Share

Bab 1 | Evaria Dona

Sedihnya, penonton hanya suka pemeran utamanya yang berakhir bahagia

Sebuah layar datar televisi menayangkan cuplikan Evaria Dona tengah menyapa ramah fans yang berkerumun di luar pagar pembatas karpet merah ajang pernghargaan AFI 2020.

“Lihat penyihir itu. Bahkan di dunia nyata dia masih akting.”

“Jangan begitu. Kalau aku jadi Kak Eva aku juga pasti sangat berterima kasih sama fansku, “ jawab Erina.

“Tapi dia kelihatan sangat palsu. Rasanya ingin aku tarik lepas topengnya.” 

“Masih soal Rizal Chandra?”

“Iya. Sayangnya berita itu nggak bisa dinaikkan karena nggak ada bukti. Padahal kan, gosip adalah fakta yang tertunda. Kalau sudah ter-blow up pasti akan terbongkar semua, seperti sarang lebah yang dilempar batu.”

Erina, perempuan cantik berambut hitam legam itu menanggapi santai. “Hati-hati, jangan sampai lebah itu malah mengejar kamu kalau ternyata gosip itu terbukti hoax."

“Itu bukan hoax, Rin. Katanya di kalangan artis, kabar itu sudah jadi rahasia umum. Cuma ya itu, nggak ada yang berani speak up. Eva terlalu kuat. Bukan cuma citra elegan dan berkelas yang dia bangun, dia juga didukung agensi hiburan terbesar di Indonesia yang punya koneksi ke media-media besar."

"Meskipun begitu, tetap saja penilaian akhir ada di penonton. Kalau Kak Eva nggak berbakat, dia nggak mungkin bisa bertahan, apalagi sampai dinilai jadi aktris terbaik. Dan itu yang menobatkan bukan Rizal Chandra.”

Mira menatap Erina dengan tatapan tak habis pikir, dan masih saja belum bisa mengerti jalan pikiran sang sahabat. “Kamu benar-benar adik yang baik, Rin. Cuma sayang, nggak dianggap.”

Erina yang sedang menyempotkan air ke bunga-bunga potong yang dijual di tokonya menjawab pelan.  "Kak Eva nggak sepenuhnya salah. Kami jadi adik kakak setelah kedua orang tua kami menikah, karena mereka sudah tidak ada lagi, Kak Eva mungkin berpikir hubungan saudara kami otomatis juga berakhir."

“Tetap saja, di catatan sipil, kalian tercatat sebagai saudara."

“Mir, selembar kartu keluarga nggak membuat kami jadi keluarga.”

“Terus kenapa kamu masih menganggapnya Kakak?”

Sesaat Erina terdiam, “hmm... Mungkin biar aku nggak merasa sebatang kara?” 

Mira menertawakan ucapan Erina. “Bodoh. Kamu punya ayah kandung dan teman-teman yang jauh lebih bisa menghargai kamu daripada Kakak tiri yang menganggap kamu orang asing.” 

“Beda,” jawab Erina menggantung. Ia banyak memiliki teman loyal, hidupnya tidak pernah kesepian karena selalu ada orang yang bisa dihubungi saat berjauhan untuk sekadar saling menanyakan kabar. Ia paham, apa artinya status keluarga jika saling berbicara saja tidak.

“Nggak penting Kak Eva menganggap aku apa, aku akan tetap menganggap dia kakak aku.” Erina tidak mungkin bisa lupa saat pertama kali ia dipertemukan dengan Eva, Eva langsung menerimanya. Di depan orangtua mereka, Eva mengatakan senang akhirnya memiliki adik. Mereka menjadi dekat layaknya saudara kandung dalam waktu singkat. Terlebih saat Erina harus menjalani hari-hari berat di rumah sakit, Eva selalu menemaninya dan meyakinkan Erina bisa segera sekolah lagi kalau nurut kata dokter. Berkat Eva, Erina memiliki masa remaja yang indah.

Lonceng berbunyi menandakan seseorang masuk ke dalam Erina Florist. “Lho, Pak, kok dibawa balik?” Erina bingung melihat kurir  yang tadi menjemput bunga untuk diantar ke tempat tujuan membawa kembali bunganya yang dirangkai di atas keranjang anyam. Ukurannya sangat besar hingga menutupi hampir seluruh tubuh bagian atas kurir itu.

“Katanya salah alamat, Mbak.” Erina membantu kurir itu meletakkan keranjang bunga di lantai dengan hati-hati. “Saya dikasih uang, disuruh bawa balik.”

“Bapak sudah benar antarnya ke alamat yang saya kasih?”

