Share

Chapter 4 - Sebenarnya Dia Mencari Istri atau Asisten Rumah Tangga

Hari setelah mendapat telfon dari seorang Skandar Hemingway, Charisa yang sedang mengendarai mobil kakak iparnya sepulang sekolahnya sedikit merasa tidak nyaman. Gadis muda itu masih ingat saat Yuta dan Anna yang sangat heboh dalam menyambut telfon dari pria dewasa satu itu. Itulah mengapa sekarang dia agak kebingungan harus bagaimana menyampaikan perihal isi telefon itu kepada Amanda yang sekarang sedang sibuk menyetir.

‘Apa aku kasih tahu kak Amanda saja?’ tanya Charisa dalam hati.

Gadis pemilik gigi kelinci itu melihat raut muka kakak iparnya beberapa kali, tetapi beberapa kali juga gadis itu membatalkan deretan kata yang ia coba susun di kepalanya yang pemalas itu. Charisa takut jika kakak iparnya itu akan berpikiran yang tidak-tidak kepadanya, apalagi pria itu masih orang asing untuknya.

“Ada yang mau Charisa katakan kepadaku?” tanya Amanda yang sedang menunggu lampu merah jalan raya.

“Emm, tidak ada,” elak Charisa tak jadi bicara.

“Ya sudah kalau tidak mau cerita ....” ucap Amanda kepada Charisa, perempuan itu lalu tersenyum dengan cantiknya, dan kembali mengemudikan mobilnya lagi.

Charisa melihat jalanan yang ia lewati bukan jalanan biasa menuju rumahnya. Gadis bermata bulat itu bertanya-tanya, kakak iparnya itu mau pergi kemana, karena jalanan yang mereka lalui sekarang jalanan utama kota Canberra. Banyak sekali gedung pencakar langit di kanan kiri jalanan itu. Charisa sudah akan bertanya langsung kepada Amanda kemana mereka akan pergi, sebelum dia menepikan mobil mereka di tepi trotoar jalan.

“Dia sudah menunggu ternyata!” sahut Amanda tiba-tiba.

“Siapa yang sedang menunggu?” tanya Charisa pelan.

“Calon suamimu, Charisa. Mengapa tidak bilang padaku jika kalian mau ketemuan hari ini, tahu begitu tadi aku mendandanimu dulu,” ujar Amanda sambil tersenyum.

Charisa melihat ke arah tepi trotoar, di samping halte bus. Seorang pria dewasa dengan pakaian kerjanya sedang berdiri dengan kokohnya, laki-laki itu menatap mobil mereka dengan pandangan tajamnya yang biasa, hanya saja kali ini ada sebuah senyum yang terpoles disana. Skandar Hemingway sudah menyadari kedatangan Charisa. Gadis itu menoleh kepada Amanda lagi dimana kakak iparnya itu sudah melepaskan sabuk kemudinya.

“Bagaimana kakak bisa tahu jika dia ada disini?” tanya Charisa kembali.

Tangan gadis itu masih menggenggam sabuknya, masih belum memutuskan ia harus menemui calon suaminya itu, apa tidak? Walaupun kemarin di dalam telfonnya, ia sudah berjanji akan menemuinya. Ternyata praktika lebih susah dari pada teori.

“Skandar tadi menelfonku ketika aku akan menjemputmu, Charisa,” cerita Amanda. “Dia meminta izinku, apakah boleh mengajakmu untuk mengobrol sebentar. Bukankah kamu sudah ditelfon juga olehnya?”

“Dan apakah kakak mengizinkannya?” Charisa tak percaya saat melihat Amanda mengangguk mengiyakan.

“Tentu, mengapa tidak boleh? Dia akan jadi suamimu, Charisa. Ayo kita keluar.”

Akhirnya, dengan dorongan dari kakak iparnya itu Charisapun turun dari mobilnya. Gadis muda itu melangkah dengan membuntuti Amanda yang berjalan di depannya. Ia tidak kunjung menengok ke depan hingga dia tidak tahu jika yang di depannya sekarang adalah tubuh pria itu. Charisa menatap Skandar Hemingway dengan polos, pria dewasa satu itu sedang memberi salam pada Amanda yang sudah berdiri di sampingnya.

