulus melewati tempatku duduk.

“Senang melihatmu mendapat bimbingan, Redrich.”

“Bisakah Bapak Tua sopan pada murid bimbinganku?” sergah Bu Hiroko.

“Apa?” Dia menyalak Bu Hiroko.

“Ada berbagai alternatif sapaan yang bisa dikatakan pada murid baru, yang secara kebetulan mendapat masalah karena kakak kelasnya yang kurang ajar. Jadi, bisakah seorang guru memerhatikan cara bicara pada muridnya?”

“Itu membuktikan dia tidak pantas bersekolah—”

“Itu dia. Bisakah kita tidak membedakan murid Akademi Grinover?”

Mereka saling membalas, dan dalam kurun tiga menit, aku merasa canggung dengan bulu kuduk aktif karena menjadi topik perdebatan dua dewan guru. Dan Bu Hiroko menang karena lawan bicaranya pergi, membanting keras pintu sampai Bu Hiroko berteriak, “Pelan-pelan kalau menutup pintu, Dasar Pemabuk Tua Bangka!”

Tidak terdengar balasan sampai aku berkomentar, “Bu Hiroko bisa dipecat kalau bicara seperti itu.”

“Terima kasih peringatannya, tapi kalau mereka berniat melakukannya aku pasti sudah dipecat sejak lama.” Dia meneguk air, lalu duduk di sofa depanku. “Hari pertama. Apa yang terjadi sampai kau membuat gusi Regan Reeves berdarah?”

“Dia mencekikku."

“Berbahaya juga. Berapa orang yang melihat itu?” 

“Eh,” aku segera meningat-ingat, “aku sedang membaca, lalu dia muncul bersama dua temannya sambil membawa senjata, lalu dia mencekikku, mengumpat keluargaku sambil membahas masa lalu, dan aku memukul pipinya.”

“Berapa orang yang melihatnya?” ulang Bu Hiroko.

Gagal. Aku berpikir bisa membuatnya bersimpati. Aku yakin Regan Reeves sudah bercerita macam-macam. Namun, aku tak ingat berapa orang di sekitar lapangan sepak bola. “Banyak yang lalu-lalang, jadi ... aduh, berapa, ya?”

Bu Hiroko menghela napas. “Oke. Keberatan dengan membersihkan toilet?”

“Bukan skors?”

“Aku berusaha menjauhkanmu dari skors dan kau meminta skors?”

“Maksudku, aku suka membersihkan toilet.”

Bu Hiroko menulis di lembaran, yang kuketahui sebagai lembaran hukuman guru konseling. “Sebulan penuh. Ini setimpal dengan skors.”

Aku menyesal sudah mengatakannya.

“Kau mengerti situasinya, kan?” tanyanya, sembari memberikan lembaran.

“Kalau aku menjadi petugas kebersihan baru di Akademi Grinover?” Aku mengambil pena, menandatangani lembaran. “Kurasa hukuman mencuci piring selama jam makan siang jauh lebih bermoral dari ini.”

“Maksudku,” sela Bu Hiroko, “Lockwood, dan lain-lain.”

Aku langsung mengangkat kepala. “Kenapa dengan Lockwood?”

Bu Hiroko mendesis. Dia memintaku melihat barisan foto yang terpampang di atas bilik konseling. Jadi, aku menoleh dan mendapati barisan bingkai yang indah. Campuran emas dan perak. Ada potret beberapa murid Akademi Grinover di sana.

“Murid bermasalah? Oke. Aku tahu bakal ada di—”

Minat bicaraku langsung hilang.

Bukan karena melihat seseorang yang begitu kurang ajar, tetapi karena aku seharusnya tahu apa yang dimaksud Bu Hiroko. Aku menatap salah satu foto yang berada pada posisi paling jelas seolah Bu Hiroko mengatur agar selalu menghadapnya. Foto gadis cantik berambut cokelat dengan senyum miring yang khas. Tulisan di bawah foto itu bertuliskan: KETUA OSIS.

“Aku tidak punya fotonya yang seperti ini,” kataku. “Kurasa aku mau minta kopiannya. Bisa aku dapat satu?”

“Bukan itu yang ingin kukatakan,” desisnya. 

“Aku tahu. Alasanku masuk ke sekolah ini, bukan?”

Aku meneguk air di ujung meja, menunggu Bu Hiroko menjawab, tetapi kusadari air mukanya sudah mewakili jawabannya. Aku sempat mengedarkan pandangan, bersikap awas kalau seseorang menguping pembicaraan kami, dan kusadari Bu Hiroko tidak akan membicarakan ini kalau ada orang lain di ruang konseling.

