Share

Bab 3 | Penjahat yang Mengaku Jahat

Jangan menuntut orang lain menutup mulut. Jika tidak mau dengar, tutup sendiri telingamu.

Eva memandangi rumah kosong tak berpenghuni itu dari dalam mobil. Bangunan rumah satu lantai itu memiliki halaman depan cukup luas yang ditutupi rumput hijau terawat. Eva masih ingat dulu ada pohon mangga besar di sisi kanan. Papanya mengikat ayunan yang dibuat dari ban truk bekas di satu dahan terkokoh. Sayang pohon itu sudah ditebang oleh penghuni sebelumnya.

Rumah itu sudah tidak ditinggali lagi selama enam tahun. Ketika akhirnya Eva bisa mengumpulkan banyak uang, rumah ini adalah rumah pertama yang dibelinya meski belum pernah ditempati hingga kini. Dulu dan sejak awal rumah ini adalah rumah keluarganya yang terpaksa dijual ke orang lain, Eva bahkan menyanggupi siap membayar berapa pun asal rumah ini kembali jadi miliknya. 

Dari sekian banyak hal yang sudah berubah, rumah ini satu-satunya yang masih sama bahkan setelah sekian lama. Setiap kali melihatnya, Eva merindukan masa kecilnya.

Kaca jendela mobil Eva diketuk dari luar, Eva mengerejap mata terbangun dari kenangan. Eva tersenyum tipis, melepaskan kaca mata hitamnya dan keluar. 

"Belakangan kamu sering datang,” ujar Pak Umar, orang yang dipercaya Eva merawat rumahnya. Pak Umar tinggal berdua dengan istrinya tepat di rumah sebelah. Eva yang membelikan rumah itu agar Pak Umar bisa lebih mudah mengawasi rumah ini, daripada tinggal di kontrakan yang jauh. Dulunya Papa pernah membantu Pak Umar mendapat pekerjaan sebagai petugas keamanan di kantor tempat Papa bekerja, siapa sangka perbuatan sederhana itu masih diingat Pak Umar sebagai hutang budi hingga kini. 

"Harusnya semua baik-baik saja, kan? Bapak lihat kamu baru dapat penghargaan lagi." 

Eva sedikit menyandarkan punggungnya di badan mobil, pandangannya tetap tertuju ke rumahnya. "Ya, seharusnya memang begitu. Tapi ada saja orang yang nggak suka melihat aku baik-baik saja."

"Ada masalah?” tanya Pak Umar khawatir.

"Bukan masalah besar, kok." Eva mengulas kecil senyum menenangkan.

"Syukurlah kalau begitu." Pak Umar tersenyum. "Waktu hujan kemarin banyak genteng yang ternyata bocor, sampai airnya masuk ke rumah. Rencananya besok Bapak akan ke toko material buat beli genteng, itu gentengnya sudah lapuk, jadi lebih baik diganti semua." 

Eva mengangguk-angguk. "Aku hari ini nggak bawa uang cash, nanti aku suruh Lala buat antar ke sini."

"Nggak usah, Va. Uang yang kamu beri buat cat rumah terakhir kali masih cukup buat beli material sama bayar tukangnya."

"Kalau begitu pakai uangnya untuk membelikan tukangnya kopi sama gorengan."

Pak Umar menghela napas berat, ia mendongak menatap Eva yang lebih tinggi darinya dengan tatapan bangga. "Kamu orang yang baik, Va."

Eva tersenyum miris. "Aku cuma baik ke Pak Umar sama Ibu, tapi jahat ke banyak orang."

"Mana mungkin." Pak Umar tidak menganggap serius. "Yang menjadikan seseorang jahat atau baik, bukan karena dia merasa sudah melakukan kejahatan atau kebaikan. Orang lain yang menilai. Biasanya Va, orang jahat tidak pernah mengaku dirinya jahat. Sebaliknya, orang mengklaim dirinya baik sebenarnya sedang menutupi kejahatannnya." 

Perkataan Pak Umar sama sekali tidak memperbaiki suasana hati Eva. Baginya, manusia adalah makhluk palling palsu tapi di sisi lain mudah ditipu. Menilai. Cih, memangnya ada nilai dari penilaian orang lain? 

Eva tidak akan mengejar penilaian orang lain. Ia akan hidup di jalannya dan dengan caranya sendiri.

"Dari uang yang kamu berikan setiap bulan untuk menjaga rumah kamu, Bapak bahkan sudah tidak perlu kerja lagi,” lanjut Pak Umar.

"Aku kan sudah bilang, Pak Umar aku kontrak eksklusif untuk menjaga rumah ini saja. Jadi sudah pasti saya wajib memberi honor lebih,” canda Eva, Pak Umar menanggapi dengan kekehan kecil.