Kakak iparnya itu tertawa saat calon adik iparnya itu berbicara sangat sopan kepadanya. Amanda bahkan beberapa kali mengatakan tidak masalah jika ia jadi cupid dadakan diantara mereka berdua. Charisa yang tidak faham arah pembicaraan kedua orang dewasa itu hanya berdiri sambil merengut. Gadis itu menebak-nebak kira-kira berapa kali baik kakak iparnya dan pria dingin di depannya itu sudah bertemu, karena mereka sekarang sudah terlihat akrab sekarang.

“Jadi, saya boleh pinjam calon istri saya sebentar, Amanda?” tanya Skandar dengan bahasa yang masih formal. Skandar yang sekarang begitu berbeda dengan Skandar saat menghadapi momnya yang sangat cerewet itu.

“Boleh, jam berapa nanti aku akan menjemputnya, Skandar?” tanya Amanda balik.

“Kakak, kamu sedang bercanda kan?” bisik Charisa yang langsung bersembunyi pada lengan kakaknya.

“Tidak apa-apa, Char ....” kata Amanda menenangkan gadis itu.         

“Biar nanti saya saja yang mengantarkannya pulang. Jangan khawatir, aku akan menjaganya,” ucap Skandar dengan suara beratnya.

Amanda langsung tertawa mendengar penuturan laki-laki itu. Dia seperti bisa membaca pikirannya. Gadis itu mengangguk kemudian mengatakan jika ia harus kembali, dan meninggalkan kedua pasang anak manusia yang terdiam melihati kepergiannya.

Skandar Hemingway menoleh kepada gadis muda yang memiliki rambut cokelat agak bergelombang itu. Gadis itu tanpa diduga juga mendongak menatapnya dengan mata bulatnya yang polos. Charisa masih berdiri disana dengan seragam sekolahnya, sementara ia masih rapi dengan pakaian kerjanya, lengkap dengan jasnya. Skandar mengeluarkan nafas tertahannya untuk sesaat, perbedaan mereka berdua terasa sangat besar.

“Apa kau sudah makan siang?” tanyanya pada gadis muda di depannya.

“Belum,” jawab Charisa jujur.

Gadis itu menunduk tak berani melihat pria yang di pertemuan terakhir mereka menakutinya dan membuatnya hampir masuk kolam ikan di rumahnya. Skandar mengamati ekspresi gadis itu dan dalam hati sudah tertawa, seberapa menakutkannyakah dirinya dihadapan remaja itu?

“Ayo kita cari makan,” ucap Skandar dan langsung menarik lengan gadis muda itu.

Charisa hanya terbengong-bengong saja saat pria tinggi itu menarik tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji tidak jauh dengan trotoar jalan tempat mereka berdiri tadi. Gadis itu sudah duduk di kursi pengunjung sambil menunggu Skandar Hemingway memesan dan membayar pesanan milik Charisa.

Charisa Davis mengamati keseluruhan restoran cepat saji tersebut. Itu adalah cabang waralaba dari restoran cepat saji yang biasa ia beli bersama Yuta dan Anna jika Amanda terlambat menjemputnya, hanya saja letak dari restoran cepat saji yang mereka beli berbeda karena Charisa membelinya di dekat sekolahnya. Menyadari sekarang ia sedang makan siang dengan pria yang beberapa hari yang lalu belum ia kenal, batin Charisa sedikit meringis mengetahuinya.

“Ini pesananmu,” ucap Skandar setelah menaruh baki pesanannya di depan kursinya. Laki-laki itu kemudian mengambil kursi di seberang Charisa dan mendudukinya.

Melihat cheese burger with cheese, coke float dan tak lupa McFlurry Oreo kesukaannya, gadis itu tersenyum lebar. Charisa benar-benar tidak bisa menyembunyikan betapa memujanya ia terhadap makanan favoritnya. Di depannya Skandar dapat menilai perubahan ekspresi gadis di depannya itu. Laki-laki itu mendesis pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya saat gadis itu mengucapkan selamat makan dengan riang.

Gadis itu terlihat memberikan pandangan bertanya pada laki-laki di depannya yang hanya duduk dan mengamatinya yang sedang makan dari tadi, cheeseburger milik laki-laki itu bahkan tidak disentuh olehnya.

