Share

Bab 4 | Semeata Mengelilingi Erina

Semakin banyak kita membenci, semakin besar kekuatan yang kita miliki

Evaria 10 tahun lalu sama seperti anak muda pada umumnya, sedang semangat-semangatnya memasuki dunia perkuliahan yang terdengar serba keren. Ia mengambil jurusan ilmu komunikasi, cita-citanya sangat sederhana, ia hanya ingin menjadi pegawai kantoran yang bekerja nyaman di dalam ruangan ber-AC, libur hari sabtu minggu, dan menikah muda agar rentang usianya dengan sang anak kelak tidak terlalu jauh. Kemudian menjalani kehidupan normal seperti orang lain.

Jika semua berjalan sesuai rencana, mungkin anak Eva sudah dua. Rencana tidak bisa bicara banyak dihadapan takdir. Eva sudah 28 tahun, gagal jadi sarjana, gagal jadi ibu muda, gagal punya kehidupan normal.

Eva masih ingat jelas, ketika itu Eva langsung menuju rumah sakit sepulang dari kampus. Sudah hampir seminggu Erina dirawat di sana. Erina sering mengeluh sakit kepala, sehingga Papa memutuskan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh di rumah sakit. Dokter mendiaknosa Eva mengidap tumor otak, semua orang terpukul mendengar kabar itu, sementara Erina tidak berhenti menangis karena takut mati. Dokter menyarankan untuk dilakukan operasi pengangkatan. Dilihat dari posisi dan massa tumor, Erina memiliki peluang sembuh cukup besar. Mama Erina memohon pada Papa untuk mengikuti saran dokter sebelum tumor itu makin menyebar dan memburuk.

Papa mengajak Eva bicara pelan-pelan, awalnya Eva kira Papa hanya akan memintanya membantu Mama merawat Erina. Tapi ternyata Papa mengatakan rencananya menjual rumah mereka untuk biaya operasi serta perawatan Erina.

"Tapi itu rumah keluarga Mama." Barangkali Papa lupa, Eva mengingatkan bahwa rumah yang mereka tempati adalah rumah warisan keluarga Mama Eva. Saat Mama meninggal, keluarga besar sepakat rumah itu nantinya akan jadi milik Eva.

"Karena itu Papa minta pengertian kamu." 

Eva bimbang, ini bukan masalah mau tidak mau. Rumah itu salah satu kenangan nyata yang ditinggalkan mamanya. "Papa dan Mama Yuli nggak punya uang sama sekali?"

"Maafkan Papa, Sayang." Papa menunduk penuh penyesalan. Eva tidak tega melihatnya.

Eva mendesah, berat melepaskan rumah itu. "Bagaimana kalau kita jadikan jaminan pinjaman bank saja, Pa?"

"Dana yang harus kita persiapkan bukan hanya untuk operasi saja, pasca operasi Erina masih harus dapat perawatan. Papa juga takut cicilan bulanannya akan memberatkan kita. Kalau kita jual, sebagian uangnya bisa kita belikan rumah lagi meskipun lebih kecil."

Eva terdiam lama. Ia tidak mungkin tega membiarkan kondisi Erina memburuk, meski bukan adik kandungnya, dia kini keluarga Eva. Melihat gadis ceria itu tergolek tak berdaya membuat hatinya sedih. "Benar-benar tidak ada jalan lain ya, Pa?" 

Papa menggeleng berat.

Rumah pun akhirnya dijual dengan harga di bawah pasaran karena mereka butuh uang secepatnya, kabar itu sempat membuat keluarga Mama Eva marah besar. Eva lah yang berusaha keras memberi penjelasan meski pada akhirnya tetap tidak bisa diterima, mereka semua kecewa pada Eva karena dianggap tidak bisa menghentikan kelancangan Papanya. Lain cerita jika rumah itu dijual untuk kebutuhan Eva sendiri. Sejak saat itu keluarga Mama melepaskan hubungan dengan Eva dan papanya.

Eva dan keluarga sementara mengontrak di sebuah rumah kecil dengan dua kamar tidur, selagi Papa mencari rumah baru yang cocok dengan dana yang tersisa setelah dikurangi perkiraan biaya pengobatan Erina hingga sembuh total.

