Meskipun tinggal di Kawasan Normal, bisa dibilang tempat tinggalku cukup jauh dari pusat Kawasan Normal. Di hari Jumat sepulang sekolah, aku mengunjungi toko kelontong favoritku di Kawasan Normal. Bukan toko mewah yang dikelilingi kaca, melainkan ruangan bak gudang penyimpanan yang memiliki pintu kasa. Satu-satunya toko di Kawasan Normal yang pada dasarnya tidak menjual apa pun.
Maksudku, Kawasan Normal tidak menerapkan sistem jual beli. Sebagian besar penduduknya adalah pencuri, perampok, preman, dan sebagian besar lainnya orang-orang yang kehilangan harapan hidup. Jadi, jual beli di Kawasan Normal lebih cenderung ke arah pasar gelap—yang sama sekali tidak ingin kuketahui lokasi dan wujudnya. Mempertimbangkan itu, bisa dibilang toko kelontong bukan sembarang toko. Ini tempat anak-anak yang terlahir di Kawasan Normal memiliki harapan untuk tetap menyambung hidup.
Itulah alasan mengapa aku dan Louist bisa selamat di Kawasan Normal.
Pemiliknya seorang Kakek
Louist mengajakku ke lantai tertinggi di gedung yang berseberangan dengan kediaman Lee Hudson—salah satu Lockwood di parlemen. Hujan deras membuat lantai ini menjadi gelap, suram, dan bau. Louist bilang, ini lantai tempat pegawai kebersihan beristirahat, tetapi karena tidak lagi dibutuhkan, lantai ini terbengkalai.“Gedung Langit,” kata Louist. Kami berdiri di depan jendela lantai sepuluh, menatap kediaman Lee Hudson. Megah dan mewah. Wilayah paling ujung di Area 2 Distrik Lockwood yang dipisahkan sungai beraliran deras. Dari yang terlihat DI mataku, aku seperti bukan melihat rumah, tetapi kompleks kastel dengan dua bangunan utama dan pekarangan indah yang penuh berbagai jenis tanaman. Gaya arsitektur Asia yang mengedepankan kesan kerajaan.Aku sedang sibuk memikirkan seberapa luas kediaman Lee Hudson, ketika Louist menyergah, “Bisakah kau mengawasi kamera pengawas?”Aku melihat lantai. Ada banyak kabel berjuntai ke sana kemari, sat
Hari Selasa.Aku kembali mendapat kelas bersama Rena Lockwood—kelas Matematika di periode ketiga dan Bahasa Jepang di periode kelima. Sebenarnya aku tidak ingin kelihatan terlalu peduli dengan kejadian beberapa hari lalu, tetapi ketika wajahnya terlintas di mataku, mau tak mau ingatan itu kembali ke kepalaku.Pertama kami bertemu pandang adalah saat dia berdiri di samping tempat dudukku. “Selamat pagi," sapanya. "Aneh sekali melihatmu tidak mendapat hukuman.”“Itu sapaan terbaik yang kudengar hari ini,” balasku.“Hanya bercanda,” dia tersenyum, lalu duduk di kursi belakang. “Jangan muram begitu. Aku tahu kau tidak berbuat onar minggu ini. Jadi, bisakah kau sedikit tersenyum?”Dia terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami apa-apa. Dia terus berbicara remeh—tertawa dan bertingkah seperti biasanya. Dia juga tidak mengucapkan hal mencurigakan. Kami hanya saling bicara dan bercan
Aku berhenti merenung setelah melihat kilasan cepat yang mematikan.Kejadian itu berlangsung di persimpangan Area 3 Distrik Lockwood. Tak ada kendaraan di sekitar. Lampu lalu lintas juga menunjukkan warna hijau. Jadi, kami melaju dengan kecepatan yang sama mengikuti mobil Lockwood.Dan tiba-tiba mobil hitam muncul tanpa diundang. Jenis mobil sedan umum yang biasa digunakan untuk wisata keluarga. Hanya saja, dengan jenis kaca hitam legam—paling ilegal untuk digunakan pada kendaraan. Mobil itu datang dari sisi kanan, menerjang tepat ke bagian tengah mobil Lockwood.Maka di depan mataku, kedua mobil bertabrakan dengan kecepatan tinggi. Suara benturan terkesan fiktif, dan aku melihat kedua mobil saling tolak-menolak karena tumbukan lenting sempurna. Aku tahu Bu Hiroko juga terkejut karena kami sama sekali tidak mengeluarkan suara—bahkan sekedar helaan napas.Harapan hidupku mengatakan aku harus membantu Bu Hiroko menginjak rem. Namun, Bu Hir