Atau setidaknya, ada satu orang yang menilai dirinya sebagai orang baik.

*** 

"Info terpanas datang dari Evaria Dona yang belum lama ini memenangkan penghargaan aktris terbaik dari salah satu ajang penghargaan bergengsi. Setelah mendapat sanjungan tertinggi, kini dia sedang diuji. Masih hangat curhatan seorang kurir di media sosial mengenai aktris terbaik yang disebut-sebut adalah Evaria Dona itu bersikap kasar padanya dan menolak kiriman bunga dari keluarganya, kini muncul berita baru. Seorang jurnalis melaporkan Evaria ke kepolisian atas dugaan penganiayaan terhadapnya. Di depan awak media, jurnalis berinisial MAP itu menunjukkan bukti berupa foto luka yang dialaminya, serta hasil visum dari rumah sakit. MAP menyebut, kasus ini masih terkait dengan curahatan kurir-" 

Eva menekan tombol off dan layar televisi seketika jadi hitam. Mira lebih cocok jadi pengarang novel fiksi, alih-alih menjadi jurnalis yang seharusnya hanya menyebarkan fakta.

"Sekarang mau bagaimana?" tanya Prita yang terlihat kusut karena lelah karena masalah bertubi Eva. "Dari kemarin aku nggak tidur mengurusi masalah kamu. Masalah satu hampir selesai, kamu sudah bikin masalah lagi."

Situasi berubah rumit. Eva yang tadinya memiliki senjata untuk menekan, sekarang malah tertekan. Kurir yang sudah setuju untuk memberi klarifikasi terbuka, pada media, dia mengaku Eva telah mengancamnya. Mira menari-nari di atas simpati warganet. Sejak semalam tagar EvariaOut masih menempati posisi pertama, sampai-sampai muncul sebuah petisi untuk mencabut penghargaan aktris terbaik yang diterimanya.

"Bukankah setidaknya Mbak Ev harus keluar memberi bantahan? Itu jelas-jelas bukan penganiayaan karena Mbak Ev juga terluka,” kata Lala. Saat pulang dengan sekitar hidung memerah dan ada banyak tetesan darah mengenai bajunya, Lala lah yang merawat Eva. Lala menemukan banyak lebam dan bekas cakaran di lengan dan punggung Eva. Jika parahnya luka diukur dengan darah, sudah jelas Eva lebih berdarah-darah. Untungnya Lala sempat memfoto luka-luka itu meski Eva melarang dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. 

"Siapa yang mau mendengarkan aku saat ini? Apapun yang aku katakan akan terdengar seperti pembelaan diri. Sementara kita ikuti dulu permainannya." 

"Va, kamu sadar nggak sih, situasimu sekarang seperti apa?" Prita mulai tidak sabar menghadapi sikap terlalu tenang Eva. "Dua orang yang mengaku korban Evaria Dona muncul dengan cerita mereka dan mendapat perhatian sangat besar dari media dan masyarakat. Belum lagi kalau adik tirimu, si Erina itu ikut buka mulut. Kamu paham kan pengaruh sentimen publik terhadap nasib kamu sebagai public figure?"

Justru karena Eva sangat memahami itu, Eva tidak bisa berkata-kata. Ia harus bijak dan cerdas dalam menangani masalah ini agar citranya tetap terjaga. 

"Aku sudah meeting sama tim pengacara, pertama mereka akan mengusahakan mediasi supaya—“

"Nggak, Mbak!" Eva memotong cepat. "Lebih baik aku bangkrut atau karirku selesai daripada harus minta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahan aku!" Eva menolak keras.

"Itu akan benar-benar terjadi kalau kamu masih seperti ini!" Suara Prita ikut meninggi. "Sponsor-sponsor mulai resah, kita nggak boleh kehilangan mereka. Kamu tahu berapa yang sudah kita keluarkan untuk bayar pembatalan schedule kamu beberapa minggu ke depan? Kamu punya tanggung jawab lebih besar dari sekedar harga diri kamu di depan adik tirimu itu." Wajar saja Prita panik, sponsor-sponsor Eva bukan perusahaan remeh temeh, diantaranya merek ponsel terlaris hingga rumah mode luar negeri.

Prita menerima pesan di ponselnya lalu bersiap pergi. "Apa ruginya sih mengakui Erina sebagai adik kamu dan bilang kalau itu cuma salah paham?"

Lala berusaha mendekati Eva untuk memberinya segelas air putih, Eva bahkan belum makan apa pun sejak kemarin malam.

"Aku seharusnya membunuh Erina sialan itu."

"Mbak?" Lala begidik ngeri, Eva terlihat bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.

