Share

BAB 3

Suara alarm seperti pemadam kebakaran membangunkan Mia. Pandangannya masih digelayuti kantuk saat menemukan ponsel tersebut di atas meja, di sampingnya. Baginya ini masih terlalu pagi. Beberapa kali dia mengedipkan mata mengusir kabut di kepalanya hingga suara ketukan di pintu mengembalikan kesadarannya.

Mengerang pelan, Mia bangkit dari kasur. Dia masih dibalut bajunya yang malam tadi.

Tas putih mungilnya berdekatan dengan ponselnya. Kondisi kamar motel yang dia sewa masih sama seperti kali terakhir dia tinggalkan, tetapi keningnya berkerut saat mendapati jas hitam di sisi kasur yang satunya. Dia hendak meraih jas tersebut saat suara ketukan di pintu kamarnya terdengar untuk kedua kalinya.  

“Layanan Kamar!” kata siapapun yang ada di balik pintu.   

Mia melupakan jas tersebut dan melihat siapa yang membangunkannya di jam seperti ini.  

Begitu pintu dibuka, aroma roti berbalur mentega menggoda penciumannya.          

“Sepertinya kau salah kamar,” katanya pada gadis pelayan berseragam hitam maroon di hadapannya.       

Gadis itu tersenyum ramah padanya.

“Ini pesanan untuk kamar nomor tiga, dan selama bekerja di sini, yang aku tahu ini adalah kamar nomor tiga,” jawabnya menjelaskan.          

“Ini memang kamar nomor tiga, tetapi aku tidak memesan apa-apa.”           

“Aku hanya mengantarkan pesanan saja, dan di sini tertulis kamar nomor tiga.” Gadis itu menyerahkan struk yang sudah lunas dengan beberapa item pesanan di dalam daftarnya, tapi anehnya tidak ada harga atau total jumlah semua makanan yang dia pesan. Hanya ada tulisan ‘Lunas’ di list paling bawah.   

Benar saja, ada angka tiga di sudut kanan dengan ukuran besar.      

“Apa kau yakin ini pesananku? Bagaimana kalau kita periksa di resepsionis, mungkin saja ada orang yang lupa dengan nomor kamarnya?” tanyanya lagi walau dalam hati dia menahan godaan untuk menerima. Bahkan aroma mentega dan madu kini bersatu untuk membuatnya lapar.    

“Oh tidak perlu, kami sudah mengkonfirmasi,” jawab gadis itu sembari mendorong trolinya masuk tanpa mendengarkan protes Mia.

“Bagaimana kalau pesanannya salah? Apa aku harus mengganti semua ini?” tanya Mia setengah panik setengah menyerah dengan perutnya yang mulai berbunyi mempermalukan dirinya.

“Tenang saja hal seperti itu hanya terjadi beberapa kali, tidak usah khawatir, kami selalu bertanggung jawab penuh,” ucap gadis itu setelah pekerjaannya selesai dan berjalan hendak keluar.       

Mia melirik hidangan sarapan di depannya. Dia bahkan terkejut saat melihat ada dua butir Advil dan segelas air putih diantara makanan lainnya, seolah motel itu tahu bahwa malam tadi dia mabuk.

“Oh.” Mia baru menyadari bahwa tadi malam dia ke klub malam dan tanpa sadar … mabuk? Dia merasa tidak minum banyak. Hanya segelas, itu juga tidak habis. Ingatannya tentang tadi malam juga kabur, dia tidak bisa mengingat dengan jelas berbicara dengan seorang pria. Dia benar-benar lupa, bahkan dia tidak ingat bagaimana caranya bisa kembali ke motel lagi.    

“Baiklah Mia, sekarang kau tahu bahwa minuman keras bukan untukmu,” bisiknya pada diri sendiri.