Kurir itu mengangguk yakin. “Sudah benar, Mbak. Malahan saya sampai tanya satpam komplek sama tetangga depan rumahnya persis, benar kalau itu rumahnya Evaria Dona.”

“Siapa yang terima tadi?” 

“Nah, itu yang membuat saya bingung. Yang membukakan pagar tadi Evaria Dona sendiri.” 

Erina dan Mira saling lempar pandang, Mira tidak menutupi rasa geramnya. Semua orang harus tahu siapa Evaria Dona Sebenarnya, Eva tidak lebih dari seorang penyihir sombong yang membungkus dirinya dengan baju-baju mahal. 

Erina hanya mengulas senyum lemah. Sejak awal ia tidak berharap banyak, ia tulus hanya ingin mengirimkan ucapan selamat yang tak mungkin ia ucapkan langsung. Meski ia tahu bunga kirimannya hanya akan dibiarkan membusuk di tempat sampah, seperti sebelum-sebelumnya.

Kali ini Eva secara lebih tegas menolaknya.

*** 

Sejak satu jam lalu Eva tidak keluar dari mobilnya yang terparkir di depan sebuah bangunan restoran berlantai tiga.

Malam semakin larut, orang-orang mulai meninggalkan bangunan itu dengan raut muka berbeda-beda. Ada yang tersenyum sambil bergandengan tangan dengan pasangan, ada yang meniup udara dengan berat, seolah ia dipaksa menelan paku alih-alih makanan lezat, ada juga melangkah ringan sebagaimana orang terpuaskan.

Lampu-lampu utama mulai dipadamkan, para pekerja pulang bergerombol. Mereka pasti lelah dikejar tanggung jawab dan tuntutan demi bertahan hidup. 

Seorang lelaki masih berpakaian koki melepas karyawannya pulang dengan lambaian tangan, ada sedikit senyum di wajahnya seolah ingin menyemangati, padahal ia sendiri pasti sama lelahnya. Sebelum lelaki itu masuk lagi ke dalam restoran, Eva memberi tanda keberadaannya dengan membunyikan klakson. 

Eva keluar dari mobilnya sambil menenteng dua kantong plastik. Lelaki itu berkacak pinggang melihat Eva berjalan ke arahnya. “Mohon maaf, kami sudah tutup,” ujarnya khas pelayan yang kelewat ramah.

“Aku nggak buta.” Eva mengangkat apa yang dibawanya. “Temani aku memberi selamat ke diri sendiri.” Eva melewati lelaki itu dan masuk begitu saja. Suara ketukan stilettonya memenuhi seluruh penjuru bangunan restoran yang didesain modern. 

“Mau di atas atau di sini saja.” lelaki itu memiliki ruang pribadi di lantai tiga yang sudah seperti tempat tinggalnya.

“Di sini saja.” Eva duduk di kursi terdekat. “Aku nggak mau berakhir di ranjang kamu.”

Lelaki bernama Saga itu berdecih mencibir. “Kamu sendiri yang naik ke ranjangku.”

“Karena itu aku nggak mau. Sekali-kali aku ingin kamu gendong aku, atau diseret juga tidak apa-apa asal kamu yang memulainya.”

Saga hanya tertawa kecil tidak terlalu menanggapi. “Bir?” ujarnya melihat Eva mengeluarkan bir-bir kalengan dari dalam kantong plastik.

“Ada martabak manis juga.” Eva mengeluarkan kotak martabak yang dibeli di pedagang kaki lima tersepi yang bisa dilihat Eva selama perjalanan. “Mas-masnya pelit sama keju, nggak heran kalau dagangannya sepi, yang sudah pernah beli pasti kapok datang lagi, jadi aku minta satu batang sendiri. Extra kacang, cokelat, dan susu kental manis. Awalnya dia melihat aku seperti aku nggak tahu diri, tapi setelah aku keluarkan uang, dia berkali-kali terima kasih. Dasar orang pelit."

Saga masih tertawa. "Dia nggak mengenali Evaria Dona?" 

"Dia mungkin nggak menyangka Evaria Dona beli martabak kaki lima."

Aroma susu kental manis langsung menguar meski martabak itu sudah dingin dan berembun. Dari bentuknya, Saga bisa bayangkan rasanya pasti enek. Lelehan susu kental manis menetes deras saat Eva mengambil sepotong. 

“Mau aku masakin sesuatu?” tanya Saga.

Eva menggeleng. “Aku akan makan ini sampai habis dan nggak makan malam seminggu ke depan.”

“Okay.” Saga menarik kursi ikut duduk disamping Eva. Eva kebetulan memilih meja kapasitas enam kursi yang cukup besar. 

