Share

BAB 5

Tidak bisa dipercaya. Batin Mia saat dia dikurung di sebuah ruangan, bahkan ada dua pria bersenjata yang kini berjaga di balik pintu. Rasa marah membuatnya tidak bisa duduk berdiam diri. Lama dia menunggu di ruangan, tapi hingga makan malam diantar, pria yang dia tunggu tidak kunjung menemuinya.

“Aku tidak butuh makanan-makanan ini. Bawa semuanya kembali, dan biarkan aku keluar!” serunya kesal pada pemuda yang mengantar troli penuh makanan.

Pemuda itu terlihat tenang, seakan tidak ada siapapun yang berbicara di ruangan itu.

Merasa diabaikan, Mia mulai berteriak dan tidak menyentuh makanan yang dihidangkan.

“Setidaknya beritahu aku dimana Jaxon Bradwood. Aku tidak mau berada di tempat ini, dan aku butuh untuk berbicara dengannya!” Kali ini Mia menahan lengan pemuda itu saat dia hendak keluar.

Pemuda tersebut melepaskan genggaman Mia tanpa berkata apa-apa dan meninggalkannya terkunci di sana. Setidaknya satu jam kemudian pria yang dia tunggu mendatanginya. Mia menunggu antisipasi ketika mendengar suara kunci dan sosoknya memenuhi pintu.

Awalnya mereka hanya diam saling tatap. Tatapan Jaxon penuh penilain. Matanya memandang Mia dengan tatapan intens yang tidak biasa, seolah Jaxon hendak memeta tubuhnya dari kepala hingga kaki. Mia yang merasa gelisah tanpa sadar bergerak mundur ke sudut ruangan.

“Aku ingin keluar dari sini,” ucap Mia setelah dia mengumpulkan keberanian dan menemukan suaranya kembali.

“Sayang sekali Miss Heart, aku tidak bisa membiarkanmu pergi,” ucap Jaxon dengan suara berat nan maskulin.

“Tetapi pria tua itu menjamin kebebasanku setelah misiku selesai!” serunya sedikit panik.

“Itu urusanmu dengannya, sedangkan urusanku denganmu belum selesai.”

Mia berjalan mundur saat Jaxon mendekat, tetapi langkahnya terhenti oleh dinding di balik punggungnya.

“Apa yang kau inginkan?” Mia menelan salivanya dan menghindari tatapan mata Jaxon.

Melihat ketakutan di mata gadis itu menghentikan langkah Jaxon.

“Saat pertama kali melihatku, tanpa malu kau mengendus aroma tubuhku, dimana gadis pemberani tadi, Mia?”

Mia melihat sekilas seringai Jaxon, untuk sesaat dia ingin memukul wajah mengesalkan penuh keangkuhan itu.

“Katakan apa yang kau inginkan dariku?”

Jaxon kembali memasang wajah datar tanpa emosi, dia tidak mengerti apa yang merubah sikap Mia yang pemberani tadi dengan sikapnya yang sekarang. Lama keduanya terdiam, hingga menciptakan keheningan di ruangan itu.

“Tinggallah di Denver,” ucap Jaxon akhirnya.

“Aku harus kembali pulang Mr. Bradwood!” tolak Mia tegas.

Jaxon bisa melihat kekeraskepalaan gadis itu.

“Aku sedang tidak berdiskusi denganmu, yang barusan adalah perintah.” Ucapan datar Jaxon membuat Mia terfokus padanya. Gadis itu menilai nada bicara dan raut wajahnya.

“Jika aku tidak mematuhimu, apa yang akan kau lakukan padaku?” tanya Mia dengan nada penasaran.

Bulu roma Mia bergidik mendapati seringain Jaxon yang kali ini jauh dari kata normal.

“Percayalah, kau tidak akan suka jawabanku,” bisiknya di telinga gadis itu sebelum berjalan menuju pintu.

Bulu roma Mia bergidik mendengar suaranya yang berat dan membuatnya  mematung di tempat sedang matanya terpaku pada punggung Jaxon yang perlahan menjauh.