***

Mia mengunjungi Denver Park entah sudah keberapa kalinya. Dia merasa pencariannya mulai sia-sia. Entah apa yang dipikirkan pak tua itu saat memberinya misi mustahil. Bahkan bebek-bebek di hadapannya memandang kasihan padanya, dia yakin itu. Lihat saja, bebek-bebek itu sudah tidak lagi mau menerima remahan roti darinya.

“Apa kalian pikir ini lucu? Jika disuruh memilih, aku juga tidak suka ke Denver,” sungutnya. “ya tuhan, sekarang aku kehilangan kewarasan berbicara dengan bebek-bebek ini.”

Mia berdiri tiba-tiba yang menyebabkan semua bebek-bebek di sana berterbangan ke segala arah, bahkan menyerangnya hingga Mia merasakan beberapa bulu bebek-bebek itu berada di mulutnya.

Arrggg! Dia menggeram kesal dan meninggalkan tempat itu.           

Pandangannya tertuju pada seorang pria yang duduk di salah satu bangku taman, tampak fokus membaca koran, tetapi wajahnya seakan menahan tawa.         

Great! Sekarang aku menjadi lelucon di tempat ini.  

Mia berpura-pura tidak terjadi apa-apa tadi dan berjalan melewati pria itu, namun langkahnya terhenti saat dia melihat headline pada Koran yang dibaca pria tersebut. Dengan tidak sopannya dia menarik Koran itu dari si pemilik, dan menghiraukan hardikan terkejut pria itu, karena fokusnya hanya pada tulisan bercetak tebal dengan huruf balok di Koran yang  berjudul “JAXON BRADWOOD DAN RED CAGE CLUB MENGADAKAN FRIDAY PARTY DI KASTIL AURELIA, TIDAK ADA YANG DIUNDANG DALAM PESTA INI. HANYA PESTA BIASA!” Mia menatap Koran itu lekat-lekat, tidak percaya dengan nama yang tertera di Koran itu. Ternyata Jaxon Bradwood benar-benar ada, bukan nama samaran, masih hidup dan akan mengadakan pesta tanpa undangan?            

Lucunya, tidak ada artikel di bawah judul tersebut hanya alamat dan jam pesta dimulai dengan tulisan sangat kecil nyaris tidak terbaca, tapi judul kalimat itu sengaja tercetak tebal untuk menarik perhatian orang.   

Mia membaca beberapa kali Koran tersebut untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang tercetak di situ benar-benar apa yang dia baca. Siapa yang membuat judul seperti ini?    

Tetapi dia tidak peduli, karena akhirnya misinya akan berakhir. Dia akan datang ke lokasi itu dan tidak peduli bagaimana caranya, dia harus menyelesaikan semua ini dan kembali ke Blueberry Hill secepatnya.

Mia melirik pemilik Koran itu, dengan senyum malu dia mengembalikan Koran tersebut.  

“Maaf, aku hanya ingin melihat sesuatu,” kata Mia dengan malu dan tulus.

Pria itu hanya menggerutu dan mengangguk sekali. Benar-benar sopan, batin Mia.

“Apa kau mengenal Jaxon Bradwood?” tanya Mia sembari menunjuk judul pada Koran tersebut.

Pria itu berdehem, lalu menggeleng dan kembali membaca korannya. Percakapan selesai.

Mia mencari tahu tentang Kastil Aurelia, tetapi tidak ada satu informasi yang bisa dia dapatkan di internet. Bahkan peta hanya menunjukkan hamparan hutan hijau di alamat tersebut, membuatnya tidak yakin sebuah kastil berdiri di sana. Sekali lagi Mia melirik jam di ponselnya. Pesta itu akan berlangsung kurang dari dua jam lagi, tetapi dia masih tidak menemukan ide bagaimana cara masuk ke tempat itu.

Map kuning yang menjadi misinya tersimpan rapi di dalam ransel, dia meraih ransel itu dan mengabaikan penampilannya. Tujuannya ke tempat itu hanya untuk menyerahkan amplop, bukan berpesta. Benaknya.

