Share

BAB 4

Keheningan menyelimuti ruangan itu. Mia berdiri gelisah mendapat tatapan menyelidik dari tujuh pasang mata. Dia merasa seperti benda antik dalam museum yang sedang diobservasi. Tidak satupun dari pria-pria tampan dalam ruangan itu bergerak dan membalas sapaannya, kecuali satu orang, pria berambut pirang dan berwajah imut yang berdiri di dekat sofa.

Pria itu tersenyum padanya, namun seolah menahan geli. Mia bahkan tidak mengerti dimana letak lucunya.

“Namaku, Mia He―.”

“Kami sudah mendengar namamu barusan, tidak perlu memperkenalkan diri.”

Mia menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan tajam. Dia mengabaikan ketampanan pria itu karena sikap kasarnya, tapi aroma manis kayu dan sandalwood menyapa penciumannya, mengingatkan Mia akan sesuatu.       

Sadar sepenuhnya, Mia mendekati pria itu dan menarik keras jas hitamnya hingga tubuh pria itu condong ke depan. Dia mengabaikan tatapan marah ataupun suara tarikan napasnya yang tajam. Tanpa malu Mia mengendus aroma di jas pria itu, lebih tepatnya dia mencium pada bagian dada pria tampan namun kasar tersebut.        

Benar saja, ini aroma yang sama seperti jas di motelnya.

Mata Mia mengamati tubuh pria itu, dari inspeksinya dapat disimpulkan bahwa dia pria tampan yang wangi, dengan dada bidang, berotot karena olahraga, tubuh ramping yang fit, tinggi sekitar seratus delapan puluh lima lebih, berambut hitam pekat bagai tinta dengan mata hitam pekat yang memikat. 

Suara deheman dari seberang ruangan menyadarkan Mia bahwa dia sedang adu mata dengan pria itu.     

“Puas dengan observasimu, Miss Heart?” tanya pria tersebut dengan wajah datar, namun sekilas sebuah senyum samar menyentuh bibir sensualnya.

“Hay, perkenalkan aku Gavin Caleston.” Pria berambut pirang yang tadi tersenyum padanya mendekat. Dia hendak menyambut uluran tangan itu, saat tiba-tiba si pria kasar menariknya dalam pelukan dan mengangkatnya ke udara, lalu berjalan keluar ruangan.

***

Gavin mengedikkan bahu saat mereka ditinggalkan oleh Jaxon dan Mia. Dia melirik kelima temannya yang tersisa di ruangan, dan benar saja, tatapan tajam menantinya sejak tadi.

“Aku tidak suka bermain petak umpet,” jelas Gavin sembari berjalan ke sofa.

“Itu urusan Jaxon, Gavin. Kau tidak perlu mencampuri keputusannya,” jelas Rey.

“Apa kalian akan terus diam jika ada gadis secantik itu berkeliaran di jalanan dan menjadi target?”

Pertanyaan Gavin barusan dijawab dengan keheningan.

“Jaxon tidak bodoh dengan membiarkan gadis itu berkeliaran sendirian. Ada banyak mata yang mengawasinya,” jelas Rey yang mendapat kedikan bahu dari Gavin.

“Selain itu, aku sangat pensaran dengan alasan mengapa gadis itu datang jauh-jauh dari Michigan ke Colorado,” jelas Gavin yang mendapat anggukan dari Connor. Keduanya memiliki rasa penasaran yang tinggi.

“Apa gadis itu bukan mata-mata?” Dari mereka semua hanya Gideon yang memiliki rasa curiga paling tinggi.

“Tidak ada mata-mata berprilaku seperti itu Gee,” kata Gavin yang menatap Gideon dengan tatapan horror.

“Hey, aku hanya membayangkan alasan yang masuk akal. Lagi pula, tidak mungkin wanita waras datang jauh-jauh hanya untuk berhubungan seks dengan Jaxon.”

Kini, giliran Rey yang menatap Gideon horror.

“Kuharap kepribadian kalian tidak sedang tertukar,” desis Rey pada Gavin dan Gideon yang masih berdiskusi sengit mengenai alasan kedatangan Mia ke Denver.