“Apakah kau yang mengantarku, Ke motel malam itu?”

Langkah Jaxon terhenti, dia berbalik menatap Mia yang dengan keras kepala menatap Jaxon berani.

Jaxon memperhatikan Mia cukup lama. Keduanya seakan berbagi rahasia meski hanya Jaxon yang sadar sepenuhnya pada peristiwa di GC waktu itu. Tetapi dia cukup terkejut Mia mengingat malam itu.

“Bagaimana…?”

“Kau meninggalkan jasmu di motel, aromamu ….” Mia mengalihkan pandangan dan menundukkan wajahnya dalam, dia tidak kuasa beradu pandang dengan manik mata hitamnya yang intens. Semburat rona merah menjalar dari leher hingga ke pipi.

Jaxon menahan senyum mendapati kepolosan gadis di hadapannya. Dirinya terpukau dengan perubahan rona wajahnya yang indah ketika memerah.

Tanpa mempermalukan tamunya lebih jauh lagi, Jaxon memilih diam dan meninggalkannya. Terkadang sesuatu lebih baik untuk tidak dikatakan.

***

Setelah kepergian Jaxon, Mia memutuskan untuk berbaring. Dia mengulang kembali percakapan barusan. Meskipun tidak ingat sepenuhnya kejadian di GC, tetapi Mia yakin Jaxonlah yang berada di balik insiden sarapan pagi itu. Bahkan Jas hitam tersebut memiliki aroma yang sama dengan pemiliknya.

Kini, dia tidak tahu harus bagaimana, karena sepertinya Jaxon dengan sengaja tidak ingin ditemukan oleh dirinya. Mengingat perjuangannya selama beberapa minggu ini menyulut amarahnya. Mia yakin Jaxon Bradwood berada di balik kesulitannya mencari pria itu selama ini.

Jika saja bukan karena Headline aneh pagi ini, dia pasti masih berputar tanpa arah di Denver seperti orang bodoh.

Sekarang Mia harus mencari cara untuk keluar dari kastil dan kembali ke Blueberry Hill, melanjutkan kehidupannya yang membosankan. Setidaknya di Blueberry, dia adalah gadis mandiri yang bebas.

Melihat bagaimana penduduk Denver begitu melindungi Jaxon Bradwood, Mia sadar bahwa Jaxon bukanlah seseorang yang dia anggap sepele. Pria itu menguasai Denver dan melihat bagaimana Kastil Aurelia saat dia memasuki tempat ini, membuktikan pria itu memiliki kekayaan, kekuasaan, dan sesuatu yang lebih besar lagi.

Mia tidak bodoh, dan dia juga tidak buta. Jaxon Bradwood cukup ditakuti di Denver dan Mia sangat mengenal bagaimana kekuasaan bermain.

***

Dua hari berlalu setelah kedatangan Mia ke Kastil Aurelia, selama itu pula Jaxon tidak kembali ke sana. Dia lebih memilih menempati kamar pribadinya di gedung Klub Red Cage.

“Pagi,” sapanya pada Rey yang tengah menyeduh kopi dan hanya dibalas gerutuan.

Jaxon dan Rey terbiasa bangun lebih dulu dibanding yang lainnya, tetapi biasanya Rey lebih suka dibiarkan sendiri saat menikmati sarapan. Ritual yang tidak boleh diganggu bahkan Gavin yang tidak sensitif sangat mengerti hal itu.

Kedua pria tampan tersebut larut dalam keheningan sembari menikmati kopi di kursi masing-masing.

“Kau tidak kembali ke kastilmu?” tanya Rey yang tampaknya selesai dengan ritual paginya.

Jaxon memilih untuk tidak menjawab.

“Beberapa bawahanku mengatakan ada pergerakan aneh di bagian selatan Denver,” ucap Rey yang mendapat perhatian Jaxon sepenuhnya.

“Tidak ada apa-apa di selatan.” Jaxon menyingkirkan cangkir kopinya dan menatap Rey.