Eva menatap wajah polos Lala yang membuatnya jengkel di segala situasi. "Ambilkan tasku, La.” Perintah Eva. 

Dengan patuh Lala mengambilkan tas Eva. Eva mengeluarkan sebuah amplop yang isinya sudah pasti uang. "Antarkan ini ke Pak Umar. Sebelum ke sana, mampir beli susu tulang seperti biasa empat box."

"Tapi Mbak, Mbak Prita bilang Mbak Eva nggak boleh ditinggal sendirian." 

"Aku hanya akan tidur hari ini, aku belum ada ide buat bikin masalah baru apa lagi." Eva berpindah dari sofa ke tempat tidur, "dan kamu bisa tenang, masalah ini belum bikin aku ingin bunuh diri."

"Ih... Mbak Ev ngomongnya." 

Eva mulai berbaring miring dan memejamkan mata meski ia tahu ia tidak akan pernah bisa tertidur. 

"Mbak, Mas Saga telepon di ponsel aku,” seru Lala heboh. "Aku angkat atau nggak?" 

Belum sempat Eva membuka mata dan bilang tidak, Lala sudah menjawab telepon itu. "Halo?" Lala meringis menerima pelototan Eva yang seolah berteriak 'apa gunanya tanya kalau begitu?!'

"Mbak Ev lagi istirahat, ponselnya disuruh Mbak Prita dimatikan supaya nggak baca komentar jahat netizen lalu depresi." Lala memukul bibir menyadari salah bicara namun itu hanya saat Eva memberi ekspresi ingin menggigitnya.

Dengan polosnya Lala bertanya pada Eva. "Mbak Ev mau bicara sama Mas Saga?"

"Aku mau bunuh kamu." 

"Mas Saga, Mbak Ev-nya lagi nggak mau bicara katanya. Sudah ya, terima kasih." Lala menutup panggilan lalu lari kabur sebelum Eva benar-benar akan membunuhnya.

*** 

Sore hari bel kamar hotel tempat Eva menyepi berbunyi, saat Eva membukanya, ia menemukan Saga di sana. Lala sialan, umpatnya dalam hati.

"Ada apa?"

"Kita bicara sebentar." 

Dengan terpaksa Eva sedikit menyingkir, memberi Saga jalan masuk. Saga langsung duduk di sofa, dan bahkan memberi isyarat agar Eva segera duduk juga. Seolah Eva lah tamunya.

"Kenapa menghindari teleponku?" tanyanya dengan nada menuntut jawaban.

"Jangan basa basi. Jelas-jelas tadi Lala sudah memberitahu kalau aku nggak mau bicara sama kamu." Eva duduk di depan Saga sambil menyilangkan kaki."Lagipula, kalau kamu telepon hanya untuk menyuruh aku minta maaf, kamu hanya buang-buang waktu."

Saga menatap Eva tenang. "Apa rencana kamu sekarang?" 

"Kenapa aku harus memberi tahu rencanaku ke musuhku?"

"Musuh?" 

"Orang yang memihak musuhku, sama dengan musuhku."

Saga menatap Eva tak habis pikir. "Lihat, Va, kebencian berlebihan kamu yang membuat kamu seperti ini. Sudah, Va, cukup. Berhenti menyakiti diri sendiri. Erina bukan musuh kamu." 

Eva memutar bola mata malas. "Kamu jauh-jauh ke sini cuma mau bilang itu atau masih ada lagi?"

"Mira memang salah, Erina sudah cerita semua ke aku." Saga berkata lagi. "Tidak seharusnya dia menyuruh kurir itu menulis tentang kamu dan membuat kamu marah, tapi bagaimanapun juga, memakai fisik tidak pernah benar." 

Eva tersenyum miring. "Yakin dia bilang sudah cerita semua?”

“Kalau memang Erina sudah mengatakan semua. Seharusnya yang kamu bilang adalah Mira salah menyuruh kurir mengunggah fitnah tentang aku dan aku nggak boleh membalas pakai fisik meskipun aku nggak salah.” Eva memilih tidak menyuarakannya lantara tidak yakin Saga tahu mana bedanya. 

"Biar aku tambahkan biar makin jelas. Ya, benar. Mereka pantas mempermalukan aku setelah aku mengembalikan bunga kiriman Erina, aku mendatangi Erina karena marah, lalu aku melihat Mira di sana dan aku menyerangnya dengan sadar. Aku berniat membunuhnya kalau saja kamu nggak datang seperti pahlawan kesiangan." 

Eva mengetatkan rahang hingga seluruh tubuhnya ikut tegang. Jawaban itu lah yang paling benar sekaligus ingin mereka dengar. "Itu lengkapnya.”

