Share

Bab 7 | Protagonis

“Ya ampun, kasihan sekali.” 

Sambil menyetir Saga melirik ke arah yang dilihat Erina. Seorang anak Ibu-ibu sedang mengamen sambil menggendong anak balita dan diusir oleh pengemudi mobil di depan. Erina menurunkan kaca jendela, memanggil Ibu itu untuk diberi uang. 

“Terima kasih, Mbak. Semoga Tuhan membalas kebaikan Mbak.” Ujar pengamen itu setelah diberi uang. 

“Orang-orang kok tega ya, padahal diberi 2 ribu saja pengamen itu pasti sudah senang,” decak Erina seolah tak habks pikir usai kaca jendela kembali terangkat. 

“Mungkin dia merasa pengamen itu masih muda dan sehat, seharusnya dia bisa cari pekerjaan lain.” Jawab Saga memberi perspektif lain. 

“Kalau memang ada pekerjaan, dia tidak akan memilih turun ke jalanan sambil membawa anaknya. Lagi pula, dia tidak mengemis, dia mengamen.” 

Jika di samping Saga ini adalah Eva, Eva akan mengatakan sebaliknya. “Aku masih akan memaklumi ya, kalau itu pedangang tisu atau jepitan rambut yang harganya 3 kali lipat dari pasaran. Mereka jelas-jelas berdagang, terserah mereka ambil profit berapa. Atau lansia yang fisiknya sudah lemah tapi nggak mati-mati, sedangkan mati kelaparan itu memalukan. Aku menghargai pengamen-pengamen di bus antar kota, mereka benar-benar bernyanyi, bukan sekedar membunyikan kerencengan. Tapi kalau dia masih bisa berdiri tegak, lari cepat menghindari lampu hijau, dan berani berpikir punya anak, mereka bukan orang yang pantas dikasihani.” 

Saat Saga menjawab dengan jawaban yang senada dengan yang Erina ucapkan barusan, Eva menjawab lagi. “Kamu lihat Pak Tua di bawah tiang lampu itu. Dia bisa saja menengadahkan tangan minta-minta, tapi dia malah menjual bunga mawar yang bisa saja layu sebelum terjual. Kamu tahu artinya apa? Semua itu tergantung pilihan.” 

Terkesan jahat dan tidak bisa memahami situasi orang lain memang, tapi Saga tidak punya sanggahan untuk menyalahkan pendapat Eva. Jika masyarakat percaya bahwa pilihan paling benar adalah pilihan yang dipilih oleh paling banyak orang, sampai kapan pun Eva akan dibenci orang-orang.

“Apa kamu akan memberikan semua pengamen atau pengemis yang kamu temui?” Tanya Saga. 

Erina menjawab tanpa jeda berpikir. “Tentu saja, seribu atau dua ribu milikku akan sangat berarti untuk mereka.” 

“Kakak pasti mikir aku sok baik ya?” 

“Eh, enggak lah.” Saga kaget ditodong pernyataan demikian. Siapa pun yang mengenal Erina pasti bisa merasakan kelembutan gadis itu. Dia pernah menaruh wadah makanan kucing di depan tokonya untuk kucing-kucing liar, tapi tidak bertahan lama, setelah diprotes oleh pemilik toko sebelah karena banyaknya kucing berkeliaran. Erina sangat sedih dan Saga menyarankan untuk menaruh wadahnya di tempat yang jauh dari tempat bisnis. Orang-orang mengibaratkan Erina seperti malaikat tanpa sayap. 

“Aku memang gampang kasihan dengan orang lain karena ingat dulu aku juga pernah susah. Sebelum menikah sama Papa Handy, Mama ditinggalkan Papa kandung aku. Kami sering pindah-pindah kontrakan karena kerjaan Mama nggak tentu. Kak Saga juga tahu aku pernah sakit lumayan parah sampai kami harus jual rumah dan mulai lagi dari nol. Aku merasa bersalah sekali sama Kak Eva karena harus ikut kerja buat bantu Papa.” 

Erina lalu menghembuskan napas panjang. “Karena itu juga aku nggak bisa menjauhi Kak Eva, nggak peduli sebenci apa dia sama aku.” 