Biaya pengobatan Erina, dari operasi sampai dinyatakan sembuh ternyata jauh melebihi perkiraan, Papa terpaksa memakai uang untuk beli rumah baru agar bisa menutupi kekurangan itu. Mereka terpaksa mengubur mimpi untuk memiliki rumah lagi.

Eva kehilangan kamar pribadi dan harus berbagi ruang dengan Erina di kamar yang ukurannya tidak lebih besar dari kamar di rumah sebelumnya. Papa jadi sangat berhemat sejak itu, dia tidak pernah lagi membawa martabak keju sepulang kerja.

Pada hari minggu Papa mengajaknya pergi ke suatu tempat, Eva bingung ketika tahu tempat tujuannya adalah Fantasiland. "Yuk, main,” ajak Papa, membukakan pintu sedan butut mereka. 

"Kenapa kita ke sini, Pa?" tanya Eva bingung.

"Ya untuk main,” jawab Papa enteng, "sudah lama kan, Papa nggak pernah menyenangkan kamu lagi."

Eva mencibir meski bibirnya tersenyum. "Aku bukan anak kecil lagi, diberi uang, aku sudah senang."

Papa tidak menanggapi ucapan Eva, kemudian merangkul Eva mengajaknya ke loket pembelian tiket. "Papa baru sadar kamu sangat tinggi." Berjalan beriringan tinggi Eva setara telinga Papa.

"Karena aku mirip Mama,” canda Eva berusaha mengingkari kalau sebenarnya ia adalah versi perempuan dari Papa.

"Kita beneran masuk, Pa? Kenapa nggak ajak Erina sama Mama Yuli sekalian?" tanya Eva melihat Papa benar-benar membeli dua tiket.

"Kita semua bisa ke sini lagi lain kali, sekarang Papa cuma ingin berdua sama anak Papa." Eva memaksa diri tersenyum. Ia memiliki firasat buruk tentang ini.

Pasangan ayah dan anak itu bersenang-senang, mereka menjajal hampir semua wahana yang bahkan Eva tidak berani naiki dulu. Pasti akan lebih menyenangkan kalau Erina bisa bergabung dengan mereka. Puas bermain, mereka lalu makan di pusat makanan. Eva makan dengan lahap karena energinya terkuras banyak saat teriak-teriak.

"Gimana kuliah kamu?" tanya Papa saat Eva menyuap sendok nasi terakhirnya.

"Begitu-begitu saja."

"Sibuk sekali, ya?"

"Tidak terlalu." Eva menyeruput minuman soda untuk menutup kegiatan makannya. "Kita akan langsung pulang setelah ini, Pa?"

Papa melipat kedua tangannya di atas meja dan menatap Eva, dari gestur itu Eva tahu Papa akan mengatakan hal serius. Eva tidak terlalu khawatir, memangnya ada yang lebih buruk lagi dari Erina yang sakit parah hingga harus menjual rumah?

"Kira-kira apa mungkin kamu bisa kuliah sambil kerja?" tanya Papa pelan, tampak sangat berhati-hati.

"Kenapa?" Hal buruk macam apa lagi sekarang.

"Papa lihat banyak mahasiswa yang menyambi kerja, katanya itu bagus untuk bekal kamu setelah lulus nanti."

"Iya sih, tapi aku rencananya ingin aktif di organisasi. Aku sudah daftar jadi anggota BEM di kampus, sepertinya akan susah membagi waktunya." Papa terdiam lama, hingga membuat Eva tidak nyaman. "Kenapa, Pa?" tanya Eva lagi.

"Papa... " Papa kesulitan memilih kata, senyum canggungnya menunjukkan ketidakberdayaannya. "Ada masalah di perusahaan, jabatan Papa diturunkan setara staff biasa. Itu artinya gaji Papa juga akan turun."

Sesaat Eva tidak bisa merasakan bobot tubuhnya sendiri, tidak punya kamar sendiri saja sudah sulit, sekarang Eva harus beradaptasi dengan kesulitan lain. Eva pikir ia hanya perlu bersabar dan keadaan akan perlahan membaik. Mengapa yang tarjadi malah sebaliknya?

"Erina masih harus selalu kita pantau kesehatannya, dia juga harus melanjutkan sekolahnya yang tertunda setahun. Selain untuk kebutuhan kita sehari-hari, Papa juga menanggung uang sewa rumah kita. Papa tentu tidak akan melepaskan kamu begitu saja, Papa akan berusaha menanggung uang semester kamu. Untuk kebutuhanmu sehari-hari, Papa berharap kamu bisa mengusahakannya sendiri."