Tidak ada perubahan ekspresi Saga, lelaki itu tampak mengeluarkan sebuah diksa lepas dan menaruhnya di tengah meja, Eva menaikkan alis bertanya apa maksudnya. "Aku tahu bukan kamu yang memulai."

Sebelumnya pihak Erina menyatakan kamera CCTV di tokonya hanya pajangan. Entah bohong atau tidak, Erina pasti akan memberi kesaksian mendukung Mira. "Lalu? Apa pentingnya kamu tahu aku memulainya atau tidak ketika semua orang percaya aku melakukannya?"

"Kamu bisa membantah dengan itu dan selesaikan semuanya baik-baik." 

"Itu akan merugikan Erina."

"Erina tidak akan rugi apa-apa,” sahut Saga. "Dia tidak terlibat masalah ini, Mira menekan dia untuk menghapus rekaman ini dan memintanya bersaksi kamu yang duluan menampar Mira. Kamu tahu bagaimana sifat Erina, dia nggak pernah bisa menolak orang terdekatnya. Diam-diam dia menyalin rekaman ini dan meminta aku untuk memberikannya ke kamu seolah-olah aku yang menyalinnya sendiri. Dia sendiri akan berusaha meyakinkan Mira untuk mencabut laporannya. Erina sangat mencemaskan kamu, Va."

Hampir saja Eva terkecoh mengambil bukti rekaman itu. Erina sangat tahu cara memainkan peran protagonis. Si naif, lemah, baik hati, dan bijaksana.

"Setelah itu apa?" 

"Apanya yang apa?" Saga bertanya tak mengerti. "Kalian harus damai, jadi kalian nggak akan rugi terlalu banyak. Terutama kamu."

Eva mengangguk-angguk seolah mengerti dan terenyuh dengan kepedulian Saga. "Baiklah, kamu bisa pergi dan bawa rekaman itu." Eva berdiri dan menjawab tanda tanya yang tercetak jelas di kening Saga. "Berhubung kamu bilang Erina tidak terlibat sama sekali, berarti solusi yang kamu tawarkan tadi bukan untuk kasus aku dan Mira. Tapi untuk Erina. Karena sejak awal hingga orang ketiga seperti Mira ikut campur seperti ini, semuanya masih dan selalu tentang Erina."

"Jadi apa solusi yang menurutmu paling benar itu?"

"Aku akan menemukannya." Eva berusaha membuat dirinya tampak menyakinkan. "Jangan khawatir aku akan melibatkan Erina, aku tidak sudi mengakui ke seluruh dunia kalau kami pernah jadi saudara."

"Jangan keras kepala, Va. Kamu nggak bisa melimpahkan semua kesalahan ke Erina. Dia juga kehilangan, sama seperti kamu." 

"Kalau bukan Erina lalu siapa? Aku nggak mungkin menyalahkan jalang satunya karena dia sudah mati." Eva benci Saga selalu menyeret pembahasan ini lagi dan lagi. "Ah, aku lupa. Masih Ada Tuhan. Katanya semua yang terjadi itu atas kehendak Dia. Tapi marah-marah ke Tuhan akan membuat aku terlihat seperti orang gila. Katanya ada tapi nggak jelas di mana.”

"Eva!" Saga merasa Eva sudah terlalu jauh melompati batas. "Kalau kamu nggak bisa berkata baik, sebaiknya tutup mulutmu."

Eva menelan ludah serat, dadanya sakit untuk sekadar menarik napas. "Kenapa nggak kamu saja yang tutup telinga?" 

Eva segera memalingkan wajah karena matanya semakin panas. Ia mendekat ke pintu dan membukanya. Jika Saga tahu diri, Saga harusnya mengerti maksudnya.

Saga menahan langkahnya di depan Eva. "Saat aku bilang kamu belum berubah, saat itu aku sedang menyangkal sajaitu karena sebenarnya aku berharap kamu masih Evaria dulu yang aku kenal."

Tiga detik lagi Saga masih menatapnya, Eva yakin dirinya sudah meledak saat itu juga. Untungnya Saga keluar dari kamar meninggalkan Eva.

Eva memegangi dada, matanya berkaca-kaca. Dadanya sakit luar biasa. Setitik air mata keluar dari sudut matanya, seketika Eva menghapusnya. Ia tidak akan membiarkan air matanya keluar sia-sia. 

Rupanya Saga tidak membawa kembali diska lepas itu, Eva mengambilnya dari atas meja dan membuangnya ke tempat sampah tanpa ragu.

Eva tidak butuh itu. 

Ia akan menemukan jalan keluar dari masalah ini dengan caranya sendiri. Saga bodoh karena mengira video CCTV itu satu-satunya yang bisa menyelamatkan Eva.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status