“Ada dua hal,” kataku. “Pertama, karena ini sekolah lama kakakku. Dia mantan Ketua OSIS, jadi aku berpikir kalau mungkin ada beberapa dewan guru yang masih mendukung gerakannya. Seperti Bu Hiroko. Kedua, dan yang paling penting, adalah karena Rena Lockwood juga masuk sekolah ini.”

Bu Hiroko kelihatan sudah menduga itu. “Dari mana—”

“Aku selalu menyelidikinya. Rena Lockwood. Tapi sulit menemukan informasi tentangnya. Jadi, aku berpikir kalau dengan masuk sekolah yang sama bisa membuatku bicara langsung dengannya.”

“Untuk?”

“Memastikan gerakanku selanjutnya.”

“Dan apa tepatnya gerakanmu selanjutnya?”

Aku mengangkat bahu. “Tidak bisa kukatakan.”

Bu Hiroko kelihatan kecewa karena memukul pelan mejanya. “Jadi, itu alasanmu mendesak Sir Bram menerimamu di sini? Kupikir kau tergugah dengan pendidikan—tapi apa yang kau tawarkan padanya sebagai ganti menerimamu?”

“Lockwood bisa mengawasiku selama di sekolah.” 

Tentu saja Bu Hiroko terkejut. “Kau menjual dirimu ke Lockwood?”

“Sebagai pembuktian kalau aku bukan pembunuh berantai. Aku benar-benar bukan pembunuh berantai. Bu Hiroko tahu itu, bukan?—Tidak. Biarkan aku mengatakan semuanya. Selama empat tahun ini aku tidak pernah terlibat bunuh-membunuh yang dilakukan Kawasan Normal. Dan aku tahu betul kematian kakak membuat Bu Hiroko sangat terpukul—tapi apa Bu Hiroko lupa denganku?” Tanpa sadar aku sudah berdiri, menuntut Bu Hiroko. “Aku juga terpukul—bahkan aku yang seharusnya paling terpukul. Tapi kenapa Bu Hiroko tidak membawaku pergi? Kenapa Bu Hiroko membiarkan bocah dua belas tahun terombang-ambing di area paling mengerikan di Sandover? Bu Hiroko tidak peduli denganku? Bu Hiroko tahu semuanya, kan? Tentang Lockwood dan apa pun itu. Tapi kenapa selama ini Bu Hiroko diam saja?”

Sungguh, semua ucapan itu keluar dengan nada lebih tinggi dari yang kubayangkan. Begitu aku menyadarinya, aku sudah menatap mata Bu Hiroko yang mulai bergetar—seolah rangkaian pertanyaan itu membangkitkan ingatannya tentang empat tahun lalu.

“Maaf,” kataku, kembali duduk.

“Kau harus tahu kalau aku peduli denganmu,” sergah Bu Hiroko.

“Oke.”

Aku tidak punya kata-kata lain yang bisa mewakili perasaanku. Dan kalau berusaha meluapkannya, aku pasti kembali menyalahkan Bu Hiroko. Mungkin Bu Hiroko bukan keluargaku, tetapi dia merawat kakakku—dan tentunya aku—ketika kakakku bersekolah di Akademi Grinover. Tentu saja aku marah ketika dia tidak lagi mempedulikanku begitu kakakku terbunuh.

“Jadi, biar kupastikan lagi,” katanya. “Kau mengincar Rena Lockwood?”

“Bukan hanya aku.” Dan setelah beberapa saat, kusadari aku mengucapkan hal yang tidak seharusnya kukatakan. “Maksudku, iya.”

Namun, terlambat. “Bukan hanya aku?”

“Baiklah. Kawasan Normal. Pemberontak.”

“Mereka ada di sini?”

“Tidak. Tapi mereka juga mengincarnya. Maksudku, mereka itu kumpulan pembunuh. Dan salah satunya teman baikku—tapi aku bukan salah satunya. Hanya teman baik karena ... siapa lagi yang bisa menjadi temanku selain pembunuh? Jadi, tentu saja Rena Lockwood selalu diincar. Aku justru memastikan dia baik-baik saja.”

Bu Hiroko semakin tidak mengerti. “Baik-baik saja? Apa maksudmu?”

Suasana hatiku sudah memburuk. Jadi, aku menghela napas, mengatakannya dalam satu kalimat penuh tanpa jeda. “Genosida. Mereka berniat membunuh Rena Lockwood dalam waktu dekat.”

Bu Hiroko terdiam, seperti berada dalam ambang tidak percaya dan trans.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status