Share

4. Batalkan

“Jangan bermain air, nanti kalian sakit. Kalian tidak mau sampai Ibu Sekar kerepotan atau merasa sedih, bukan?” tanya Tiara pada lima anak kecil yang tengah ia mandikan. Tiara memang mendapatkan tugas untuk mengurus keperluan mereka.

Saat mendengar apa yang ditanyakan oleh Tiara, kelima anak itu dengan kompak menghentikan permainan mereka dan menatap Tiara sebelum menggeleng dengan kompaknya. “Nala tidak mau Ibu Sekar sampai sedih,” ucap salah satu anak yang tengah dimandikan oleh Tiara.

“Kalau begitu, kalian harus menurut pada Kak Tiara. Sekarang, gosok gigi yang benar, dan Kak Tiara akan mengeramasi kalian. Setuju?” tanyaa Tiara. Kelima anak itu mengangguk dengan cepat dan melaksanakan apa yang dikatakan oleh Tiara dengan patuhnya. Tiara tersenyum melihat tingkah manis mereka yang baginya terasa sangat menggemaskan. Mereka masih polos dan manis, rasanya Tiara tidak rela mereka tumbuh besar.

Tak lama, Tiara pun selesai mengeramasi, dan memandikan kelima anak tersebut. Setelah menghanduki mereka, Tiara memerintahkan mereka untuk beranjak dan menggunakan pakaian yang sudah Tiara persiapkan. Sementara itu, Tiara segera membersihkan sisa acara mandi bersama dan membereskan peralatan mandinya dengan rapi. Tak membuang waktu lama, Tiara membawa satu keranjang besar berisi pakaian yang sudah ia cuci. Tiara akan menjemurnya di taman samping panti asuhan, agar bisa Tiara setrika secepatnya.

Tiara tersenyum saat melihat kelima anak yang tadi ia mandikan sudah rapi berpakaian, dan kini berlarian untuk bergabung bermain dengan teman-teman mereka yang lainnya. Tiara tidak menahan diri dan berteriak, “Ingat, jangan saling mengganggu. Kakak tidak mau ada yang sampai terluka dan menangis!”

Tiara segera melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Tak membutuhkan waktu lama, semua pakaian sudah rapi terjemur. Tiara menghela napas panjang dan beranjak untuk duduk di sebuah meja panjang yang berada di bawah pohon besar. Tentu saja, duduk di sana membuat suhu tubuh Tiara menurun karena kesejukan yang membuainya. Tiara mendongak menatap langit. Saat ini, Tiara tidak bisa menahan diri untuk kembali mengingat kejadian tadi malam, di mana dirinya mendapatkan sebuah penolakan kasar dari putra dari Puti dan Nazhan. Tiara memang tidak mengenal dengan baik perihal perangai sang tuan muda tersebut. Meskipun pernah bertemu beberapa kali saat mereka masih kecil, tetapi itu sudah sangat lama. Tiara bahkan sudah tidak mengingat wajahnya dengan jelas.

Walaupun begitu, Tiara memiliki sedikit keyakinan jika sang tuan muda akan memiliki kebaikan yang sama dengan kebaikan hati kedua orang tuanya. Namun, Tiara tidak membayangkan jika sang tuan muda memiliki watak yang sangat bertolak belakang dengan perangai ibu dan ayahnya yang pemurah dan menghargai orang lain. Tiara sendiri sebenarnya tidak merasa keberatan saat mendapatkan penolakan dari Darka, bahkan tidak merasa sakit hati. Bukan karena Tiara tidak memiliki harga diri, hanya saja sejak awal Tiara sendiri memang tidak berharap apa pun dalam rencana perjodohan ini. Tiara yang tiba-tiba dipilih menjadi calon menantu oleh Puti dan Nazhan, hanya berpikir untuk menerima perjodohan itu sebagai salah satu bentuk balas budi yang bisa ia lakukan setelah semua kebaikan yang ia terima.

Tiara malah merasa sangat tidak normal jika Darka menerima perjodohan ini, saat tahu jika calon istrinya adalah perempuan seperti Tiara. Bukan berarti jika Tiara tidak menghargai dirinya sendiri. Hanya saja, Tiara merasa jika dirinya memang tidak akan cocok dengan Darka yang berada di level yang sangat berbeda. Tiara hanyalah seorang gadis yang tumbuh di panti asuhan, tanpa pernah melihat wajah kedua orang tuanya. Tiara tidak menempuh pendidikan tinggi dan hanya bekerja dengan sepenuhnya membantu pengurusan panti. Jadi, Tiara hanya tengah menerapkan sebuah ilmu tahu diri, di mana dirinya tidak ingin berharap pada sesuatu yang jelas tidak mungkin.