Tapi sepertinya Rey tidak setuju akan hal itu, karena dia belum selesai memberikan sebuah informasi.

“Beberapa hari yang lalu mereka melihat dua motor harley terparkir di depan rumah kosong. Awalnya mereka mengira itu milik orang lokal, tetapi salah satu pemilik motor itu keluar dan dia memakai seragam klub motor milik Predator.”

Postur tubuh Jaxon menjadi serius. Mereka berdua tahu bahwa Predator bukanlah Klub Motor kelas teri, dan tidak bisa dianggap remeh. Setiap Klub memiliki daerah kekuasan masing-masing dan mereka tidak bisa seenaknya masuk ke daerah orang lain tanpa izin lebih dulu jika tidak ingin menambah daftar musuh.

“Apa bawahanmu menginterogasi mereka?”

“Ya, mereka bilang hanya sedang lewat dan rumah kosong itu dulunya milik salah satu paman dari keduanya.”

Jaxon mengendus, menunjukkan ketidak percayaannya, begitu pula Rey yang menggelengkan kepala.

“Kita lihat saja beberapa hari kedepan, aku yakin mereka pasti akan kembali.” Jaxon berdiri dari kursi dan meninggalkan dapur itu.

Gavin yang datang dari arah sebaliknya menghentikan langkah Jaxon. Hatinya mengumpat ketika mendapati ekspresi Gavin yang menyebalkan.

“Ah, Jaxon. Aku tidak mengira bisa menemukanmu di sini,” ucapnya seraya menyeringai.

“Seingatku kamar yang saat ini kau tempati sudah lama beralih fungsi menjadi rumah bagi sarang laba-laba sejak kastil kecintaanmu selesai dibangun.”

Jaxon menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Gavin memang payah dalam berhiperbola.

“Apa kau kabur dari sana hanya karena seorang wanita polos menginvasi kastilmu, Jaxon?” Gavin menepuk bahu Jaxon dengan gestur pura-pura simpati. “Kau tidak seharusnya takut pada makhluk lembut itu, Jaxon, tapi aku bisa memahami perasaanmu karena memang sulit menahan diri dari godaan yang tuhan ciptakan sebagai kelemahan makhluk seperti kita.”

Jaxon menepis lengan Gavin yang mulai mencengkram bahunya. Hatinya benar-benar mengumpat kesal, terkadang Gavin senang mengatakan sesuatu yang penuh kode tanpa makna. Jaxon bahkan tidak pernah mengerti keseluruhan perkataan yang Gavin ucapkan.

“Rey, lebih baik kau mengamankan peliharaanmu sebelum aku habis kesabaran,” ucap Jaxon dengan tatapan siap membunuh.

Gavin mengangkat kedua tangannya ke udara dengan gestur meminta perdamaian dan memberikan Jaxon jalan.

Tubuh Jaxon menghilang dibalik pintu ruangan lainnya. Saat itulah tatapan tajam Rey mendarat ke Gavin yang memutuskan duduk di hadapannya.

“Sekarang bukan saat yang tepat untuk bercanda Gavin, ada banyak hal di kepala Jaxon saat ini.”

Dan seperti yang sudah-sudah, Gavin hanya mengangkat bahu seolah peringatan tersebut tidak ada artinya.

Rey menghela napas sembari memijit pelipisnya. Pikirannya juga penuh saat ini, ada banyak hal yang terjadi belakangan dan kedatangan Mia Heart hanya menambah masalah baru. Terkadang dia berpikir mengambil waktu untuk berlibur, karena dia benar-benar membutuhkannya akhir-akhir ini.

***

Empat hari. Umpat Mia sembari mondar-mandir di ruangannya yang terkunci. Dia tidak mengira bahwa Jaxon menjadikannya tahanan selama empat hari di kastil itu. Bahkan dia tidak pernah melihat Jaxon sejak empat hari yang lalu. Rasanya dia ingin menjerit frustrasi.