Aku akan mengungkap satu rahasia besar: Rumah Pohon dulunya tempat persembunyian ayahku dan Erwin Hood. Kakak bilang, Erwin Hood memberi akses khusus agar Rumah Pohon hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Maka jelas, kakakku salah satunya. Dulu aku tidak memusingkan itu. Namun, setelah kakakku pergi dan aku tidak bisa kembali ke rumah, aku mulai memikirkan bagaimana cara mengaksesnya—dan ternyata sudah sejak lama Erwin Hood memberi kode akses padaku. Dia pernah memberiku hadiah kartu dengan susunan angka layaknya kata sandi. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk sadar bahwa itu kode akses.Maka dua tahun setelah kakakku tewas, aku mulai tinggal di Rumah Pohon.Louist tidak berniat tinggal satu atap denganku, dan aku juga tidak berniat. Dia hanya mengambil barang-barang penting seperti ranjang atau semacamnya.Maka bagian normal yang tersisa dari Rumah Pohon hanyalah tiga ruangan kecil: ruang tengah sekaligus dapur, ruang kerja, serta kamar mandi. Rua
Keesokan harinya, aku terlambat, itu wajar.Teman-teman kelasku mulai melontarkan isu kecelakaan di Area 3 Distrik Lockwood, kuakui itu wajar. Beberapa orang mulai mengucapkan bela sungkawa, lagi-lagi itu wajar. Tidak ada yang membicarakan bahwa itu Rena Lockwood, yah, itu wajar. Jasadnya terbakar. Aku cukup memerhatikan kelas pra-kalkulus, sepertinya itu wajar. Namun, ketika aku menoleh ke bangku belakang, mendapati bangku itu kosong, aku tahu itu janggal. Dia tidak lagi di sana.Maka di periode keenam, kejanggalan itu mencapai puncak.Seluruh murid dikumpulkan di aula. Hampir tiga ratus orang berkumpul di satu tempat dengan suara gaduh yang tumpang tindih. Aku duduk di kursi belakang, melihat podium di bagian panggung. Itu membuat beberapa orang bergumam penuh kecurigaan sampai Kepala Sekolah kami yang berjanggut putih naik ke podium. Sejujurnya kami jarang mendapati Kepala Sekolah di area sekolah. Dia terlalu sering kunjungan dinas sampai tidak di
Aku membawa kasur lipat, bantal, selimut, peralatan mandi, seperti handuk yang jauh lebih lembut dari milikku, sabun, sampo, kondisioner dan berbagai jenis kebutuhan primer yang setidaknya dibutuhkan perempuan seusiaku ke meja konter. Kurang lebih Kakek menganga tidak percaya. “Ini untuk gadis, Nak.”“Aku tahu. Berapa harga semua ini?”“Kau menghabiskan uang peninggalan orang tuamu.”“Katakan saja berapa, Kek.”Kakek mengambil katalog harga, memeriksa satu per satu barang. “Aku tidak percaya saat Laura bilang kau membawa gadis ke Rumah Pohon. Jadi, itu benar? Kau punya pacar baru?”“Bisa dibilang begitu.” Aku sibuk menghitung uang di dompet.“Ini hadiah untuknya? Kau tinggal bersama dengannya?”“Aku takkan memberi hadiah dari Kawasan Normal.”Kakek mengerutkan kening. “Kenapa?”“Sebenarnya aku menculik cewek
Aku menghabiskan sepanjang malam di toko kelontong, menemani Louist yang membaca buku KUPAS HABIS HATI PEREMPUAN dan aku mengomentari sikap tak terduga itu sepanjang berada di sana. “Kau mau bermain cewek?”“Kurasa kau harus pulang sekarang,” katanya.“Kau mengusirku?”“Kau harus memastikan jasadnya sekarang.”“Itu hal mengerikan ketujuh yang kudengar hari ini.”Namun, aku sepakat dengan itu. Maksudku, aku harus segera pulang karena hanya ingin mendinginkan kepala di sini. Jadi, begitu menyelesaikan urusan ini-itu—bercanda dengan Kakek dan Louist—aku kembali ke Rumah Pohon.Maka kudapati Rumah Pohon gelap, seperti aku meninggalkannya di hari-hari normal. Aku menyalakan lampu, dan menyadari kasur lipat dan barang-barang yang kubeli lenyap tidak berbekas. Terakhir kali aku meninggalkannya, semua itu berserakan, tetapi kini, barang-barang itu menghilang.Aku me
Itu pertama kali aku terbangun bukan karena mimpi buruk atau alarm, tetapi karena wangi masakan. Aku tidur di ruang tengah—berbagi ruangan dengan dapur, berlapiskan kasur lipat dan selimut beraroma kapur barus. Belum sempat membuka mata, seseorang sudah berteriak di telingaku.“BANGUUN, TUAN MAJIKANN!”Aku membuka mata, tetapi rasanya lengket. Jadi, aku mengembalikan fokus dan berusaha melihat jam. Sayangnya, Rena menutup seluruh jarak pandang karena dia benar-benar, secara teknis, di depan mataku. “Ah, kau bangun!” serunya.“Pemandangan indah di pagi yang cerah,” sambutku.“Aku yakin kau melihatku sepanjang malam karena kau benar-benar tidak bisa bangun kecuali dengan ini.” Dia tersenyum di depan mataku. “Selamat pagi, Charlie. Mimpi indah semalam?”“Lebih indah saat membuka mata.”“Ya, ya, aku suka pujianmu.” Dia beranjak. “Cuci mukamu. Kau seri