Saat Tiara masih larut dalam pikirannya sendiri, Sekar terlihat muncul dari salah satu pintu panti dan melihat Tiara. Gadis itu cantik dan memiliki pesona di balik kesederhanaannya. Mungkin, hal itu jugalah yang dipikirkan oleh Puti dan Nazhan hingga memilih Tiara untuk menjadi pendamping hidup putra semata wayang mereka. Kehadiran Tiara di dalam kehidupan Darka kemungkinan besar bisa menetralisir tingkah Darka yang kelewat bebas dan liar. Sekar mendekati Tiara yang dengan mudah menyadari kehadiran perempuan yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Sekar pun tersenyum membalas senyuman manis Tiara. Sekar duduk di samping gadis manis itu dan mengelus punggungnya dengan lembut penuh kasih. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Sekar.

Tiara menatap kedua tangannya yang berada di atas pangkuannya lalu tersenyum tipis. “Aku hanya tengah merasa, jika keputusanku untuk menerima perjodohan ini sangatlah salah, Bu,” jawab Tiara jujur.

Sekar yang mendengar hal tersebut tentu saja tidak merasa terkejut. Ia bisa menghubungkan apa yang dikatakan oleh Tiara ini dengan apa yang terjadi tadi malam. Sebagai wali, Sekar juga ikut dalam acara makan malam. Kejadian tadi malam memang terasa sangat mengejutkan bagi Sekar sendiri, apalagi bagi Tiara yang terlibat langsung dalam kejadian tersebut. Sekar tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang. Meskipun dirinya bukanlah ibu yang melahirkan Tiara, tetapi dirinyalah yang merawat dan membesarkan Tiara selama ini. Sebagai seorang ibu, dan seorang perempuan, mendengar apa yang dikatakan oleh Darka tentu saja membuatnya merasa sedih. Tiara adalah gadis yang lembut dan baik hati. Meskipun terlihat tegar dan tidak terluka dengan apa yang dikatakan oleh Darka, tetapi siapa yang tahu isi hatinya? Bukankah isi hati dan kedalaman hati manusia sama sekali tidak bisa diselami?

Sekar menggenggam kedua tangan Tiara yang terasa agak kasar. Wajar saja, selama ini Tiara selalu saja mengerjakan tugas rumah tangga yang sebagian besar tentu saja tergolong ke dalam pekerjaan berat dan kasar. Sekar menatap wajah cantik Tiara. Mungkin, Tiara memang tidak bisa dibandingkan dengan para gadis kota yang seumuran dirinya. Hanya saja, Sekar yakin jika Tiara tidak kalah cantik dengan kesederhaan yang ia miliki ini. “Ibu tidak memiliki hak untuk melarangmu mengubah keputusan. Tapi, Ibu hanya ingin mengingatkan, atas alasan mengapa kamu mengambil keputusan itu sebelumnya. Kamu tidak melupakannya, bukan?” tanya Sekar lembut penuh kehati-hatian.

Tiara menatap netra Sekar dengan penuh keraguan. “Tentu saja aku tidak melupakannya, Ibu. Aku melakukan semua ini hanya karena aku ingin membalas budi pada kebaikan yang diberikan oleh Nyonya dan Tuan. Aku tidak memiliki niatan lain. Aku bahkan tidak bermimpi untuk menikahi putra mereka yang sudah jelas memiliki level yang jauh berbeda denganku,” jawab Tiara penuh dengan keresahan.

Tiara mengatakan hal yang sesungguhnya. Ia sama sekali tidak memiliki niatan apa pun saat menerima lamaran dari Puti, selain ingin membalas budi. Selama ini Tiara mendapatkan kehidupan yang layak dan tumbuh dengan baik karena tumbuh di panti asuhan yang disponsori Puti dan Nazhan. Tiara merasa, jika bukan karena kebaikan keduanya, Tiara tidak mungkin bisa tinggal lebih lama di panti ini dan berakhir dalam pengasuhan orang tua baru yang entah menyayanginya dengan tulus atau tidak.

“Kalau begitu, tidak perlu ragu dengan keputusan yang sudah kamu ambil ini. Mungkin saja, sekarang kamu memang mendapatkan penolakan keras bahkan penghinaan yang menyakitkan, tapi yakinlah akan satu hal. Jika semuanya diawali dengan niat baik, sudah dipastikan jika akhirnya juga akan baik. Tuhan selalu ada, mengawasi kita, dan akan menunjukkan kebaikan-Nya pada umat yang senantiasa mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya,” ucap Sekar.

