š¹Apapun kisah dibaliknya, hubungan antara Ibu dan Anak akan selalu begitu. Menyimpan kasih sayang satu sama lainš¹
Zayn setelah mencuci muka berjalan ke ruang tengah di mana Sofia dan Arlan sedang berbincang-bincang.
"Tidak masuk akal, kamu ingin menikahi Zara dengan kondisi Zara saat ini," ucap Tante Sofia, mendengar tujuan Arlan menemui Pamannya Zara, Radit.
"Lebih tak masuk akal membiarkan Zara terpasung seperti itu." Arlan merapatkan giginya menahan emosi.
"Kami tidak punya pilihan lain," sesal Tante Sofia dengan keadaan Zara.
Dilihat dari kondisi ekonomi keluarga Pamannya Zara, bisa dikatakan mereka keluarga berada, malahan lebih. Radit memiliki usaha sendiri dan Pabrik tahu di desanya. Ia juga termasuk orang terpandang di desa, dan tak mungkin mereka kurang uang atau kesulitan hanya untuk melakukan pengobatan pada Zara.
"Tidak punya pilihan!" seru Arlan dengan nada suara kesal.
"Kenapa tidak melakukan pengobatan terhadap Zara," tambah Arlan.
"Kamu bisa tanyakan sendiri nanti pada Pamanya," jawab Tante Sofia Gugup.
Zayn berlari menghampiri Sofia dan Arlan, memembuat mereka menghentikan perbincangan.
"Mama!" Zayn mengucek matanya dan duduk dipangkuan Tante Sofia.
"Iya, sayang. Udah selesai cuci mukanya." Tante Sofia mengusap lembut pipi mungil Zayn.
"hmm." Zayn mengagukan kepalanya.
" Mama, Zayn lapar," seru mulut kecil zayn, sembari jemari kecilnya memegangi perut.
"Baiklah, Mama siapin makan siang dulu bentar. Zaynnya temanin Kak Arlan di sini, ya!" Tante Sofia mencium pipi Zayn.
"Iya, Ma!" senyum sumringgah Zayn mengarah kepada Arlan. Arlan hanya melirikan matanya ke arah Zayn.
"Arlan saya tinggal sebentar, ya!" Tante Sofia pergi menuju dapur.
"Om ini temannya Kak, Zara?" tanya Zayn, sembari ia melangkah ke arah lemari kecil tempat Tante Sofia meletakan buku, dan crayonnya tadi.
"Om ...?" Arlan menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, siapa lagi!" Sungut Zayn membawa buku gambar, dan crayonnya duduk di sebelah Arlan.
"Lucunya Anakmu Zara. Seandainya, dia Anakku bersamamu." Arlan memandangi wajah mungil di depannya.
"Om, hello ...!" Zayn menghentikan lamunan Arlan dengan melambai-lambaikan tangan munyilnya di depan wajah Arlan.
Arlan yang memiliki hati lembut pun tersenyum melihat bola mata coklat kecil itu.
"Kenapa Anak laki bisa seputih ini?" tanya Arlan mencairkan suasana dengan mengacak rambut lurus Zayn.
"Om...!" seru Zayn tidak suka rambutnya di acak-acak.
"Gatot kacanya Mama dilarang keras main diluar, karena itu putihan. Lagi pula om juga putihan, jadi jangan ngejek!" jawab Zayn, mulutnya mayun.
"Ternyata bukan cuma matanya mirip dengan Zara, warna kulitnya juga," Gumam Arlan di dalam hati.
"Oh, jadi ini gatot kacanya Mama!" Arlan gemas dengan pipi merah Zayn.
"Om ...!" Zayn mengusap pipinya.
Arlan tertawa geli melihat expresi Zayn yang mulutnya makin mayun dogoda Arlan. Seketika menghabiskan beberapa menit dengan Zayn, ia lupa bahwa bocah mungil yang imut ini adalah bagian dari penderitaan Zara.
"Om, Kak Zara itu dulu seperti apa sebelum dia sakit?" tanya Zayn tiba-tiba, sembari tangannya tetap sibuk dengan buku yang sedang ia gambar.
"Ternyata dia memanggil Ibu kandunya, Kakak. Baguslah setidaknya ia bisa hidup dengan baik bersama paman Radit dan Tante Sofia sebagai orang tua asuh," pikir Arlan.
"Oom oh Om, dijawab atuh!" perintah Zayn.
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya hal itu?" Arlan mengabil teh di meja yang sudah tinggal setengah.