Setelah mengendarai truk tuanya beberapa puluh menit kemudian, Mia sampai di depan gerbang hitam berukuran raksasa. Dia bahkan tidak bisa melihat apa yang ada di balik gerbang tersebut. Ada beberapa pria berjas hitam menjaga pintu gerbang, dan salah satunya menggenggam senjata laras panjang.      

Mia terkesiap melihat hal tersebut, bimbang untuk melanjutkan misi bodoh itu dengan pria-pria bersenjata di hadapannya.   

Tanpa sadar dia meremas setir mobilnya kuat hingga jemarinya memutih, keringat dingin membanjiri punggungnya. Pemandangan di depannya seakan membangkitkan ingatan lama yang sudah dia kubur.

“Miss, tempat ini area terlarang, sebaiknya kau putar balik ke arah kau datang tadi.”

Mia terlonjak kaget mendengar suara salah seorang dari pria berjas itu yang kini berdiri di dekat truk tuanya. Mia mencoba tersenyum, walau dia tahu senyumnya tidak setulus yang dia harapkan.

Dari ekspresi pria berjas hitam itu, Mia tahu tebakannya benar.

“Aku salah satu tamu undangan Jaxon Bradwood,” katanya dengan wajah polos dan ekspresi sok manis yang meluluhkan hati siapa saja. Dulu, ekspresi yang dia pakai ini selalu berhasil. Dari reaksi si pria berjas hitam itu Mia yakin dia masih belum kehilangan bakat aktingnya.

“Sebentar Miss, aku butuh untuk mengkonfirmasi beberapa hal,” ucap pria itu sebelum menghilang ke belakang truknya. Mia tidak tahu apa yang pria itu lakukan.

Kurang dari lima menit, pria itu datang kembali dengan ponsel di kupingnya.

“Maaf Miss, siapa namamu?”

Mia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan yang selalu menggambarkan suasana hatinya yang tidak nyaman atau ketika dia sedang berpikir dan mengambil keputusan.

“Mia Heart, namaku Mia,” jawabnya jujur.

Pria itu mengulang namanya pada siapapun di seberang sambungan. Wajah pria itu fokus pada wajah Mia selagi mendengarkan teman bicaranya, membuat Mia gelisah.

Tidak lama kemudian, pria itu menggangguk dan mengantongi ponselnya.

“Silahkan masuk Miss Heart, Mr. Snow menunggu kedatangan anda di Lobi,” kata pria itu sembari menekan sensor yang membuka gerbang besar di hadapan mereka.

Mia menatap pria berjas hitam itu tidak percaya, rasanya hal ini terlalu mudah. Matanya kembali tertuju pada senjata laras panjang yang disandang pria satunya. Walau jarak mereka jauh, tetapi pikiran buruk berkeliaran di kepalanya.

Dia tidak mau mati muda dan masuk perangkap buaya saat dia baru saja keluar dari kandang singa.         

Dengan helaan napas, Mia memutuskan untuk membiarkan instingnya bekerja. Setidaknya dia sudah satu langkah untuk menyelesaikan misi bodoh ini.

Dia tersenyum samar pada pria yang memberikannya jalan dan menyetir truk tuanya ke dalam kandang buaya. Berharap di ujung jalan ini tidak menemukan satu buayapun.

***

“Apa ini?!” bentak Jaxon pada Gavin yang tampak bosan memperhatikan kutikula jari-jari di tangan kirinya.

“Oh, aku lupa soal itu,” jawab Gavin polos.

Jaxon hendak melompati meja yang memisahkan keduanya, namun tubuhnya langsung diseret oleh tiga temannya menjauhi meja itu.

Gavin yang menerima kemurkaan Jaxon hanya mengangkat bahu dan menyembunyikan diri di balik tubuh Rey.