Sekar tahu, jika Puti dan Nazhan tidak mungkin membuat Tiara hidup menderita. Keduanya adalah orang baik. Mungkin saja, dengan menjodohkan Tiara dan Darka, bisa membuat keduanya hidup bahagia. Jika pun nanti Darka masih bersikap kasar pada Tiara, Sekar yakin nyonya dan tuan besar sama sekali tidak akan tinggal diam saat melihat hal itu.

Apa yang dikatakan oleh Sekar tersebut lebih dari cukup membuat Tiara merasa lebih tenang. Tiara kini yakin, jika keputusan yang sudah ia ambil sebelumnya, memang keputusan terbaik yang bisa ambil dengan niatan yang memang tidak macam-macam. Tiara menyunggingkan senyum manis dan berkata, “Terima kasih, Ibu.” Sekar mengangguk dan menerima pelukan Tiara dengan lembutnya, serta membalasnya dengan hangat.

***

Seorang pria turun dari mobil mewah yang baru saja terparkir di lahan parkir milik panti asuhan yang bernaung di bawah yayasan AR milik Puti dan Nazhan. Benar, sosok pria itu tak lain adalah Darka Parama Al Kharafi. Putra satu-satunya dari Puti dan Nazhan, yang secara langsung menjadi pewaris satu-satunya dari keluarga konglomerat Risaldi dan Al Kharafi. Pria itu tampak menawan dengan latar langit sore yang sebentar lagi akan menggelap karena datangnya malam. Darka mendengkus dan melepas kacamata hitamnya. Darka mengernyitkan keningnya saat dirinya tidak melihat satu orang pun yang menyambut kedatangannya. Namun, beberapa saat kemudian seorang perempuan paruh baya dan beberapa anak berusia remaja yang cukup tinggi muncul dengan langkah tergesa.

Darka tanpa kata menekan remote kunci mobilnya dan membiar pintu mobilnya terbuka. Darka memberikan isyarat dan berkata, “Ambil kotak-kotak di dalam mobilku.”

Sekar pun membiarkan anak-anak remaja yang mengikutinya untuk mebawa kotak-kotak berukuran sedang tersebut untuk dibawa ke dalam panti. Kotak-kotak tersebut berisi stok obat-obatan untuk pertolongan pertama. Sekar memang senyum tipis dan berkata, “Terima kasih sudah berkenan untuk mengantarkan semua stok obat itu secara pribadi, Tuan Darka.”

Sekar sendiri merasa agak terkejut saat mendengar kabar jika Darka yang akan mengantarkan obat secara pribadi ke panti, karena biasanya orang pabrik yang mengirimnya. Sekar tidak menyiapkan jamuan atau bahkan penyambutan yang berlebihan untuk Darka. Karena Sekar merasa jika hal tersebut sama sekali tidak diperlukan. Puti sendiri sudah menghubungi Sekar untuk tidak menyambut Darkas secara berlebihan, dan harus memperlakukan putranya itu senormal mungkin. Sementara kini Darka melirik ke sana ke mari sembari menjawab, “Aku hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Mama.”

Darka repot-repot datang dan mengantarkan kotak-kotak obat itu memang atas perintah Puti. Namun, setelah tiba di panti asuhan ini, Darka pun mendapatkan sebuah ide yang menarik. Rasanya, jika sudah datang ke mari, Darka tidak akan membuang kesempatan yang sudah berada di depan mata. “Aku ingin bertemu dengan gadis yang dijodohkan denganku. Di mana dia?” tanya Darka lalu menatap Sekar.

“Ah, maksud Anda Tiara? Sepertinya Tiara ada di kamarnya,” jawab Sekar pelan.

“Di mana kamarnya?” tanya Darka tanpa basa-basi.

“Mari saya an—”

“Tidak perlu mengantarku. Cukup tunjukkan arahnya saja. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan melakukan apa pun padanya,” ucap Darka setengah hati.

Meskipun merasa ragu, pada akhirnya Sekar pun menunjukkan arahnya dan menyebutkan secara rinci letak kamar Tiara pada Darka. Setelah mendapatkan arah, Darka sama sekali tidak kesulitan untuk menemukan kamar Tiara. Kini, Darka berdiri di depan pintu. Tanpa permisi, Darka membuka pintu tersebut dan melihat sosok Tiara yang tengah khusu beribadah dalam balutan mukena biru muda. Sosok mungil tersebut memunggungi pintu hingga Darka tidak bisa melihat wajah Tiara, tetapi Darka lebih dari yakin jika sosok yang tengah solat tersebut tak lain adalah Tiara.