"Aku tidak pernah melihat Kak Zara ketika ia masih sehat, karena waktu itu kata Mama aku belum lahir masih di perut Mama," penjelasan Zayn, mulutnya bicara, tetapi tangan sibuk menggambar.
"Kamu sungguh ingin tahu?" tanya Arlan lagi
"Hmmmm."
"Aku sangat sedih melihat kondisi Kak Zara, Om."
"Meskipun dia tidak tahu kamu adalah ibu kandungnya Zara, tetapi Anak ini masih peduli denganmu. Memang begitulah hubungan antara Ibu dan Anak. Bagaimana pun cerita dibaliknya tetap ada kasih sayang diantara kalian," gumam Arlan di dalam hati.
"Tetapi Om, aku juga sangat takut denganya. Ia selalu penuh kebencian, dan berteriak padaku," nada suara Zayn bergetar.
"Kamu tidak boleh takut pada Kakak Zaramu. Dia sangat baik, lembut, dan penuh kasih sayang. Ia suka berbuat baik kepada siapapun bahkan hanya pada semut yang terjebak di dalam tetesan embun pagi," carita Arlan bersemangat.
"Benarkah!" senyum sumringgah Zayn, menoleh dari buku gambarnya.
"Hmmmm." Arlan mengagukan kepalanya.
"Ini untuk, Om!" Zayn memberikan gambar yang telah ia selesaikan pada Arlan.
Gambar yang dibuat Zayn terlihat tidak beraturan, seperti hasil tangan anak-anak umumnya. Gambar orang dibuat seperti lingkaran, kaki, dan tangan berupa garis, tetapi bedanya ada bayak garis di kaki yang digambar Zayn. hanya dia dan tuhan yang tahu makna dari gambar itu.
Arlan meraih gambar yang diberikan Zayn. Nanar mata Arlan tak lekat pada gambar itu.
"Ini gambar apa?" Arlan melihat gambar itu bingung.
Zayn mendekat pada Arlan, dan menjelaskan satu demi satu yang ia gambar, " Ini Kak Zara. Ini Rantai Kakinya, dan yang ini Kak Zara tidak di rantai lagi, ia bisa pergi bersama Om."
"Om yang mana?"
"Iiiih, ini Om! Masak tidak bisa lihat, sih!" sungut Zayn menatap Arlan yang merangkulnya.
"Iya hehehe. Kenapa Om di sini jelek. Om kan ganteng," protes Arlan.
"Emang Om jelek!" sungut Zayn.
"Bukan Om yang jelek, tetapi gambar kamu yang jelek." Arlan tertawa geli.
"Om kok nyebelin, sih!" Zayn mulutnya makin monyong.
"Ngambek, ya!" goda Arlan.
Disaat Arlan sedang asyik menggoda Zayn. Zayn tiba-tiba berlari ke arah pintu luar setelah mendengar salam Radit.
"Assallmualikum, Papa pulang!" Suara Radit terdengar dari arah luar.
"Walikumsalam, Papa ...," teriak Zayn berlari memeluk Radit.
"Anak, Papa udah makan siang?" Radit melonggarkan pelukan Zayn.
"Belum, Zayn nungguin Papa dari tadi hingga Zayn ketiduran habis menggambar." wajah zayn mewelas.
"Kenapa gak makan duluan, aja?" Radit mecium kening Zayn
"Gak mau. Maunya sama Papa," Zayn memangku tangan dengan mulutnya mayun.
"Baiklah! jagoan gatot kacanya Mama ini hendak makan dengan Papa!" menggelitik perut Zayn hingga tertawa geli.
"Ada tamu di dalam, sayang?" tanya Radit melihat sepatu Arlan di teras.
"Iya temannya, Kak Zara." Zayn menganggukan kepalanya.
"Temannya Zara, sejak kapan dia punya teman," gumam Paman Radit berjalan masuk rumah.
"Papa sudah pulang!" Tante Sofia menghampiri Paman Radit, mengambil jeket dan tas kecil yang baru saja ia kenakan untuk dibawa ke dalam kamar.
"Siapa, Ma?" paman Radit melihat ke arah ruang tamu.
"Katanya teman Zara dan ingin bertemu Papa. Dia sudah menunggu Papa dari tadi, loh!"
"Ada keperluan apa teman Zara ingin menemui Papa ya, Ma?".