“Paman tidak makan?” tanya Charisa setelah menelan gigitan pertamanya.

“Tidak .... Aku tidak bisa memakannya,” jawab pria itu singkat, dan menyenderkan punggungnya pada punggung kursinya, kembali menatap Charisa yang kini jadi tidak bisa makan dengan leluasa.

“Karena sudah kenyang?” tanya Charisa ingin tahu.

“Tidak, karena aku tidak bisa makan makanan junk food! Aku tidak terbiasa makan makanan cepat saji.”

“Hah!?” celetuk Charisa yang hampir menelan daging ayamnya.

Skandar kemudian langsung menyodorkan orange drink minumannya. Charisa menerimanya tanpa meminumnya, gadis itu sudah menaruh makanannya, dan seratus persen menatap balik pria yang memandangnya sedari tadi dengan pandangan seakan dia objek langka di museum kota.

“Kalau tidak suka makan disini, mengapa paman mengajakku untuk makan makanan cepat saji?” tanya Charisa ingin tahu.

“Karena kau menyukainya,” jawab Skandar dan menatap mata gadis yang sering kali ia pikirkan sebagai anak kecil itu. Mendengar itu, pipi milik Charisa seakan memerah.

“Paman tahu restoran favoritku?”

“Jangan salah paham dulu, aku bukan berusaha menguntitimu, atau menculikmu. Amanda yang memberi tahuku tadi di telfon,” tambah Skandar Hemingway kembali. Laki-laki itu teringat bagaimana sikap konyol momnya yang malah menculik gadis itu kemarin lusa.

“Siapa juga yang menuduh paman telah menculikku!” gerutu Charisa cukup keras.

“Jadi kau tak keberatan duduk berdua dengan pria berumur sepertiku, hemm?” Tanya Skandar, laki-laki itu terdengar seperti sedang menggoda gadis muda di depannya, meskipun nyatanya pria itu tanpa sadar telah mengucapkannya.

“Bukankah usia paman masih terbilang muda?” ucap Charisa teringat perkataan Anna kemarin. Kedua temannya itu belum memberi tahunya mengapa langsung merestuinya sebagai mempelai perempuan dari pria di depannya ini.

“Jika aku masih muda, kau terlihat seperti balita, Charisa.” Skandar, putra sulung keluarga Hemingway itu sekarang tersenyum geli. Ia benar-benar tak menyangka akan bisa mengobrol berdua seperti ini dengan anak SMA, dan anak SMA itu malah calon istrinya. “Kau masih memanggilku paman?”

“Aku tidak terbiasa memanggil paman macam-macam.”

Jawaban dari Charisa itu malah membuat Skandar berpikir yang tidak-tidak pada gadis muda itu, untung kemarin dia tidak menyarankan macam-macam pada gadis itu. Skandar awalnya ingin menyarankan gadis itu untuk memanggilnya dengan sesuatu yang lazim yang disebut oleh seorang istri. Kemudian saat ia ingat seberapa muda istrinya itu, dan belum lagi cengiran momnya yang pasti tambah lebar saat mendengar panggilannya, Skandar tidak jadi menyarankan Charisa untuk memanggilnya honey atau sweetheart. Skandar membuang pikiran bodohnya dari kepalanya.

“Bisa kita langsung ke alasan kita bertemu hari ini? Aku ingin kau mengeluarkan buku tulis dan bolpoin terlebih dahulu.”

Charisa langsung mengkerutkan alisnya, tetapi gadis itu menurut saja untuk mengeluarkan buku tulis dan bolpoin bewarna biru. Setelah semua peralatan yang diminta pria Hemingway itu terpenuhi, Charisa menatap Skandar kembali seakan bertanya sehabis ini apa yang harus ia lakukan lagi.

“Aku ingin kau mencatat semua hal yang aku suka dan tidak suka, setelah itu kau bisa menyebutkan apapun yang kau suka dan tidak suka. Aku ingin kita sudah memiliki modal untuk saling mengenal antar masing-masing,” kata Skandar, gadis di depannya masih berfikir keras. Skandar menarik nafas besar untuk pertama kali.

“Baik, aku mulai. Aku tidak suka junk food, aku harus makan makanan rumahan. A-“ ucap Skandar memulai pembicaraan.

