Share

Bab 2

Max membuka pintu rumahnya tanpa mengatakan apapun pada wanita yang mengaku sebagai Tiffany itu. Ia segera memasuki kamarnya, meninggalkan Jessi dan Jasper bersama kembaran Tiffany. Setidaknya, itu sedikit meringankan pekerjaannya. Ia juga tidak ingin mengganggu kegembiraan kedua anaknya. “Ibu kemana saja selama ini?” tanya Jessi saat berada di kamar bersama ibunya.

Tiffany tersenyum, “Ibu hanya sedang berlibur sayang. Tidak usah pikirkan itu ya.”

“Aku rindu ibu...” Jasper memeluk wanita itu dengan begitu erat.

“Tapi sekarang ibu sudah di sini,” ujar Tiffany, sembari membelai lembut kepala Jasper, “Ibu janji tidak akan pergi lagi dari kalian.”

“Janji?” ujar Jessi, menunjukkan jari kelingkingnya pada Tiffany.

Tiffany pun menautkan kelingkingnya pada jari mungil itu, “Janji.”

“Ibu, aku mau minum susu,” pinta Jasper manja.

“Aku juga mau, Bu,” sahut Jessi.

Tiffany tersenyum, “Baiklah. Ibu akan buatkan susu untuk kalian.”

Wanita itupun segera bergegas menuju dapur, meninggalkan Jessi dan Jasper di kamar. Namun, ketika berada di dapur, ia terlihat begitu kebingungan. “Apa yang kau cari?” tanya Max yang tiba-tiba muncul, membuat Tiffany terkejut setengah mati. Tiffany pun menghela napas sejenak, menetralkan detak jantungnya yang berdegub kencang.

“A-aku hanya ingin ... membuatkan susu untuk Jessi dan Jasper,” jawab Tiffany, gugup.

Max mendengus, “Lalu, kenapa kau kebingungan? Bukankah kau yang meletakkan tempat susu mereka?”

Tiffany tampak gugup. Keringat pun mengucur deras dari keningnya, tak tahu harus mengatakan apa pada Max. “Kenapa diam?” ujar Max, melipat kedua tangannya didada.

“Ah, a-aku kan ... su-sudah lama ti-tidak pulang sayang. Jadi, aku sedikit lupa,”  jawab Tiffany, berusaha membohongi Max. Namun sayang, Max bukanlah orang yang mudah ditipu. “Kau memang berhasil membohongi anak-anakku tapi, tidak denganku. Tipuanmu itu sama sekali tidak berpengaruh padaku,” ujar Max, datar.

“Ma-maksudmu?”

“Kau bukanlah dia,” jawab Max, “Kau hanya orang asing, yang memanfaatkan kematian istriku.” Max beranjak ke kamarnya tanpa memikirkan perasaan Tiffany yang tampak menahan tangisnya.

•••

Senja pun berganti malam. Max mengajak kedua anaknya untuk makan malam bersama di luar. Awalnya, pria tampan itu tak berniat mengajak Tiffany sama sekali. Namun, kedua makhluk kecil itu terus memaksanya. Seperti biasa, Max selalu tidak bisa menolak keinginan anak-anaknya. Ia pun sedikit mengerti jika di usia seperti mereka masih membutuhkan peranan seorang ibu. Itu sebabnya, Max tidak mengusir wanita itu meskipun ia tahu bahwa itu bukanlah istrinya.

“Kalian mau pesan apa?” tanya Tiffany pada kedua anak Max.

“Aku ikut pesanan ibu saja.” jawab Jasper, diikuti oleh Jessi. Kini, tatapan wanita itu tertuju pada Max. Ia sedikit ragu untuk menanyakan pesanan Max. Namun, ia harus melakukannya. “Kau ingin pesan apa, Max?” tanya Tiffany, memberanikan diri.

Max tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Ia menepuk kedua tangannya untuk memanggil seorang pelayan restoran mewah tersebut. Pelayan tersebut pun menghampiri Max. “Anda ingin pesan apa?” tanya pelayan itu pada Max seraya menyiapkan catatannya.

Max tersenyum ramah, “Aku pesan steak panggang seperti biasa.”

“Baik. Ada lagi?”

Max hanya menggeleng. Pelayan itu mengerti, kemudian berlalu dari meja mereka.

Breaking news.

Jasad korban kecelakaan taksi yang terjadi 4 tahun silam, telah ditemukan oleh pihak kepolisian. Sekitar pukul 07.00 pagi tadi, pihak kepolisian menemukan jasad tersebut dalam keadaan yang mengenaskan. Saat ini, jenazah korban sudah dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit.