"Lebih baik Papa temui dan tanya sendiri," jawab Tante Sofia meskipun ia tahu apa tujuan Arlan menemui Paman Radit, tetapi ia ingin suaminya mendengar sendiri dari mulut Arlan apa maksud dan tujuan Arlan menemuinya.
***
ig@writer in box
@gadis_pecinta_mendung
youtube kumpulan puisi :writer in Box
terimakasi untuk dukunganyaš„°šŖš„°š„°š„°
Love you see ya...
Tante Sofia sedang menyiapkan makan siang di meja makan, sedangkan Paman Radit menemui Arlan yang sedari tadi telah menunggunya."Perkenalkan paman, saya Arlan sujibto teman masa kecil Zara." Arlan mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya pada Paman Radit yang memang untuk pertama kalinya ia jumpai."Sujibto?" Paman Radit tidak asing dengan nama belakang Arlan."Iya, saya anaknya Burhan sujibto dari kampung hilir.""Ah, iya yang punya toko klontong yang cukup besar dikampung hilir itu, ya!" Paman Radit menyadari ia mengenal Bapaknya Arlan."Iya, Paman!""Kamu Anak Burhan yang kuliah di luar negeri itu, ya. Kapan sampainya di Indonesia?""Iya Paman! Saya sampai baru tadi subuh dan langsung ke desa ini."Setelah bersalaman, Radit mempesihlakan kembali Arlan duduk."Silahkan duduk!"Mereka pun duduk bersamaan. Sekila
Setelah sekian lama terkungkung kejamnya dunia Zara Adhira bisa merasakan hembusan angin di kulit lusuhnya. Setelah Arlan medapatkan kunci pasungan dari Paman Radit, ia Iangsung menemui Zara."Nak Arlan, berhasil mendapatkan kuncinya?" tanya Pak Sholeh yang sedang mendaping Zara."Alhamdulilah pak, meskipun harus bersetegang sedikit dengan Orang itu," jawab Arlan kesal mengingat Paman Radit."Radit bukanlah orang biasa, Nak!" gumam Pak Sholeh mengingat bagaimana Radit dulu mengacam keluarga Pak Soleh ketika ia mencoba melindungi Zara, ditambah lagi Pak Sholeh mengetahui tentang kebenaran Zayn. Hidup keluarga Pak Sholeh selalu dihantui oleh lelaki picik itu."Saya bisa merasakan itu, Pak!" jawab Arlan."Berhati-hatilah dengannya!" tambah Pak Sholeh Lagi."Iya, Pak. Saya akan menjauhkan Zara dari srigala berbulu domba itu." Arlan Geram mengingat nama Paman Radit.
"Apa ada tontonan yang sangat bagus di sini!" Senyum sinis Arlan melihat warga masih berkerumun di halaman Rumah Pak Sholeh."Iya, ini tontonan yang sangat bagus. Kisah cinta wanita gila yang malang," cemooh dari wanita separuh baya."Bisanya anda sebagai sesama wanita menghina Zara seperti itu," ucap Arlan."Itu bukan sebuah hinaan, tetapi pujian. Dia sungguh luar biasa membuatmu seperti ini Anak muda!" gumam wanita separuh baya, membuat Arlan geram."Hal yang terjadi pada Zara bisa terjadi pada siapa pun, jadi jangan menjadikanya sebagai objek kalian. Anda sendiri perempuan dan apa anda tidak memiliki anak perempuan di rumah. Apakah anda akan selalu bisa mengawasi Anak perempuan anda. Janganlah tertawa di atas duka Zara, belum tentu duka akan selalu untuk Zara. Dia juga berhak bahagia," jawab Arlan panjang lebar."Apa maksudmu, kurang ajar!" sungut wanita separuh baya meninggalkan Arlan.
