Share

BAB 6

Dua pria terkapar tak berdaya di dalam ruang bawah tanah Red Cage. Noda darah mengotori baju keduanya. Pandangan mereka setengah fokus pada sosok yang berdiri di tengah ruangan. Tubuh tinggi menjulang dengan tangan terkepal berbalur darah segar hingga menetes di ujung sepatu kulitnya yang mengilat.

“Sudah cukup Jax,” ucap Rey yang sejak tadi mengawasi Jaxon memukuli dua pria di hadapannya yang mulai tak sadarkan diri.

Jaxon tidak mendengarkan ucapan Rey. Tangannya cepat meraih senjata api dari balik punggungnya. Sahabatnya itu seolah menutup akses kesadaran pada lingkungan sekitar, tenggelam dalam hasrat membunuh yang menyelimuti tubuhnya.

“Jax!” Rey bergegas ke arah Jaxon dan menarik senjata api yang Jaxon arahkan kepada dua pria itu. “Mereka sudah tidak berdaya, brother,” bisiknya sembari menepuk pundak Jaxon, menyadarkannya.

Akhir-akhir ini mood Jaxon memburuk. Dia tidak ingin Jaxon kembali menjadi monster yang dulu menguasainya.

“Kau tahu cara kerjaku, Rey. Kedua pria ini jelas-jelas melanggarnya.”

Kemarin mereka menemukan lebih dari dua puluh lima kilogram bubuk putih siap edar. Dan kedua pria yang terkapar di lantai adalah orang-orang yang bertanggungjawab.

Kedua pria itu tidak memiliki izin sama sekali berjualan di daerah mereka, dan kedua idiot itu seharusnya mengetahui permainan di Denver dan wilayah sekitarnya. Mereka terlalu bodoh memasuki wilayah ini. Dan seperti misi bunuh diri, keduanya pasrah dibawa menuju tiang gantungan. Andai saja dirinya tidak ada dalam ruangan itu, Jaxon pasti sudah sejak tadi menghabisi keduanya dengan peluru bersarang di dahi masing-masing.

Pria-pria itu pasti terlalu mabuk bila mengira bisa mengelabuhi Jaxon dan bawahannya untuk bermain kucing-kucingan di wilayah Denver.

Dari tahun ketahun, banyak yang mencoba dewi fortuna dapat menyelamatkan mereka saat berjualan sembunyi-sembunyi di Denver, tetapi tak satupun lolos dari radar Jaxon yang tajam. Setiap dinding dan jendela memiliki telinga. Seperti menara mercusuar, tak satupun yang luput dari pengawasan.

“Ayo brother, sepertinya kita butuh meregangkan ototmu yang tegang,” ucapnya sembari menyeret Jaxon keluar dari ruangan itu.

“Fritz, selesaikan ini dan bersihkan sesudahnya,” tambah Rey sebelum melewati pintu yang dijaga oleh Fritz dan Thomas.

Rey membawa Jaxon ke GC. Setengah botol wiski habis dikonsumsi keduanya, tetapi Rey tetap menjaga dirinya sadar. Berjaga-jaga jika Jaxon kembali memblokir kewarasannya.

“Dimana Gavin?” tanya Jaxon yang Rey yakini hanya basa-basi.

“Apa kau benar-benar ingin tahu jawabannya?”

Jaxon mengedikkan bahu acuh.

“Akhir-akhir ini banyak pendatang baru ke kawasan kita, aku yakin ini ada hubungannya dengan organisasi laba-laba,” ujar Rey sembari mengawasi pengunjung di GC.

Mereka tidak sedang membicarakan orang lokal, melainkan organisasi kriminal lainnya yang mulai berkeliaran di Denver. Banyak diantaranya datang dari fraksi yang berbeda-beda. Bahkan beberapa Klub Motor juga ikut ambil bagian. Dan mereka berdua tahu alasan pergerakan itu.

Kedatangan Mia bagaiakan api yang mengundang ngengat.

“Aku akan dengan sabar menunggu hiburan dari mereka,” ucap Jaxon sarkas.

Keduanya saling melempar seringai.

“Jaxon, Baby.”

Rey dan Jaxon menoleh bersamaan ke arah suara lembut yang terdengar seperti dibuat-buat.

Sosok tubuh ramping berambut blonde, wajah kecil, mata bulat biru mendekati mereka dengan gestur menggoda yang kentara.

Rey berdehem dan berpaling dari wanita cantik yang kini mendekati Jaxon dengan pandangan mengundang. Bibir sensualnya menyentuh sisi dagu Jaxon.

“Lama sekali tidak melihatmu, Jax. I miss you,” bisiknya pelan yang hanya bisa didengar oleh Jaxon.