Sekian berita hari ini.

Max terkejut mendengar berita yang baru saja diputar dalam siaran televisi. Ia beranggapan bahwa jasad tersebut adalah jasad Tiffany; istrinya. Seketika, air matanya mengalir begitu saja. Merasakan kepedihan yang mendalam akibat berita yang baru saja didengarnya. “Jaga mereka. Aku segera kembali,” ucapnya pada wanita itu, kemudian berlalu. Ia bahkan menghiraukan teriakan dari Jessi.

“Ayah mau kemana, Bu?” tanya Jessi dengan wajah polosnya.

Wanita itu tersenyum manis, “Ayah sedang ada urusan di kantor. Sekarang, kita makan duluan saja ya.”

Ia berusaha meyakinkan kedua makhluk kecil itu untuk tidak panik.

•••

Saat ini, Max sudah berada di rumah sakit. Ia ingin memastikan jika jasad itu adalah Tiffany Austin. Batinnya benar-benar gelisah karena sebenarnya, ia tak sanggup untuk melihat jenazah tersebut. Namun di sisi lain, ia begitu penasaran sehingga membuatnya membuang jauh perasaan ragu tersebut.

“Apa kau siap Max?” tanya Dr. Winsten.

Max menghelakan napasnya, “Aku siap.”

Dokter berkacamata itupun secara perlahan, membuka kain penutup tersebut. Seketika, air mata Max mengalir deras bagaikan derasnya arus sungai. Awalnya, ia menampik jika itu bukanlah jasad Tiffany tapi, kenyataan menjawab semua keraguannya. Jasad yang mengenaskan itu adalah Tiffany Austin; istrinya. Cincin pernikahan itulah yang meyakinkan Max bahwa itu benarlah jasad wanita yang dicintainya.

Tubuh Max terkulai lemah di lantai dingin rumah sakit. Kaki jenjangnya seakan tak sanggup menopangnya untuk berdiri. Bibirnya tak sanggup mengatakan apapun lagi saat ini. Dunianya telah hancur bersama dengan kepergian istrinya yang begitu tragis. Max hanya bisa menangis, meratapi kematian tragis istrinya. Ia bahkan tak tahu harus mengatakan apa pada anak-anaknya nanti. Dirinya benar-benar dalam kondisi yang terpuruk.

“Aku turut berduka Max,” ucap Dr. Winsten, mencoba menenangkan pria malang itu.

Max menyeka air matanya, kemudian berdiri menghadap Dr. Winsten. “Bi-bisakah kau ... membantuku, Dokter?” tanyanya.

Dr. Winsten mengangguk, “Apa yang bisa kubantu?”

“Bantu aku untuk ... memakamkan jenazahnya,” pinta Max, tetap dengan isakan kecil.

“Pasti. Aku akan membantumu.” Dr. Winsten pun memerintahkan para perawat untuk mengurus jenazah Tiffany Austin.

•••

Setelah selesai memakamkan istrinya, Max kembali ke rumah. Saat pintu terbuka, terlihatlah sosok wanita yang wajahnya mirip dengan Tiffany, tengah menidurkan Jessi dan Jasper seraya membelai lembut kepala mereka. Pria tampan itupun menghampiri dan segera menggendong kedua anaknya untuk dibawa ke kamar. “Kau tunggu di sini. Aku ingin bicara padamu.” ujarnya, kemudian berlalu.

Wanita itu tampak meremas jari-jari tangannya, seperti orang yang sedang ketakutan. Ia merasakan jika sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Entah apa itu. Yang jelas, wanita itu kelihatan begitu takut, apalagi tatapan Max yang mengerikan, membuatnya semakin tidak tenang.

Selang beberapa detik, Max kembali muncul, membuat degub jantung wanita cantik itu semakin tak karuan. Pria itu menatapnya dengan sangat dingin, berbeda dengan sebelumnya. “Katakan, siapa kau sebenarnya?” tanya Max tanpa berbasa-basi sedikitpun.

Wanita itu tampak menggigiti bibir bawahnya. Raut ketakutan pun terlihat begitu jelas diwajahnya. Pandangannya terus melihat ke bawah, tak berani menatap laki-laki yang tengah memandangnya garang.

“Jangan memaksaku untuk melakukan kekerasan!” Ucapan Max pun semakin meninggi. Rahangnya terlihat mengeras karena kesal tak mendapatkan jawaban apapun dari wanita itu. “Katakan!” teriaknya.

~TBC 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status