Arlan bersiap-siap untuk pernikahan yang telah ditunggu sedari lama, dengan gugupnya ia memasang dasi kupu-kupu dan baju setelan yang membuatnya terlihat semakin tampan, sembari kedua bola mata Arlan melirik Zara yang terlihat begitu cantik mengenakan gaun putih dengan ornamen abu-abu."Kamu cantik!" Arlan mendekati Zara yang menatap mata Arlan dengan tatapan kosong."Insyallah aku bakalan jadi suami yang baik untukmu, Zara!" Arlan berlutut memegang tangan Zara yang duduk di sebuah kursi.Tanpa expresi Zara menarik tanganya dari Arlan."Setelah aku menggengam tangan ini, aku tidak akan pernah melepaskannya hingga hayat memisahkan!" Arlan meraih tangan Zara kembali.Zara yang tadinya membuang muka menoleh ke arah Arlan dan menatap Arlan dalam-dalam, tangan yang tadi ia lepaskan sekarng ia genggam erat-erat."Terimakasih!" Arlan tersenyum.Akad nikah Arlan dan Z
Setelah ruang tengah hancur oleh amukan Zara yang kambuh, Arlan terus berusaha menenangkanya. Beberapa lama histeris hilang kendali karena delusi yang ia alami. Akhirnya Zara tertidur begitu saja dipelukan Arlan kemudian Arlan membaringkan Zara diranjang miliknya. Ketika ia menyadari Zara telah tertidur, nanar mata Arlan menatap mata Zara yang sembab, ia mengelusnya lalu menciumi kedua mata itu."Papa, Mama, Oma, Kakak!" Zara menceracau tentang semua anggota keluarganya.Arlan yang duduk di tepian ranjang lalu meraih tangan Zara ketika mendengar igauan Zara."Iya sayang tidak apa-apa, aku di sini," bisik Arlan, mendekatkan mulutnya ke telinga Zara, sembari menggenggam tangan Zara dengan kedua tanganya."Tolang!" rintih Zara dalam tidurnya.Arlan mendekatkan wajahnya pada wajah Zara yang gelisah di dalam tidurnya, terlihat kening Zara berkerut, meneteskan keringat. Arlan mecium kerutan ke
Setelah mengepel lantai, kemudian menyiapkan pakaiannya dan Zara. Arlan melangkah untuk menghampiri Zara untuk memandikannya."Zara, bangun!" ucap Arlan duduk di tepian ranjang."Mmmmm," Zara menepis tangan Arlan yang mencoba membangunkanya."Zara, aku harus pergi kerja!" bisik Arlan.Zara masih saja menutup matanya dan membelakangi Arlan."Zara, ayo mandi dulu!" seru Arlan.Zara langsung bangun dan menjauh dari Arlan sembari tangannya melempar tangan Arlan yang berada di bahunya."Pergi!" teriak Zara menepi ke ujung ranjang."Huuuuft!" Arlan menarik napas dalam-dalam.Arlan mendekati Zara berusaha memberi pengertian terhadap istrinya yang tampak gelisah itu."Kamu bisa mandi sendiri 'kan sayang!" seru Arlan.Lalu Arlan menggendong Zara ke kamar mandi dan mendudukanya di closet."Ma
TakTakTakSuara langkah Arlan terdengar begitu kencang dengan sepatu formal oxford shoes yang desainya timeless. Ikatan tali sepatu tertutup (closed lacing), dan tidak begitu lentur mengikuti tinggi tubuh Arlan yang ideal. Kemeja putih, dan Celana dasar hitam yang ia kenakan menambah pesona penampilan hari itu, membuat nanar mata para mahasiswi tak lekat padanya. Arlan dengan santainya terus melewati lorong koridor, memasuki kelas untuk pertama kalinya sembari tersenyum kepada semua mata yang menatapnya."Ya, Allah gantengnya!" seru gadis berkaca mata bulat kepada teman di sebelahnya."Apaan yang ganteng, Idah?" Tanya Renata, gadis berambut cat pirang kemerahan yang mengenakan kaos oblong berwarna pink soft, jeans gantung di bawah lutut, dan sneaker putih.Idah menggoyangkan kaca mata berulang kali. Membuka dan menutupnya memastikan apa yang dilihatnya."Lihat!" perintah Idah mel
Arlan melirik jam tangannya menunjukan pukul Pukul 12.00."Waktunya makan siang," Seru Arlan.Ia langsung menyusun semua buku, dan berkas di meja kerjanya, kemudian bergegas untuk makan siang di rumah bersama Zara."Di mana, ya!" Arlan lupa di mana menaruh kunci mobilnya.Arlan memeriksa berkali-kali saku celananya, tetapi ia tidak menemukannya."Apa ketinggalan di kelas, ya!" gumam Arlan pada dirinya sendiri.Sekarang ia beralih memeriksa tas punggungnya yang penuh dengan buku. Kening Arlan mulai berkerut karena ia sama sekali tidak ingat di mana menaruh kunci mobilnya."Bapak cari ini?" Renata datang dengan memegang kunci mobil Arlan."Kamu?" Arlan yang grasak -grusuk mencari kunci, berbalik badan mendengar suara Renata."Kenapa bisa ada padamu?" tanyaArlan meraih kunci mobilnya yang ada pada tangan Renata.