“Jadi paman hanya bisa makan makanan rumahan?” potong Charisa saat lelaki itu mau melanjutkan pembicaraannya.

“Ya, kau bisa memasak?” tanya Skandar balik.

“Sedikit,” ucap Charisa sangat malu.

“Perbanyak cara memasak menu makanan kalau begitu. Aku tak akan memaksamu untuk belajar, tetapi aku akan memaksamu untuk memasak.”

Skandar terdengar sadis sekarang, tetapi ia memang benar tidak bisa makan makanan cepat saji, dan gadis di depannya ini akan jadi istrinya, ia tidak mau nanti ia mati kelaparan.

“Aku tidak suka dengan segala sesuatu yang membuang waktuku, aku benci menunggu, aku tidak suka dibantah, atau disela, aku tidak suka menjelaskan apapun sebanyak dua kali apalagi tiga kali.” Laki-laki itu berhenti untuk memastikan gadis di depannya menulis apa yang ia katakan.

“Aku suka kebersihan, aku tidak suka ada banyak debu di rumahku, aku benci bulu binatang, aku tidak mau kemeja kerjaku kusut, aku suka tidur dengan lampu yang padam, aku akan jogging tiap pagi, jadi sarapan sudah harus dihidangkan tepat setelah aku selesai jogging. Makanan kesukaanku makanan Eropa, aku tidak terlalu suka dengan makanan Jepang, jadi jangan menghidangkan makanan mentah.”

Charisa menulis itu dengan agak kebingungan, hampir semua poin yang disebutkan laki-laki itu terdengar seperti menyuruhnya untuk jadi pembantu dari pada menjadi seorang istri. Ia sudah berhenti dari menulis di atas buku tulisnya. Charisa mengangkat kepalanya, dan tatapan mata mereka bertemu.

“Aku ingin pernikahan yang sesungguhnya, tidak ada hal yang harus ditutup-tutupi, kau tidak boleh menjalin hubungan dengan siapapun laki-laki diluar sana. Aku ingin kesetiaanmu sebagai istriku.”

Charisa menelan air ludahnya, dia bahkan masih berusia tujuh belas tahun, kesetiaan macam apa yang ingin diminta oleh laki-laki itu, apa ia tidak boleh memikirkan tugas sekolahnya yang sulit jika malam tiba, begitu maksudnya?

“Dan terakhir, segala perkataanku, perintahku, laranganku adalah mutlak, Charisa Zwetta Davis!! Tidak bisa ditawar!” tutup laki-laki itu, dan melemparkan pandangan intimidasinya pada Charisa.

“List yang panjang ya paman?” kata Charisa dengan tersenyum masam. Dia ingin menyindir laki-laki dewasa satu itu.

Gadis itu membatin apa bisa semua permintaan aneh laki-laki itu bisa ia turuti nantinya. Apalagi mereka akan hidup bersama hampir setiap hari. Charisa kemudian memberikan buku tulisnya kepada laki-laki itu. Tetapi Skandar Hemingway hanya menatapnya dengan pandangan heran kepadanya.

“Bukankah sekarang giliran paman yang menulis, dan mendengarkan semua hal yang aku sukai dan tidak kusukai?”

“Aku tidak butuh buku tulis, ingatanku bagus. Aku bisa mengingatnya!” Muncul juga sifat menyebalkan seorang Skandar Hemingway. Charisa hampir saja memukul kepala laki-laki itu dengan buku tulisnya.

“Emm, aku suka warna pink, ungu, dan putih. Aku suka mawar putih, aku suka boneka kelinci. Aku suka sekali dengan kel-”

“Tidak, tidak dengan permintaan memelihara hewan peliharaan, Risa. Tidak!” potong Skandar cepat. Ia tahu kemana maksud pembicaraan gadis ini.

“Ya, aku paham!” Gadis itu merengut. “Aku suka makan, aku suka makanan yang manis dan enak, aku suka sesuatu yang lucu dan menggemaskan, aku tidak suka hantu, aku tidak suka yang seram-seram, aku tidak suka membaca buku, aku tidak suka hal-hal yang melelahkan, aku tidak suka membersihkan rumah, menyapu, mengepel, me-“

“Kau harus membersihkan rumah, kita akan tinggal berdua nanti. Bukan di rumahku, tetapi di apartemenku,” sela Skandar pada gadis itu.