Danny Johanson tertawa geli ketika ia membaca Koran yang masih terbentang di atas meja, bahkan Nicko Anderson yang sedang memegangi tubuh Jaxon juga tidak bisa menahan tawa, menambah bara amarah Jaxon semakin berapi-api. Gideon Rose dan Connor Black terpaksa menyeret sahabatnya itu hingga ke sudut ruangan.

Rey menatap tajam pada Gavin yang hanya dibalas wajah tak berdosa. Dia menengadahkan wajahnya, berdoa dirinya menghilang dari tempat itu. Keributan yang Gavin ciptakan membuatnya hilang kesabaran. Dia bahkan memikirkan cara terbaik untuk menyembunyikan tubuh―mayat―Gavin di salah satu gudang tuanya, atau mungkin instalasi pembakar sampah rumah sakit milik dokter Timothy juga cukup.

Rey menggelengkan kepalanya, berpikir terlalu banyak kekacaun bila sahabatnya itu mati. Terlebih lagi siapa yang akan mengurus Blacky―ular peliharaan Gavin. Dia benar-benar menyayangi ular narsis itu, jadi untuk saat ini membunuh Gavin bukan pilihan baik.

“Boleh aku tahu alasan kau membayar Koran Pagi untuk membuat headline konyol ini, Gavin?” tanya Rey sembari mengambil Koran itu dari atas meja dan menghayati makna tulisan cetak tebal yang menjadi Headline pagi itu.

           

Dia memperhatikan ruangan pertemuan mereka yang bebas dari kesan ‘pesta’ dan menghitung dalam hati bahwa jelas sekali tidak ada undangan yang menghadiri ruangan itu, kecuali mereka bertujuh, anggota reguler atau mungkin tuan rumah?

“Aku tidak memiliki maksud apa-apa, memangnya kita tidak boleh mengumumkan pada penduduk Denver kalau di sini ada pesta?” jelas Gavin yang membuat Jaxon semakin mendidih.

“Kau tidak ingat, atau mungkin amnesia, Gavin, kalau ini kastilku?” geramnya.

Gavin dan wajah polosnya seakan terkejut, “Oh, tentu saja bagaimana aku lupa, Jaxon. Apa kau ingat beberapa bulan lalu, kau mengundang seluruh penduduk Denver ke mansionku?”

“Hey! Hari itu adalah ulang tahunmu! Aku hanya ingin memberikan kejutan!”

“Ulang tahun yang kau lupakan sudah lewat lima bulan sebelum acara kejutanmu? Hah! Siapa yang membuat kejutan lima bulan setelah lewat tanggalnya?”

Semua mata tertuju pada Jaxon yang memiliki julukan dengan slogan andalannya, Mister Not Late Yet. Dia selalu mengatakan tidak ada kata terlambat setiap kali dia lupa.

“Apa ini balas dendam Gavin? Karena sepertinya kau mengakui dendammu dengan penjelasan barusan.”

“Apa kau sedang menuduhku Jaxon, karena aku tidak sedang menggiring opinimu.”

Jaxon nyaris menerjang Gavin, jika saja Gideon tidak mengunci kedua lengannya di tubuh sahabatnya, walau pada akhirnya dia ikut terseret setengah jalan. Untungnya Connor membantu memperlambat gerakan Jaxon.

“Lepaskan aku Connor! Aku janji akan menyisakan sebelah wajahnya tetap utuh!” yang artinya sebelah lagi pasti hancur.

Tanpa sadar Gavin menyentuh kedua pipinya seolah itu bisa menghindari murkanya Jaxon.

Rey memutar bola matanya, dan melemparkan Koran di tangannya ke meja.

Mereka menunggu sampai amarah Jaxon mereda sebelum melepaskannya, namun tidak melepaskan pengawasan, karena bisa saja Jaxon menerjang tiba-tiba dan membuldozer Gavin ketika mereka lengah.