Darka tidak bersuara dan memilih untuk bersandar di pintu. Mencoba untuk bersabar dan menunggu Tiara menyelesaikan ibadahnya tersebut. Meskipun senang melakukan hal gila, Darka masih memiliki akal sehat dan sopan santu untuk tidak mengganggu orang yang tengah menjalankan kewajibannya untuk beribadah. Darka tidak mau sampai terkena karma karena mengganggu orang yang taat beragama. Tak berapa lama, Tiara bangkit dari posisi bersimpuhnya dan berniat untuk melepaskan mukena yang ia kenakan sebelum dirinya terkejut saat melihat sosok Darka yang berdiri di ambang pintu. “Tuan Darka?”

“Cepat ke luar, aku ingin berbicara denganmu,” ucap Darka lalu berbalik meninggalkan Tiara yang kini terburu-buru melepaskan mukena yang ia kenakan sebelum mengikuti langkah Darka.

Ternyata, Darka ingin berbicara dengan Tiara di taman samping bangunan panti asuhan. Kebetulan, anak-anak memang sudah berada di dalam bangunan karena sudah sore. Jadilah, tempat itu memang tepat untuk digunakan untuk tempat berbicara serius. Saat ini, Tiara menatap Darka yang berdiri menjulang di hadapannya. Angin sore yang lembut dan mengarah pada Tiara, secara ringan membawa aroma tubuh Darka yang sangat maskulin. “Aku ingin membicarakan hal yang sangat penting denganmu,” ucap Darka memulai pembicaraan.

Tiara seakan-akan sudah melupakan sikap kasar dan perkataan menyakitkan yang sudah diberikan oleh Darka padanya. Kini Tiara memasang sebuah senyum tipis dan mengangguk. “Saya akan mendengarkan,” ucap Tiara pelan.

Darka menatap Tiara dari ujung kepala hingga kaki. Jujur saja, Darka memang bisa menilai jika Tiara ini termasuk ke dalam golongan perempuan manis. Hanya saja, Tiara bukanlah seleranya. Dada dan bokongnya tidak terlihat berisi, tidak sesuai dengan selera Darka yang senang pada wanita seksi. Selain itu, Tiara sama sekali bukan levelnya. Darka tidak mungkin mau menikahi Tiara yang menurutnya tidak jelas asal usulnya. Karena Darka tahu, Tiara memang tumbuh besar di panti asuhan tanpa pernah sekali pun bertemu dengan kedua orang tuanya.

“Aku ingin membicarakan mengenai perjodohan kita yang direncanakan oleh Ibu dan Ayah. Ah, untuk masalah tadi malam, aku sama sekali tidak akan meminta maaf padamu. Kau memang pantas mendengarnya,” ucap Darka tajam. Namun, Darka mengernyitkan keningnya dalam-dalam saat melihat Tiara yang saat ini malah menyunggingkan senyum manis padanya.

“Saya sendiri tidak merasa ingin mendapatkan permintaan maaf darimu, Tuan. Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan perihal perjodohan itu?” tanya Tiara tenang. Darka yang mendengar pertanyaan Tiara mau tidak mau mengernyit.

Ketenangan yang ditunjukkan oleh Tiara tersebut tentu saja membuat Darka merasa terganggu. Darka sendiri sadar, jika semua perkataan yang ia tujukan pada Tiara sangatlah menyakitkan. Khusus bagi perempuan, Darka yakin jika perkataannya itu lebih dari cukup untuk membuat kaum hawa itu menangis karena merasa begitu terluka dengan perkataan tajam yang sama sekali tidak pandang bulu tersebut. Namun, alih-alih menangis, Tiara malah menyunggingkan senyum manis.

Hanya saja, saat ini bukan waktunya Darka teralihkan oleh hal tersebut dan memikirkan masalah yang tidak penting. Darka menatap tajam sepasang netra indah Tiara yang menyorot polos padanya. Darka mengernyitkan keningnya saat merasakan sesuatu yang menggeliat di sudut hatinya. Hanya saja, Darka dengan cepat menekan perasaan tersebut dan kembali fokus dengan apa yang akan ia lakukan. Tiara sendiri, saat ini tengah menyiapkan diri dengan apa yang akan dikatakan oleh Darka. Meskipun baru dua kali bertemu dengan Darka, Tiara sudah lebih dari cukup bisa menyimpulkan jika Darka ini memiliki watak yang kasar dan tidak memikirkan perasaan orang lain..

Darka pun buka suara dan berkata, “Batalkan perjodohan kita!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status