Fakta keluarganya bangkrut tidak mudah diterima Eva, belasan tahun ia hidup sebagai putri tunggal tanpa kekurangan satu apa pun. Ia ingin bertanya mengapa ini bisa terjadi, tetapi ia menelan lagi pertanyaannya lantaran melihat Papa meneteskan air mata di depannya. Untuk pertama kalinya. 

"Maafkan Papa, Sayang. Papa gagal jadi kepala keluarga yang bertanggungjawab. Papa gagal melindungi rumah milik Mama kamu untuk keluarga baru Papa, dan sekarang kamu harus ikut menderita karena Papa. Papa minta maaf." 

Beban terberat dipikul Papa, tidak seharusnya Eva menambah beban lagi, di saat ia memiliki kedua kaki untuk berdiri sendiri. 

Eva memeluk Papa berharap bisa sedikit saja mengurangi bebannya. "Papa jangan cemaskan aku. Aku akan coba cari kerja."

*** 

Di tengah skandal yang melilitnya, Eva sebenarnya bisa saja melanjutkan jadwalnya seperti biasa, namun Eva memilih membatasi kegiatannya sementara. Beberapa jadwal dibatalkan, Eva hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penting yang akan merepotkan jika harus dibatalkan.

Salah satu dampak dari skandal itu, akun Instagram Eva yang sempat dikunci dibanjiri hampir 200 ribu pengikut baru. Rasa penasaran dan hasrat ingin mencaci orang Indonesia memang tidak perlu diragukan lagi.

Proses gugatan masih berlangsung, polisi berkerja cepat karena ini kasus yang menyita perhatian publik. Eva telah ditetapkan sebagai tersangka namun tidak dilakukan penahanan karena ancaman hukuman di bawah lima tahun dan hanya dikenai wajib lapor. Tim pengacaranya bekerja sangat baik sejauh ini.

Ada dua tanggal dimana Eva selalu minta jadwalnya dikosongkan. Itu adalah tanggal dimana ia melihat papanya dan mamanya untuk terakhir kali.

Eva meletakkan setangkai bunga krisan putih di atas nisan berukirkan nama Papa. Eva tidak yakin apa Tuhan benar-benar ada dan bisa mengabulkan doa-doanya. Sejak kecil Eva selalu berdoa agar kedua orangtuanya diberi umur panjang, kenyataanya umur mereka diputus begitu cepat. Entah karena Tuhan tidak mendengar doa-doanya, atau karena Tuhan memang tidak pernah ada.

Eva berbicara dalam hati, meyakini Papa bisa mendengarnya dari tempat yang tak terjamah mata. "Aku hidup dengan baik, Pa. Papa jangan khawatir. Meskipun Papa tidak bisa aku lihat, aku bisa merasakan Papa menepati janji Papa untuk tidak pernah meninggalkan aku sendiri. Terima kasih banyak, Pa."

"Kak Eva?" 

Kedua mata Eva terbuka perlahan mendengar suara terakhir yang ingin di dengarnya hari ini, saat ini, di sini. Sejurus kemudian orang itu berdiri tepat di sisinya. Di belakang Erina, ada Saga yang memakai kemeja hitam senada dengan pakaian Erina. Erina menutup sebagian kepalanya dengan selendang hitam, wajahnya dibiarkan polos tanpa riasan. Berbanding terbaik dengan Eva yang seolah kehilangan jati diri jika tidak merias wajah. Eva memakai gaun hitam di bawah lutut yang sebenarnya jauh dari kesan duka, ia juga memakai sepatu hak tinggi, tanpa takut ujung sepatunya menancap di tanah pemakaman. 

Eva memakai kaca matanya lagi dan hendak berbalik pergi.

"Kak." Panggil Erina mencegah. "Jangan pergi dulu." 

Wajah gadis itu tampak sembab seperti habis menangis semalaman. "Kakak... Aku minta maaf, bisakah untuk hari ini saja Kakak pura-pura jadi kakak aku? Kita berdoa sama-sama untuk Papa Mama ya, Kak?" 

Eva memutar badannya otot wajahnya mengetat menunjukkan sekeras itu ia berusaha menahan emosi. "Kenapa kamu senang sekali memancing emosiku dengan selalu menanyakan hal-hal sama yang sudah jelas jawabannya? Kamu sengaja melakukannya? Kamu menikmati saat aku terlihat jahat karena marah-marah? 