“Lalu, bagaimana menurutmu?” Semua mata tertuju pada Rey atas pertanyaan Gideon barusan.

Rey menghela napas panjang. Sesungguhnya dia tidak suka mendiskusikan sesuatu tidak berguna.

“Lebih baik kita tunggu Jaxon selesai menginterogasi gadis itu.” Rey berdiri dan mendekati meja bar. Kali ini dia butuh meminum sesuatu. “Nikmati saja pestanya, boys,” dengusnya setengah bergurau akan headline Koran pagi itu. Dan untuk melepas kekesalannya, dia kembali melempar ucapan pedas pada Gavin.

“Lain kali, belajarlah cara menulis yang baik, Gavin. Jangan membuat Red Cage malu dengan redaksi judul headline pagi ini.” Rey menggelengkan kepala sembari tidak percaya seorang billionaire buta literasi.

Lima pria di ruangan itu mendekati meja bar, kecuali Gavin yang tampak sibuk bermain Candy Crush di sofa. Rey yang berada paling dekat dengan tong sampah, melempar Koran tersebut ke dalamnya. Setidaknya mereka sudah mengetahui siapa sasaran pembaca Koran pagi ini.

***

Tatapan Jaxon tidak lepas dari kaki Mia yang sejak tadi berpindah tumpuan dari kiri ke kanan dan sebaliknya. Gadis itu terlihat tidak nyaman berdiri di tengah ruangan kantornya, sedangkan dia duduk di kursi kebesarannya seolah juri yang menyidang gadis di hadapannya.

Entah sudah berapa kali Jaxon menarik napas, rasanya ruangan itu semakin sempit ditempati mereka berdua.       

“Bagaimana caramu masuk ke sini?” tanyanya memecah kesunyian.

“Tiga penjaga di gerbang yang memberiku jalan,” jawabnya.

Wajah gadis itu terlihat kesal, dan Jaxon sadar alasannya. Dia mencoba bersikap lembut, namun kemarahannya terhadap Gavin membuatnya hilang kontrol. Dia tidak percaya Gavin melakukan ini padanya hanya karena dia tidak mau melakukan apa-apa pada gadis di depannya.

Mereka kembali tenggelam dalam keheningan.

“Apa yang membawamu ke sini, Miss Heart?” tanya Jaxon dengan nada sedikit kasar, bahkan dia mengernyit mendengar caranya berbicara.

Mia menatap laki-laki di hadapannya dengan kesal, kalau bukan karena misi bodoh ini dia tidak mau berada dalam ruangan berdua dengan Jaxon Bradwood. Pria itu terlalu sempurna untuk iblis yang ada di jiwanya. Bahkan caranya menatap, membuat Mia ingin mencungkil kedua manik mata indah itu dan mengawetkannya untuk koleksi pribadi, tapi tidak, terima kasih.          

“Aku ingin menyerahkan sesuatu untukmu, Mr. Bradwood,” ujarnya sembari merogoh ransel butut yang selalu dia bawa. 

Sebuah amplop kuning berpindah ke meja Jaxon, tetapi pria itu hanya menatap amplop tersebut dengan wajah tidak terbaca, tetapi jelas sekali ada gumpalan emosi berkejaran di wajahnya yang tidak bisa Mia terjemahkan.

Setelah lebih dari sepuluh menit keheningan yang menyakitkan telinga, akhirnya Jaxon bersuara.

“Kau mencariku … hanya untuk … ini?” tanyanya dengan nada tidak percaya.

Mia semakin mengerutkan keningnya saat Jaxon menanyakan hal yang sama dengan ekspresi sama sebanyak tiga kali.

“Iya, Mr. Bradwood,” jawabnya lebih dari tiga kali. Rasanya percakapan itu seperti kaset rusak yang diulang-ulang.

Hingga akhirnya, hal tak terduga terjadi. Jaxon Bradwood tertawa. Keras. Sembari memukul mejanya hingga dia kesakitan menahan perutnya.

Mia memperhatikan hal itu dengan mulut ternganga dan wajah bingung tidak mengerti.