“Berdua di apartemen? Mengapa tidak di rumah?” pekik gadis itu tiba-tiba.

“Kau tidak bermaksud ingin dihantui oleh momku kan? Kau sudah bertemu beliau kemarin, aku ingatkan, momku lebih menakutkan dari pada hantu yang kau sebutkan tadi.”

Skandar berusaha memberikan penjelasan kepada calon istrinya yang masih anak-anak itu. Mengetahui jika nanti hanya ada dia dan Skandar saja di apartemen pria itu membuat Charisa berubah menjadi pias dan panik.

“Paman ... Paman ... Selama kita menikah, aku tidak ingin kita melakukan kontak fisik nanti. Aku ingin kita memiliki kamar tidur sendiri,” ucap Charisa masih dengan paniknya, gadis itu kembali melihat wajah tuan muda Hemingway itu lagi. Laki-laki itu sudah mensedekapkan kedua lengannya di depan dadanya saat mendengar permintaannya.

“Tidak!” kata laki-laki itu tegas.

“Tetapi-“ bisik Charisa yang langsung disambar habis oleh Skandar.

“Aku tidak bisa, aku ingin pernikahan yang sesungguhnya, dan itu membutuhkan kontak fisik, Charisa Davis! Aku tidak akan hidup denganmu hanya sehari, dua hari, aku akan hidup denganmu berpuluh-puluh tahun nanti. Aku tidak bisa menjamin padamu jika aku tidak akan tertarik padamu. Aku laki-laki normal jika kau belum tahu.”

Charisa, gadis yang masih memakai seragam sekolahnya itu kehilangan kata. Mata bulatnya untuk kali ini tak mampu untuk mengerjap sedikitpun. Dalam pikirannya yang tak sering digunakan untuk berfikir itu, gadis muda itu sedang berusaha menyusun sanggahan lain untuk paman bermulut tajam di depannya.

“Tetapi aku masih sekolah, paman. Aku belum lulus. Paman harus tahu jika aku baru berumur tujuh belas tahun.” Charisa hampir keluar air mata saat mengatakannya.

“Kau sudah menstruasi bukan? Gadis yang sudah pernah punya siklus menstruasi, sudah bisa dibilang wanita yang siap memiliki bayi,” ujar Skandar Hemingway dengan kalem. Ia, Skandar Hemingway, tidak pernah tidak perhitungan dalam hal apapun juga, dan pastinya ia tidak mau rugi apalagi itu terkait haknya.

“Aku juga tahu kelulusanmu baru semester depan, aku rasa kehamilan diusia kandungan empat atau lima bulan tidak terlalu mencolok mata.”

Skandar memberikan senyum liciknya pada calon istrinya. Mengingat ia bisa mengatakan hal ini dengan santai, Skandar rasanya ingin menyalami momnya saat itu juga. Ibunya kali ini sangat berjasa, berjasa mempengaruhinya.

Charisa yang mendengar laki-laki itu berbicara blak-blakan seperti tadi, langsung panas telinganya, suara angin terdengar berdenging di kupingnya. Gadis itu sudah ingin memaki pria bodoh macam apa yang mengucapkan hal sefrontal itu di depan umum. Charisa langsung menoleh di kanan kirinya, beruntunglah mereka memilih tempat di balkon restoran dimana hanya meja mereka saja yang terisi, jika tidak, Charisa pasti sudah memukul pria itu dengan baki makanannya.

“Apa kita harus punya bayi, Paman?” tanya Charisa memastikan. Gadis itu sudah merengek, agar laki-laki itu membatalkan saja niatnya.

“Harus!” Jawabannya sangat singkat, jawaban yang biasanya sangat dibenci oleh gurunya jika memberinya soal essay.

“Aku saja tidak tahu caranya, buku biologiku tidak membantu.” Charisa cemberut kesal sendiri. Gadis itu sudah ingin menangis membayangkan semua hal-hal menakutkan nanti di kehidupan pernikahannya.

“Akan aku ajari nanti!” ujar tuan Skandar Hemingway yang menyebalkan itu seenaknya.

“Paman, kau gila!”

“Sungguh? Asal kau tahu, ibu mertuamu lebih sinting jika tahu hal ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status