“Atau itulah tujuanmu sebenarnya, menjadikan aku orang jahat di cerita ini."

"Kak..." Erina menahan tangan Eva, sorot matanya penuh permohonan. 

"Lepas. Aku tidak ingin berkata kasar di depan Papa," desis Eva dingin.

Eva menunggu Erina melepaskannya sendiri, gadis itu baru melepaskan Eva saat Saga menariknya mundur.

Tatapan tajam Eva diarahkan ke wajah Saga. Pasangan serasi, pikirnya. Karena mereka, Eva terpaksa meninggalkan makam Papa lebih cepat dari keinginannya.

*** 

Sejak terakhir kali diajak Papa ke Fantasiland, Eva tidak pernah ke sana lagi. Kalau rindu seperti saat ini, Eva hanya akan masuk ke parkiran dan diam di dalam mobil selama berjam-jam sambil melihat orang-orang berlalu-lalang. Sejujurnya itu membuat Eva merasa sangat buruk, tetapi ia lega setelah melakukannya.

Sebuah telepon mengejutkan masuk, nama Saga muncul di layar. Sejak hari Saga mendatangi hotel, mereka tidak pernah bicara lagi. Karena penasaran, Eva pun menjawabnya.

"Halo, Va? Kamu di mana? Erin—“

Detik itu juga Eva memutus sambungan dan tanpa pikir panjang memblokir nomor Saga. Saga hanya akan meneleponnya ketika itu menyangkut soal Erina dan Eva sangat benci itu.

Eva pulang ke rumah ketika hari hampir gelap, di ruang tamu ia dikejutkan dengan keberadaan Saga. Eva lupa memberitahu pembantunya untuk melarang orang ini memasuki rumahnya. 

"Erina pingsan." 

Eva hanya memandang Saga sekilas lalu melewatinya seolah Saga tidak ada. Tubuhnya sangat lelah, kepalanya pusing dan matanya perih. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah memejamkan mata sebentar. Informasi yang disampaikan Saga sama seperti sampah. Tidak berguna.

"Va." Saga menahan pergelangan tangan Eva, Eva menatapnya marah. "Seharian ini dia nangis, dia terus menyalahkan diri menjadi penyebab orangtua kalian kecelakaan karena terpengaruh sikap kamu. Dia nggak mau makan—“

"Kamu nggak harus melapor padaku dia makan atau tidak hari ini." Eva berdecak tak suka. "Kuberitahu, aku pernah tidak makan tiga hari, dan aku belum mati."

Apa jika Eva juga mengatakan dirinya belum makan sejak kemarin malam, apa Saga juga akan sepanik ini?

"Kalian harus saling mendengarkan, Va. Dulu kalian sangat dekat. Keluarkan semua kemarahan kamu, kesedihan kamu, kekecewaan kamu, penderitaan kamu di depan Erina. Tapi kamu juga harus dengarkan dia sampai selesai." 

Pertahanan Eva runtuh. Saga tertegun melihat air mata keluar dari mata Eva dan Eva merasa tidak punya kekuatan untuk sekadar mengapus jejaknya kali ini. 

Ini hari yang sangat berat untuknya, tepat delapan tahun Papa meninggal dunia. Eva tahu berlebihan jika ia mengharap seseorang menghiburnya. Maka dari itu ia hanya ingin menenangkan diri sendirian, apa itu juga terlalu berlebihan?

"Kamu selalu menuruti kata Erina. Kenapa, Ga? Kenapa?!" Sorot mata Eva begitu putus asa, ia melirih lalu diakhiri dengan teriakan frustrasi. "Apa kalau aku minta sesuatu kamu juga akan mengabulkan?" 

"Tentu saja,” jawab Saga meyakinkan. "Kamu sahabatku."

Eva menatap mata Saga. "Jangan pernah menyebut nama Erina di depanku. Bisa?"

Saga membisu.

Eva menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum miris. "Tidak bisa, kan?" 

Eva bodoh karena masih kecewa padahal jawabannya sudah jelas tanpa perlu ditanya. Padahal ia hanya minta Saga tidak menyebut nama Erina saat sedang bersamanya, bukan memutuskan hubungan dengannya.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti, karena sejak awal kamu mau berteman denganku pun itu juga demi Erina, kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status