Setelah stok tawanya habis, Jaxon mengontrol dirinya lagi, walau terkadang dia harus mengulang sikluas yang sama hingga nyaris menghabiskan pasokan oksigen di paru-parunya yang malang.

“Kau tidak sedang mempermainkanku, Mia?” tanya Jaxon, kali ini jejak tawa telah hilang dari wajahnya dan berganti dengan Jaxon Bradwood yang serius dan sedikit menakutkan. Bahkan caranya memanggil namanya menunjukkan seolah dia tidak butuh bersopan-sopan.

Mia menelan salivanya, dan menjawab dengan hati-hati.

“Seorang pria tua memintaku untuk mengantarkan amplop ini padamu, dia tidak memberikan alamat yang jelas dan hanya menginstruksikan untuk memberikan amplop ini langsung.” Selagi Mia berbicara, Jaxon membuka amplop itu dan membaca isinya. “Aku bahkan tidak tahu apa isi dalam amplop tersebut, karena dia melarangku untuk membuka segelnya. Dia bilang jika aku membukanya, maka kau akan tahu.”

Mia menunggu dengan was-was ketika Jaxon fokus membaca isi amplop tersebut, bahkan pria itu seakan lupa dirinya ada di ruangan tersebut.

“Kau bilang, dia seorang pria tua?” tanya Jaxon sembari membaca dokumen di dalamnya satu per satu. “Sebutkan ciri-cirinya,” ucapnya, kali ini dengan nada pelan.

Membuat Mia bingung sesaat, kemudian dia mencoba mengingat kembali wajah pria tua itu.        

“Dia berambut putih dengan kepala botak di depan, bertubuh tinggi kurus, menggunakan baju lusuh, seolah dia tinggal di jalanan, tetapi pembawaannya menunjukkan dia seorang veteran militer.”          

Jaxon menyimpan dokumen-dokumen itu di laci kerjanya dan ketika matanya kembali pada Mia, ada sesuatu yang berubah, seolah dia menatap Mia dengan pandangan yang baru. Jaxon melihat Mia dengan tatapan lembut yang tanpa sadar memunculkan rona merah di wajah porselin gadis itu.

“Apa dia memiliki tato laba-laba di lengan atau telapak tangannya?”

Jaxon berdiri dan berjalan mendekati Mia hingga mereka sejajar. Matanya mencari-cari sesuatu di wajah Mia, tanpa sadar membuat gadis itu menundukkan kepala, menghindari tatapan menusuk jiwa dari pria di hadapannya.        

“Dia memiliki tato laba-laba seukuran jempol di punggung tangannya,” jawab Mia halus sembari menunjukkan jempol kanannya. Entah mengapa pria itu membuatnya gugup.        

“Terima kasih, sekarang tunggulah di pavilion. Masih ada yang harus kubicarakan denganmu.”

Mia kembali menatap mata Jaxon dan hendak membantah perintahnya.

“Tugasku sudah selesai Mr. Bradwood. Hari ini aku harus kembali pulang.”

Jaxon menundukkan tubuhnya ke arah Mia hingga tiada batasan antara keduanya yang membuat Mia mundur dua langkah.

“Jangan mendebatku Miss Heart, kau tidak akan kemana-mana, urusan kita belum selesai.”          

Mia hendak berargumen, tetapi dua pria yang baru saja masuk ke ruangan membuatnya diam dan kali ini Mia tidak menyembunyikan emosinya. Dia melemparkan tatapan mematikan ke arah Jaxon sebelum meninggalkan ruangan itu.

Mendapat tatapan menantang tersebut membuat Jaxon tersenyum seketika, dia tidak mengira gadis itu berani menatap matanya langsung dengan wajah penuh amarah.

***

Ruangan pertemuan itu hening begitu Jaxon memasukinya. Dokumen dari amplop kuning yang tadinya berada di tangan Jaxon kini dirotasi oleh ketujuh pria di sana. Kesemuanya menatap dokumen itu dengan pandangan tidak percaya.

“Apa yang akan kau lakukan Jax?” tanya Nicko, memecah keheningan.

Lama Jaxon termenung sembari memegangi dua foto di hadapannya. Dia menarik napasnya dalam, melepaskan beban di dadanya.