Sayang sekali bila wajah Gavin yang tampan harus direkonstruksi ulang oleh tangan Jaxon yang pastinya tidak lembut sama sekali. Akan banyak wanita patah hati di Denver yang menangis sehari tujuh malam dan membanjiri hingga menenggelamkan kota ini.

Danny mengulum senyum dan menonton pertunjukan di hadapannya dengan rasa geli. Sudah lama sekali mereka jarang berkumpul seperti ini. Tadinya dia bertanya-tanya mengapa Gavin mengundang dirinya dan yang lain ke Kastil Aurelia, tempat keramat bagi Jaxon.

Dia tertawa kecil mengingat wajah Jaxon saat membukakan pintu untuk mereka berenam.

“Apa kau sedang menarik perhatian seseorang, Gavin, jelas sekali kau sedang membuat pengumuman di sini.” Gideon menatap Koran itu dengan kening berkerut.

Jaxon yang amarahnya reda, kembali duduk di sofanya semula, walau matanya masih tajam menguliti Gavin yang duduk jauh di seberang. Jika saja Rey tidak menutup jalannya menuju Gavin, dapat dipastikan nama Gavin Caleston tinggal ukiran nisan.

“Tidak ada maksud apa-apa, sungguh!” bela Gavin yang mendapat tatapan meragukan dari enam pasang mata. “Nick, bagaimana kabar proyek barumu?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Nicko mengangkat sebelah alisnya mendengar pertanyaan itu, dia benci saat Gavin bermain kotor untuk mengalihkan perhatian kepada dirinya. Sekarang keenam pasang mata itu berpindah fokus.

Dia mengulur waktu semanis mungkin. Menikmati segelas Americano di saat yang lainnya menyesap wiski atau minuman keras lainnya.

“Aku masih harus menyelesaikan beberapa layout arsitektur bangunan yang akan dibangun, timku masih belum memfinalis bangunan apa saja yang kami butuhkan saat ini,” ujarnya menjelaskan proyek pembangunan taman bermain di dekat Blueberry Hill.

“Kau membutuhkan konsep baru? Aku bisa mendiskusikannya dengan timku,” kata Danny menawarkan.

“Nah, aku dan timku masih memakai konsep yang lama. Terima kasih Dan.”

“Lalu, bagaimana denganmu Rey?” tanya Gavin tanpa dosa pada Rey, sengaja menghindar bila ada pertanyaan baru yang dialamatkan padanya.

Nice turn, dude,” desis Rey sembari menepuk pelan kepala Gavin.

Ouch!” ringis Gavin dramatis.

           

“Ya Rey, bagaimana denganmu?” tanya Jaxon sembari menyeringai. Balas dendam karena Rey tadi melindungi Gavin.

Rey menghela napas berat, dan berdoa kesabarannya tetap memaku bokongnya di kursi yang dia duduki.

“Tidak ada yang berubah, dan tidak ada yang perlu dibicarakan,” ucapnya sembari menengguk minuman yang tidak disentuhnya sejak tadi.

Gideon dan Nicko saling tatap dan keduanya menggelengkan kepala. Setiap kali ada pertemuan seperti ini, hanya Rey yang paling sulit diajak bicara. Butuh dorongan kuat untuk membuat kepala batunya mencair dan membuatnya bicara. Bahkan bibirnya akan terus terkunci rapat sedari awal dimulai hingga bubar bila tidak ada yang memaksanya.

“Apa ada masalah yang ingin kau bicarakan?” tanya Jaxon sembari menepuk punggung Rey yang dibalas gelengan kepala.

“Sebaiknya kau menghawatirkan dia, Jaxon,” ujar Nicko sembari menunjuk Gideon yang sejak tadi gelisah memeriksa ponselnya setiap beberapa detik.

Keenam pasang mata kini mengawasi Gideon yang memiliki raut wajah gelap.

“Oh ayolah, apa aku tidak boleh menghawatirkan pekerjaan yang kutinggalkan?” tanya Gideon kesal.