“Hey! Aku tahu ada seseorang di balik pintu ini. Jangan pura-pura tidak mendengarku! Aku butuh matahari, dan udara segar!” Entah sudah berapa kali dia menggedor pintu di hadapannya, namun tidak ada respon sama sekali. Dia benar-benar benci dengan perasaan tidak berdaya seperti ini.

Beberapa kali Mia menggedor pintu itu lagi hingga akhirnya dia merasa lelah lalu meninggalkan pintu itu dan berbaring di kasur. Begitulah posisinya saat Jaxon masuk ke ruangan itu beberapa jam setelahnya.

“Empat hari, Mr. Bradwood. Kau menjadikanku tawanan selama empat hari!” Perlahan Mia bangkit dan duduk berhadapan dengan Jaxon yang berdiri di sisi satunya.

“Aku tidak menawanmu Miss Heart, ini hanya perlakuan khusus yang jarang kuberikan pada tamuku.”

Mia hendak mengatakan sesuatu, namun Jaxon memberi isyarat diam dengan satu tangannya terangkat.

“Sebelum kau mengatakan sesuatu yang hanya akan membuatmu dalam masalah, lebih baik kau dengarkanku lebih dulu. Apa kau mengerti, Mia?”

Pandangan Jaxon menunjukkan bahwa dia sedang tidak main-main. Ada sesuatu dibalik manik matanya yang hitam pekat, membuat Mia menelan saliva dan mengangguk pelan.

“Mulai saat ini Denver adalah tempatmu, kau tidak boleh meninggalkan Denver tanpa izin dariku, aku tidak akan mengurungmu seperti beberapa hari ini. Tenang saja, aku tidak sekejam itu. Kau memiliki kebebasan untuk melakukan apapun selama di Denver, aku tidak membatasimu. Jika kau ingin bekerja, lakukanlah, kau bebas memilih pekerjaan di sini. Aku juga akan memberimu tempat untuk tinggal serta fasilitas lainnya, kau tinggal sebutkan saja, nanti akan aku urus semua. Tetapi kau tidak boleh keluar dari Denver.”

Mia menatap Jaxon penuh teror, dia merasa panik mendengar perkataan Jaxon.

Melihat raut wajah gadis itu melembutkan ekspresi Jaxon yang keras.

“Apa aku berada dalam masalah?” tanya Mia dengan suara rendah berbisik.

“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”

“Bagaimana aku tidak kahwatir jika kau menyuruhku tinggal di Denver dan melarangku pergi!”

Mia menahan lidah untuk tidak mengatakan lebih banyak lagi, dia takut kehilangan kontrol pada ucapannya yang akan merugikan diri.

“Pria tua itu, yang memberimu misi ini ditemukan mati dengan dua peluru bersarang di tubuhnya setelah kepergianmu menuju Denver.”

Ucapan Jaxon barusan sukses melepaskan rasa panik yang sejak tadi membayangi Mia, tanpa sadar tubuhnya bergetar hebat dan membuat pandangannya mengabur. Mia mengerti apa arti dari perkataan Jaxon. Seseorang mengincarnya.

“Berapa lama aku harus tinggal di Denver?” Suaranya serak sedikit bergetar.

Jaxon dapat merasakan kepanikan Mia, sebuah rasa yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya perlahan memasuki hatinya. Iba. Bagian dari rasa simpati yang dia pikir telah hilang seiring waktu.

“Aku tidak bisa memperkirakannya. Tidak ada yang bisa kujanjikan padamu.”

Tanpa sadar Mia memeluk tubuhnya sendiri. Lengannya melingkar di sekitar perutnya.

Dengan berat Jaxon memaksakan diri mengalihkan pandangan dari gadis tak berdaya di hadapannya. Perkataan Gavin tentang makhluk yang lembut terngiang di telinganya.

Pandangannya fokus pada makanan yang berada di troli, utuh tidak tersentuh.

“Apa kau sudah makan?” tanya Jaxon sembari mendekati troli dan mengambil piring berisi roti.