“Hey Roxane,” jawab Jaxon setengah hati sembari melepaskan cengkraman Roxane yang kini melingkari lehernya. Wanita itu bergelayut manja padanya tanpa peduli tatapan tidak setuju Rey.

Jaxon menarik napasnya keras, dia tidak ada waktu untuk menghibur wanita manapun. Kehadiran Roxane memperparah moodnya.

“Menyingkir dari hadapanku, Roxy,” kata Jaxon dengan nada dingin tanpa bantahan.

Roxane yang sangat mengenal tempramen Jaxon menarik diri seketika. Dia benci sisi Jaxon yang ini.

Menelan rasa malu dan marah, Roxane berkata dengan suara lembutnya, “bila kau membutuhkan teman, aku selalu sedia, Jaxon.”

Tatapan tajam yang Jaxon berikan cukup membungkam Roxane. Dia tidak akan pernah menang menghadapi Jaxon. Bila pria itu bilang tidak, maka itulah yang dia dapatkan.

Begitu Roxane menghilang ditelan kerumunan lantai dansa, barulah Rey melepaskan tawanya.

“Wanita itu selalu berpikir suatu saat nanti kau akan bertekuk lutut di hadapannya sembari mempersembahkan cincin diamond sebesar telur angsa.”

Jaxon menatap kesal pada Rey yang menganggap pertunjukan tadi adalah hiburan.

“Aku hanya pernah bersamanya sekali, dia pikir dirinya berbeda dari wanita lain dan paginya dia bersikap seolah kami memiliki hubungan lebih. Satu kesalahan yang sangat kusesali karena lepas kontrol malam itu,” jelas Jaxon sembari menenggak sisa minumannya.

Padahal kejadian itu sudah sangat lama sekali. Dan sejak saat itu pula Roxane selalu mengejar-ngejarnya tanpa menyerah. Baginya sex bukan kebutuhan primer, tidak seperti Gavin yang selalu berganti pasangan setiap malam. Dalam setahun Jaxon dapat menghitung dengan lima jarinya berapa kali dia melakukan sex. Bukan karena dia impoten, tetapi dia lebih bisa mengontrol diri dibandingkan spesies laki-laki lainnya.

“Berbicara tentang wanita, bagaimana denganmu, Rey? Lama sekali kulihat kau tidak menyentuh wanita manapun.” Tatapan menyelidik Jaxon membuat Rey kesal.

“Seolah kau memiliki cerita saja Jaxon, kita berdua memiliki record yang sama.”

Ya, rasanya lama sekali mereka dalam keadaan celibate. Jika Jaxon memiliki alasan kontrol diri, maka alasan Rey lebih tidak masuk akal.

“Kau sudah menemukan gadis itu?” tanya Jaxon hati-hati sembari memperhatikan perubahan emosi dari wajah sahabatnya.

Lama Rey terdiam, hanyut dalam pikiran sendiri.

“Aku tidak menemukan sesuatu akhir-akhir ini, pencarianku mandek di tengah jalan.”

Hanya tepukan pelan yang Jaxon berikan sebagai respon. Tidak ada kata-kata yang cocok untuk situasi seperti ini. Rey sudah terlalu muak dengan ucapan semangat.

Setelah menghabiskan botol yang terakhir, Jaxon memutuskan untuk menyudahi hari ini dengan kembali ke Kastil Aurelia.

Ingatannya pada Mia yang kini tertidur pulas di ruangan sebelah kamarnya, membuat Jaxon menggeram. Dia tidak siap kembali berada satu atap dengan gadis itu. Entah mengapa dirinya begitu sulit mengontrol diri di sekitar gadis itu. Rasanya dia lelah selalu melarikan diri dari kastilnya sendiri.

“Aku kembali ke kastil, besok aku ingin membicarakan tentang apartemen di down town. Temui aku di Red Cage brother,” kata Jaxon sebelum beranjak.

***

Sejak pagi Mia menjelajahi ruangan di Kastil Aurelia. Dia terpukau dengan bangunan ini, meskipun kastil ini adalah banguan baru tetapi semua yang ada di kastil itu menggambarkan gaya abad pertengahan. Megah namun klasik dan menganggumkan.

Kini dia tidak bisa tidur setelah menyelesaikan makan malam. Pikirannya selalu berkelana ke Blueberry. Hingga saat ini dia masih tidak mendapat izin untuk mengambil barang-barang pribadinya, termasuk ponsel. Dirinya memikirkan Matt yang pasti khawatir. Tidak mau larut dalam pikiran buruk, Mia memutuskan untuk keluar kamar dan mungkin dengan berkeliling kastil dia bisa mengalihkan pikirannya.