Eva membuka kaleng bir dengan mudah, saat Eva hendak meminumnya, Saga menahannya. 

Saga mengikuti membuka kaleng pertamanya. “Jadi? Selamat?” 

Senyum Eva mengembang lebar sebelum mengetukkan kaleng birnya ke kaleng bir Saga. Terlalu bersemangat hingga sebagian isinya tumpah. “Ya, selamat, Evaria Dona. Kamu pantas mendapatkannya.” Eva memuji diri sendiri. Lalu keduanya meminum bir masing-masing.

“Ahh...” Eva berdesis merasakan hangat menjalari seluruh tubuhnya. "Meskipun masih ada saja yang bilang aku nggak layak karena bukan pemeran utama, tapi aku nggak peduli. Memangnya kenapa kalau pemeran pendukung dapat penghargaan aktris terbaik? Aku bisa saja jadi pemeran utama di film itu, tapi aku nggak suka karakternya."

"Karakter Eliza nggak terlalu buruk kok." Saga mengeluarkan pendapatnya. "Dia karakter positif dan contoh kalau nggak selamanya mengalah adalah kalah, itu hanya soal waktu. Ada satu dialognya yang klise tapi menarik, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda."

"Kekalahan adalah kekalahan,” bantah Eva tak setuju. "Mengalah hanya dilakukan orang yang nggak percaya diri dan tahu dirinya akan kalah."

"Karena itu kamu lebih memilih jadi Jane yang pesimis dan memandang rendah orang lain?" 

Mata Eva menyorot tajam. "Jane nggak pesimis, dia realistis." Di film itu, karakter Jane yang diperankan Eva diceritakan sebagai gadis yang tak segan memungut tisu bekas orang lain untuk memudahkan ia mencapai tujuan. "Jangan bicara soal pesimis dan optimis kalau kamu sendiri bisa langsung punya restoran sebesar ini begitu lulus pendidikan. Kamu nggak harus memulai dari anak tangga terbawah, karena orangtuamu sudah menyiapkan lift langsung membawamu ke atas."

Saga yang sudah terbiasa dengan mulut pedas Eva menanggapi santai. "Lalu bagimana akhirnya? Seingatku, Jane akhirnya mengakui yang dilakukannya selama ini salah dan dia kalah." 

Eva meneguk banyak-banyak birnya sebelum menjawab, mendadak ia sangat kesal. "Itu yang aku benci. Penonton hanya menyukai cerita dengan akhir dramatis dan heroik, seolah yang pantas dan paling benar untuk bahagia hanya pemeran utamanya saja."

Saga menyentuh punggung Eva dan menikmati kekesalan Eva dengan senyum kecil. "Karena hidup butuh motivasi. Kalau mereka menyerah hanya karena miskin dan nggak punya koneksi, sama artinya dia hanya hidup sambil menunggu hari mati. Bayangkan apa jadinya kalau tokoh mencontohkan hal yang salah dan semua orang mengikuti karena di film yang mereka tonton itu dibenarkan?" Saga melepaskan tangannya dan beralih meneguk birnya. "Eliza juga mengatakan, kita nggak bisa memilih lahir sebagai apa, tapi kita bisa menentukan akan mati sebagai apa."

"Tapi itu membosankan. Asal kamu bekerja keras kamu akan sukses, dan kalau kamu jahat kamu akan dihukum. Sejak kecil tontonan kita ya yang begitu-begitu saja."

"Tapi nggak sepenuhnya salah, kan? Bukti nyata kerja keras bisa sukses adalah kamu," lanjut Saga.

Eva terdiam. Sebelah sudut bibir Eva tertarik membentuk seringai miris. Seandainya Saga tahu, dia mungkin jijik duduk di sebelahnya. 

Eva makan lagi potong demi potong martabaknya, diselingi minum bir jika tenggorokannya mulai serat. Eva sadar Saga terus memperhatikannya dari samping. Saga adalah orang paling sok tahu yang Eva kenal, dia merasa paling mengenal Eva, hingga kadang berlagak bisa membaca pikiran Eva. Meski begitu, Eva tidak pernah benar-benar tersinggung. 

"Apa?!" Eva melotot, tidak nyaman dipandangi lama-lama. "Kamu mau ceramah apa lagi?" 

Saga tertawa kecil, refleks Eva memundurkan kepala saat jempol Saga mengusap lelehan susu kental manis di sekitar bibirnya. “Sebelum ke sini kamu darimana?” Tanyanya.

“Rumah.”

Saga mengerutkan dahi. “Kamu pakai dress dan dandan heboh begini—“

“Ya, cuma buat ke sini.”