“Kalista bilang hari ini kau tidak ada pekerjaan,” celetuk Gavin yang menyelesaikan pekerjaan rumahnya sebelum mengundang mereka ke Kastil Aurelia.

Kali ini, Nicko dan Jaxon yang bersiap siaga sebelum Gideon melompati meja.

“Gavin!” geram Rey, Jaxon, Nicko, Danny, dan Connor bersamaan.

“Ingatkan aku mengapa dia masuk ke lingkaran ini.” tunjuk Gideon sengit pada Gavin.

Red Cage adalah jaringan yang sengaja mereka bangun untuk membuat mereka kuat dan tidak diremehkan di antara mafia, cartel, kingpin, club motor, hingga pemerintah atau politisi dan pebisnis lainnya.

Anggota asli Red Cage ada sepuluh orang, saat ini hanya tujuh yang aktif sedangkan tiga lagi sedang sibuk dengan urusan pribadi sehingga jarang mengikuti pertemuan, tetapi mereka selalu mengadakan pertemuan dengan anggota lengkap setidaknya sekali setahun.

“Hey Gee, apa aku boleh berkencan dengan Kalista?” tanya Gavin yang membuat Gideon habis kesabaran. Jaxon terpaksa menahan bahu Gideon dan menguncinya di sofa.

“Jangan panggil aku dengan panggilan itu! Demi tuhan, Gavin, kalau kau tidak juga mengunci bibir talam-mu itu, aku pastikan tujuh bagian tubuhmu tersebar di teluk California! Dan menjauh dari Kalista! For God Sake, gadis itu bahkan baru merayakan usianya yang ke delapan belas!”

“Bagus sekali, aku menunggu usianya legal, terima kasih kabar baiknya, Gee.”

Nyaris saja kepalan tangan Gideon menyentuh wajah Gavin andai saja Rey tidak menarik kerah baju Gavin dan memindahkannya ke lantai, jauh dari sofa.

Connor merekam kejadian barusan dengan ponselnya dan mengirimkan video itu ke grup mereka untuk jadi bahan lelucon nantinya.

“Connor!” bentak Gideon mengalihkan perhatiannya, namun Jaxon bergerak cepat dan menenangkan temannya, tetapi kedua sahabatnya tetap saja berakhir di atas lantai. Connor membalas pukulan Gideon sembari menguncinya di lantai. Jaxon bahkan berpikir keras bagaimana cepatnya keadaan berbalik saat ini.

“Hey, Gavin. Kalista bukan topik diskusi yang baik, buddy,” dengus Rey.

Gavin memajukan tubuhnya dan berbisik di telinga Rey, “Kau pikir aku tidak tahu? Hanya dengan mengusik nama gadis itu, dia langsung kehilangan kepala. Saat ini dia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari ponsel itu.”

Terkadang Rey tidak mengerti mengapa mereka bisa memahami isi pikiran masing-masing, karena memang inilah yang Gideon butuhkan. Melepaskan energi berlebih dengan perkelahian antar mereka.

Suara gelas Kristal yang mencium lantai menarik perhatian semuanya, pandangan mereka tertuju pada pendatang baru di ruangan. Seorang gadis berambut madu dengan wajah rupawan seperti malaikat berdiri mematung di pintu.

Gadis itu memandang sekitar dengan raut wajah bersalah telah memecahkan vas bunga tanpa sengaja ke lantai.  

Gideon menarik Connor yang kehabisan tenaga di lantai, sedangkan Jaxon yang tadinya berdiri di antara mereka entah bagaimana kini berdiri di hadapan gadis itu.

“Ehem …,” dehem gadis berambut madu tersebut berusaha bersuara. “Perkenalkan, namaku Mia Heart, aku kesini mencari Jaxon Bradwood.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ria Fella
asiiiikkkk... di hadapanmu itu loh mbaaaak, orangnya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status