Mia teringat dengan perpustakaan yang ditunjukkan oleh seorang butler bernama Snow, melihat kumpulan buku tersusun rapi ber rak-rak dalam ruangan besar membuat Mia semakin kagum dengan kastil itu.

Mia membawa dirinya menuju perpustakaan dengan langkah pelan dan hati-hati untuk tidak membangunkan siapapun di jam selarut ini. Langkahnya terhenti ketika dia mendapati sosok maskulin yang berdiri menghadap keluar jendela, memunggunginya. Dengan satu tangan di saku sedang satunya menggenggam gelas kristal, Jaxon Bradwood tak ubahnya seperti model majalah pria terseksi di dunia.

Jika kebanyakan wanita tertarik pada pria yang memiliki perut six pack dan otot di lengan, maka bagian punggung pria adalah bagian favorit Mia. Dia sangat terobsesi dengan bagian belakang makhluk maskulin itu. Pria pemiliki punggung lebar yang solid dan bokong yang bulat, sangat seksi baginya. Lekukan tubuh bagian belakang pria sangat indah di mata Mia. Terutama punggung milik Jaxon Bradwood. Sangat sempurna.

Susah payah Mia menelan Saliva dan memasuki ruangan bercahaya redup dengan langkah tanpa suara. Ruangan itu terasa hangat, beraroma kayu pinus bercampur lemon. Hanya satu lampu meja berpendar kuning yang menerangi ruangan luas itu. Untungnya taman di balik jendela lebar yang di hadapan Jaxon memiliki lampu terang benderang. Lampu-lampu itu turut membagi cahayanya ke ruangan.

Ekor mata Jaxon mengikuti pergerakan Mia yang duduk di sofa tempatnya tadi. Gadis itu mengambil sebuah buku dari atas sofa sebelahnya yang sejak tadi terbuka di halaman tiga puluh.

Keduanya membisu, memilih mendiamkan satu dan yang lain. Susana di ruangan itu cukup damai hingga rugi rasanya bila bersuara.

Jaxon menatap keluar jendela untuk terakhir kali sebelum bergabung dengan Mia di sofa. Tampaknya tidak lama lagi badai akan turun. Kumpulan awan gelap berarak cepat di langit Kastil Aurelia. Kilatan cahaya mengikuti pergerakan awan.

Jaxon sibuk memutar gelas kristal di tangannya, sedang matanya mengikuti pergerakan jemari feminim Mia yang lentik ketika membuka halaman demi halaman buku yang dibaca.

“Besok kau bisa pindah dari kastil ini.” Akhirnya Jaxon tidak tahan dengan keheningan itu. Suasana hikmat malah membuatnya hilang kontrol perlahan-lahan.

Mia mendongak, menatap Jaxon dengan pembawaan tenang namun penasaran.

“Kau punya pilihan untuk bekerja di GC bila kau mau,” katanya hati-hati.

Ada banyak bisnis yang Jaxon miliki, tetapi dia tidak mau menawarkannya pada Mia. Semakin sedikit yang gadis itu tahu mengenai bisnis dan kehidupan pribadinya, maka semakin baik untuk masa depan keduanya. Benaknya.

“Aku ingin memilih sendiri pekerjaanku, Mr. Bradwood,” jawab Mia sama hati-hatinya.    Kini dia mengabaikan buku di tangannya dan memfokuskan diri pada pria di hadapannya.

“Pekerjaan apa yang ingin kau lakukan?”

“Di tempatku yang lama, pekerjaanku adalah waitress, dan hanya itu pekerjaan yang aku kuasai.”

Alis Jaxon bertaut, sepertinya dia tidak suka mendengar yang barusan.

“Kau bisa berkuliah jika mau, aku akan membantumu.”

“Tidak, terima kasih. Bergantung pada orang lain bukanlah diriku. Untuk saat ini menjadi pelayan sudah cukup.”

“Baiklah, tetapi apartemen yang kuberikan padamu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar.”

Jaxon dapat melihat kemarahan yang ditahan oleh gadis di hadapannya. Dia sedikit kagum dengan cara Mia yang begitu hati-hati menyembunyikan rasa marah. Gadis itu bersikap seolah dia setuju pada setiap argumen, tetapi dibalik kepatuhannya tersimpan sikap berontak yang tersembunyi di matanya yang indah.

Mia mulai beranjak dari sofa, dia tidak tahan berlama-lama di bawah tatapan intens Jaxon. Pria itu membuatnya grogi, namun upayanya melarikan diri gagal saat pria itu menariknya ke atas pangkuan dan menahan tubuhnya dengan melingkarkan lengan besarnya yang kokoh di sekitar tubuhnya.

“Apa kau takut padaku, Mia,” bisiknya dengan suara berat baritonnya yang maskulin.