“Harusnya kamu merayakannya sama tim kamu.”

"Mereka tetap bisa merayakannya meski tanpa aku."

Tiba-tiba Eva membuang nafas dan berhenti mengunyah meski mulutnya masih penuh. “Tujuh tahun lalu kamu nyangka nggak sih aku akan jadi seperti sekarang?” 

“Jadi seperti apa?” 

"Evaria Dona.”

Saga menatap Eva. “Di mata aku kamu masih Evaria Jayantari, Evaria Dona cuma pekerjaan. Lihat ini, ” Saga melirik kotak martabak. “Kamu belum berubah.”

Eva menyukai makanan manis sejak dulu. Tetapi kebiasaan Eva membeli martabak manis untuk merayakan sesuatu baru dimulai ketika Eva akhirnya bisa menjadi pemeran utama di film pertamanya, ia mendatangi Saga dan sambil menangis haru meminta Saga mengucapkan selamat untuknya. 

Eva menelan sisa martabak di mulutnya lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi. “Aku ingin istirahat panjang setelah ini.”

“Sayang sekali. Bukankah ini mementum bagus untuk karirmu? Namamu sedang ada di puncak paling tinggi tahun ini, pasti akan banyak tawaran-tawaran besar yang masuk.”

Eva menggeleng lemah. “Tujuh tahun ini sangat melelahkan, Ga. Sesekali aku ingin ambil cuti dengan alasan urusan keluarga meskipun aku nggak punya keluarga, aku—“

“Sebentar.” Saga mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari saku, sebuah panggilan telepon masuk yang langsung diterima Saga seolah tak ingin si penelepon menunggu. “Ya, Rin?” 

Eva melengos, ia membuka bir ketiganya dan meneguknya seperti minum air putih. Sepertinya Eva berharap terlalu banyak Saga bisa mendengarkan curahan hati yang selama ini Eva simpan sendiri. Pada dirinya sendiri, Eva meminta maaf tidak bisa mengurangi beban itu saat ini. Entah untuk sementara, atau mungkin selamanya.

“Aku masih di Sanggara, kenapa?... Oh... Iya, selamat malam.”

“Kalian pacaran?” Saga bahkan tidak mengirimkan pesan singkat ucapan selamat, tapi bertelepon dengan Erina tengah malam begini. 

Saga menaruh ponselnya di atas meja dan tersenyum jahil. “Kenapa? Kamu nggak mau merestui?” 

“Memangnya apa peduliku?” 

“Tadi siang Erina cerita kalau kamu mengembalikan bunga yang dia kirim. Apa harus sampai seperti itu, Va?”

Tidak heran kabar itu langsung sampai ke telinga Saga. Percakapan remeh seperti kamu sudah makan? Sedang apa? Atau sedang di mana? Pasti menjadi obrolan harian mereka.

“Aku terima banyak kiriman bunga hari ini, aku kirim balik karena ruang tamuku sudah penuh,” jawab Eva.

“Va...”

Eva memutar kepalanya ke samping, menatap Saga lagi. “Kenapa kamu begitu peduli sama Erina? Kalian benar-benar pacaran?” 

“Kamu sendiri? Kenapa kamu sangat membencinya? Dulu kalian—

“Aku begini karena aku belajar dari dulu. Satu-satunya hal yang aku sesali adalah pernah menyayangi dia sebagai adikku.”

Saga menghela napas panjang, menyorot Eva dengan tatapan putus asa. “Kamu tahu itu bukan salah Erina atau siapa pun, Va.” Tatapan Saga iba. “Kamu nggak seharusnya menyalahkan Erina dan melampiaskan kemarahanmu ke dia hanya untuk membuat perasaanmu lebih baik.”

“Untuk membuat perasaanku lebih baik, kamu bilang?” Sesaat Eva ternganga, kemudian mengulangi kalimat Saga dengan dada sakit luar biasa. "Kalau itu benar Ga, maka aku nggak perlu tersiksa sampai sekarang."

"Tapi itu kecelakaan, Eva."

"Itu bukan kecelakaan!" Eva berteriak di depan wajah Saga. "Hanya karena mobil Papa menabrak pohon dan meledak di tengah jalan, bukan berarti itu kecelakaan!”

Eva hendak meminum birnya, sialnya bir itu sudah kosong. Eva meremas kaleng bir itu hingga penyok dan melemparkannya ke sembarang arah. Saat Eva meraih kaleng bir ke sekian, Saga menahan tangannya.  

Eva menatap lelaki itu dengan kilat amarah di matanya. “Aku bodoh karena masih saja mencari kamu meskipun aku tahu kamu nggak pernah ada di pihakku.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status