Mia menggeleng lemah. Dia masih tenggelam dalam pikirannya. Kalut dengan situasinya saat ini. Rasanya dia lelah selalu bermain petak umpet dengan masa lalu. Kali ini Mia yakin masa lalunya kembali mengejarnya dan bila informasi dari Jaxon benar, maka dia tidak mungkin bisa kembali ke Blueberry Hill.

“Apa kau tahu siapa yang … membunuh pria itu?” Rasanya Mia tak sanggup mengatakan kata membunuh. Meskipun Jaxon tidak mengatakan penyebab kematian pria itu, tetapi Mia tidak naif. Mia pernah berada dalam situasi seperti ini. Dulu, dia melihat salah satu pengawalnya mati dengan tubuh setengah utuh.

“Khawatirkan saja dirimu, biar aku yang menyelesaikan hal seperti ini, Mia.”

Mia tidak menjawab, dia tidak tahu harus mengatakan apa. Berterimakasih bukanlah hal yang tepat.

Sebuah piring disodorkan ke hadapannya. Walau enggan menerima, Mia sadar bahwa dirinya lapar. Tubuh Jaxon yang besar memaksanya untuk bergeser memberikan ruang pada pria itu untuk duduk bersamanya di atas kasur.

“Tinggal di Denver tidak seburuk itu.”

Perkataan Jaxon membawa pandangan Mia ke wajah pria itu. Lama dia memperhatikan setiap lekuk wajahnya. Jika Gavin berwajah tampan mengarah ke cantik, maka Jaxon lebih ke arah rupawan yang maskulin.

“Aku lebih suka suasana pedesaan.” Mia menundukkan pandangan saat Jaxon menatapnya. Kini berbalik Jaxon yang memperhatikan Mia. Keduanya seakan bergantian mencuri-curi pandang.

“Apapun yang mengejarmu Miss Heart, aku tetap akan memaksamu untuk berada di Denver.”

“Kenapa?”

“Karena misimu belum selesai. Amplop itu hanya permulaan.”

Sejak awal diberikan tugas menjadi kurir, Mia selalu penasaran dengan isi amplop itu, tetapi rasa takut mengalahkan rasa penasarannya. Entah sudah beberapa kali dia tergoda membuka amplop kuning itu selama perjalanan ke Denver.

“Apa isi…,”

“Percayalah kau tidak akan mendapat jawaban itu dariku. Jangan coba-coba mendiskusikan amplop itu dalam sesi percakapan kita.”

Suara Jaxon yang menyela membungkam Mia. Dari nada Jaxon berbicara, Mia juga tidak ingin tahu mengenai isi amplop tersebut. Layaknya pandora, lebih baik dia tidak penasaran sama sekali dengan isi di dalamnya, mengingat hasilnya pasti tidak akan baik. Apa lagi sesuatu yang berurusan dengan Jaxon Bradwood pastilah bukan sesuatu yang manis, melainkan gelap penuh misteri.

Lagi-lagi Jaxon menyodorkan sebuah piring dengan makanan lainnya. Tanpa terasa Mia sudah menghabiskan empat piring yang disodorkan. Alisnya bertaut mendapati Jaxon yang menyeringai, pria itu sengaja mengalihkan fokusnya dengan terus mengajaknya berbicara.

“Beristirahatlah Miss Heart, ada begitu banyak hal yang menanti kedepannya,” ujar Jaxon sembari meninggalkan ruangan. “Kamar ini tidak lagi dikunci, kau bebas keluar. Kita bisa berdiskusi lagi besok. Sekarang sudah terlalu larut.”

Mia menatap pintu yang baru saja ditutup. Kali ini dia tidak mendengar suara kunci seperti biasanya, membuatnya percaya pada apa yang Jaxon katakan. Meskipun gelisah dengan apa yang baru saja dia pelajari, tetapi rasa hangat sedikitnya  menyentuh hatinya dan perut yang kenyang membuat perasaannya lebih stabil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status