Bibir mereka nyaris bersentuhan, tatapan keduanya berada di level yang sama. Dari jarak sedekat ini, Mia dapat mencium aroma tubuhnya.

“Aku tidak takut denganmu, Mr. Bradwood,” jawab Mia serak sembari menelan saliva.

Keduanya tahu bahwa Mia tidak jujur.

“Tidak bisakah kau memanggil namaku? Ada tiga Bradwood di Denver, dan rasanya tidak menyenangkan saat kau memanggil nama itu, seolah kau memanggil nama pria lain.”

Mia tertegun. Dia bisa merasakan nada posesif dari setiap katanya, tetapi tidak mau berpikir sejauh itu.

“Baiklah … Jaxon,” jawabnya dengan berat hati. Menyebut namanya terasa sangat personal.

Tatapan Jaxon berubah lembut, membuat Mia sadar bahwa pria di hadapannya berada dalam pengaruh alkohol. Dari hembusan napasnya yang hangat tercium bau wiski. Jaxon menyentuh pipinya halus dengan punggung tangannya. Ketika itulah dia melihat luka di buku-buku jarinya.

Mia mengelus bekas luka-luka itu dengan jemarinya yang lembut. Jemari yang sejak tadi mencuri perhatian Jaxon ketika membuka halaman buku.

“Sepertinya aku tidak mau tahu dengan luka di tanganmu kan?”

Sudut bibir Jaxon menunjukkan ia tersenyum samar. Pertanyaan itu lebih ke arah meyakinkan diri daripada mencari jawaban sehingga Jaxon memilih diam.

“Mengapa kau menahanku berada di Denver?”

“Karena hanya itu caraku agar bisa melindungimu.” Jaxon mengelus bagian sensitive di balik telinga Mia dengan hidungnya.

Tubuh Mia bergetar mendapat sentuhan sensual itu.

“Apa kau tahu apa yang akan kau hadapi bila aku berada di sini?”

Kali ini keduanya saling tatap dengan pandangan intens. Jaxon mendekatkan wajah mereka berdua hingga Mia dapat merasakan hembusan hangat di pipinya ketika Jaxon berbicara.

“Katakan apa yang kau takuti Mia? Apakah kau lari dari sesuatu?”

Mia memilih diam. Gadis itu memalingkan wajahnya dari Jaxon yang tak henti memandanginya. Ujung jemari Jaxon menyentuh lembut di bawah dagu Mia.

“Jangan mengalihkan pandangan dariku. Kau tidak perlu mengatakan semua hal padaku. Aku bertanya karena ini menyangkut keamanamu. Sekarang kau berada dalam perlindunganku, Mia. Datanglah padaku bila kau sudah memercayaiku sepenuhnya.”

Dari sinar matanya, Jaxon dapat membaca kegelisahan yang Mia simpan rapat-rapat.

Dari siapa kau bersembunyi, Mia. Apa yang membuatmu merubah identitasmu?

Rasanya Jaxon tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, namun semua butuh waktu. Mia bukanlah wanita yang dengan mudahnya bercerita. Dan Jaxon akan menunggu dengan sabar, selama apapun waktu yang dibutuhkan gadis itu untuk membuka diri.

Jaxon mendekatkan wajahnya, hendak mengecup kuncup hidung gadis itu, namun suara gemuruh keras yang datang tiba-tiba membuat Mia menjerit seketika. Kilat mulai menyambar di sekitar Kastil Aurelia hingga menggetarkan seluruh bangunan kastil, menyebabkan beberapa kaca mengeluarkan bunyi beradu.

Mia menyembunyikan kepalanya di leher Jaxon. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan. Mendapati reaksi yang tidak biasa itu, membuat Jaxon semakin mengeratkan pelukannya. Dia mengusap punggung Mia pelan sembari membisikkan kata-kata lembut menenangkan.

I got you,” bisiknya ke telinga Mia.

Aroma mawar memenuhi penciuman Jaxon. Rambut madunya begitu halus di antara telapak tangannya yang kasar.

Tubuh Mia meleleh seketika. Suara Jaxon yang melembut dan pelan membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Meski kilat menyambar dengan suara guruhnya yang hebat, suara Jaxon mampu menghalau suara-suara mengerikan itu. Tanpa henti Jaxon mengelus punggung Mia sembari berbisik, hingga Mia merasa kelopak matanya berat dan tanpa sadar tertutup rapat.

Tampaknya badai berlalu cukup lama hingga keduanya enggan saling melepas diri dan berbagi kehangatan di tengah hujan lebat.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ria Fella
co cwiiiiiiittt
goodnovel comment avatar
Rahayu Hikmayanti
berharap ada kisah berbeda dari mereka Masing2...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status