“Menjaganya, tidak ada pilihan lain.” Dia mengalihkan tatapan ke arah Nicko. “Aku tahu kau sangat dekat dengan Cinzia saat masih anak-anak, setidaknya dokumen ini menjawab pertanyaanmu selama ini.”

Nicko mengambil satu foto yang Jaxon pegang dan mengusap permukaannya dengan lembut.      

“Jika diperhatikan baik-baik, ketiganya sangat mirip sekali. Foto ini tidak banyak membantu ingatanku yang samar-samar, rasanya sudah lama sekali.” Dia mengalihkan tatapan ke arah Jaxon, “Apa kau ingin aku mencari gadis ini?” Nicko mengayunkan selembar foto ke udara.

“Ya, lakukan yang terbaik Nick. Kau tahu kita dikejar oleh waktu. Saat ini yang berburu tidak hanya kita.” Keduanya saling tatap, dan mengangguk setuju.

Connor menggeleng tidak percaya dengan apa yang dia baca. Satu siulan panjang, dia membalik akta lahir di tangannya. “Kembar,” katanya masih tidak percaya.

“Baiklah, lalu bagaimana rencananya?” tanya Gideon sembari memasukkan satu per satu dokumen itu kembali ke amplop kuning.

“Pria yang memberi amplop ini bernama Dell Rosie, dia ditemukan mati dengan dua peluru bersarang di kepala dan jantungnnya, tepat sehari setelah Mia Heart meninggalkan Blueberry Hill.”

Gavin membaca laporan dari ponselnya dengan suara monoton pembawa berita, yang membuat pendengarnya memutarkan bola mata. “Dari informasi yang akurat, dia salah satu orang kepercayaan Gioluca, tetapi masih belum jelas mengapa dia mengetahui informasi tentang Mia, menurut dugaan, dia salah satu orang yang mengetahui keberadaan Mia Heart selama ini. Dan anehnya, dia sangat mempercayai pria brengsek seperti Jaxon Bradwood untuk menjaga gadis polos seperti Mia Heart.”

Jaxon mengabaikan sindiran Gavin dan memfokuskan energinya pada masalah di hadapannya.

“Gioluca sudah lama tidak muncul ke publik, kau tahu sesuatu tentang ini Nick?”

“Kesehatannya memburuk, mengharuskannya berada di kursi roda. Dia sudah tua, Jax.”

“Rasanya sudah lama sekali anggota Famiglia yang lain tidak bertemu dengannya,” jelas Rey menambahkan.

Nicko mengangguk membenarkan. Memang sangat aneh, karena Gioluca yang merupakan seorang God Father tidak muncul ke publik dua tahun belakangan ini. Tetapi tidak ada satu pun Famiglia yang menanyakan keberadaannya.

“Kudengar saat ini Fabiana dan Romero-lah yang memegang tampuk kekuasan.”

Ketujuh pria itu saling berpandangan dan mencocokkan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar di benak masing-masing. Tubuh ketujuhnya menegang dan pandangan mereka menajam saat menyadari sesuatu yang besar akan segera terjadi. Dengan informasi yang baru mereka dapatkan, seolah puzzle yang selama ini menjadi mistery terselesaikan dengan sempurna.

“Katakan apa yang kupikirkan ini tidak benar,” erang Gavin sembari menyisir rambut pirangnya.

Rey menepuk bahu Gavin dan mengangguk membenarkan.

“Kau tidak sendiri Gavin, tidak ada yang percaya bahwa Famiglia berada dalam ancaman serius.”

Jaxon menatap Nicko dengan wajah simpaty. Diantara mereka semua, Nicko-lah yang paling berpengaruh masa depannya jika terjadi perpecahan di tubuh Famiglia.

“Kami berada di sisimu Nick,” ucap Danny memberi dukungan.

“Kita tidak bisa lengah, Jax,” kesemuanya sepakat bahwa apa yang Mia bawa jauh lebih serius dari yang mereka kira.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Melisa
Ini cerita kereeeen
goodnovel comment avatar
Ria Fella
mulai tegang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status