“Aku tahu.” Kisah itu bukan kisah baru bagi Saga.

Bukan mau Saga berdiri ditengah-tengah antara Eva dan Erina. Saga berusaha memahami keduanya dan tidak memihak siapa-siapa, tapi Eva salah paham padanya. Saga benar-benar ingin melihat dua saudara itu kembali saling menyayangi seperti dulu. 

Saga hanya menyesalkan sikap Eva yang terkesan menyalahkan Erina atas sesuatu di luar kendali Erina, terlebih kejadian itu juga membuat Erina kehilangan Ibu kandungnya. Sangat tidak masuk akal karena Eva menganggap Erina bersalah hanya karena kejadian itu terjadi saat Papa Eva pergi menjemput Erina. 

Alih-alih kasmaran seperti pertama kali Saga melihat Erina, kini perasaan Saga lebih ke arah mengasihani seorang adik yang mengemis kasih sayang kakaknya. 

*** 

“Gimana?”

“Beres.” Jawab Lala begitu memasuki mobil. “Pak Syarif sebenarnya mau bertemu Mbak Ev langsung, dia masih ingin minta maaf langsung. Tapi aku bilang Mbak Ev super sibuk dan nggak usah bilang siapa-siapa kalau Mbak Ev yang memberi bantuan karena Mbak Ev nggak mau ada omongan-omongan aneh."

Eva mengangguk sekali. “Kamu awasi terus dia sampai usahanya stabil. Pak Syarif tidak bilang apa-apa lagi?”

Lala menggeleng. “Dia cuma berterima kasih berkali-kali dan masih nggak percaya Mbak Ev membantunya buka usaha.”

Kejadian kemarin tidak mudah bagi Pak Syarif, dia yang tidak mengerti apa-apa, tiba-tiba mendapat banyak perhatian. Dia tidak bisa kerja jadi kurir lagi dan tetangga mengucilkan keluarganya. Pak Syarif kesulitan mencari kerja mengingat usianya yang sudah tua. Mengetahui itu Eva menyuruh Lala untuk melihat apa yang bisa dilakukan. Ternyata Pak Syarif punya rencana untuk berjualan bakso dan mie ayam namun terkendala modal, dia sedang berusaha mencari pinjaman untuk membeli gerobak bekas yang bisa dipakai. Eva kemudian memutuskan untuk menyewakan Pak Syarif sebuah kios, lokasinya dekat pasar dan merupakan kawasan ramai karena dekat dengan sekolahan juga.  

Awalnya Pak Syarif menolak karena merasa bersalah terhadap Eva, namun Lala berhasil meyakinkannya dengan berkata bahwa membantu Pak Syarif membuka warung tidak ada apa-apanya untuk seorang Evaria Dona, terlebih yang akan turun tangan membantu bukan Eva, melainkan Lala.

“Bagus.” Puji Eva karena Lala berhasil melakukan tugasnya tanpa ketahuan Prita, karena kalau sampai Prita tahu, Prita tidak akan menyia-nyiakannya sebagai bahan pencitraan Evaria. “Sekarang, ini buat kamu.” Eva memberikan sebuah tas kertas berlogo sebuah merek sepatu ternama.

Lala memekik takjub. “Ini buat aku, Mbak Ev?”

“Buka dulu isinya, baru girang.”

“Melihat bungkusnya saja aku sudah senang.” Dengan antusias Lala membuka isi tas kertas itu, di dalamnya ada dus berisi sepasang sneakers impiannya yang tidak terbeli karena mahal dan susah dicari di dalam negeri. “Wah, Mbak Ev...” Lala terharu, ia memeluk Eva sangat erat.

Eva berlagak gerah dipeluk tetapi tertawa geli. 

“Aku pakai sekarang ah.” Lala benar-benar mengganti sepatunya dengan sepatu baru, Eva yakin sampai nanti malam Lala tidak akan bisa berhenti menggerakkan kakinya jalan kesana kemari. Kecuali ada kejadian luar biasa seperti tidak sengaja menginjak kotoran anjing.

“Senang?” 

“Iya!!!” 

“Kalau aku mau minta tolong sesuatu kamu akan bantah, nggak?”

“Tidak!!!”

“Keluar.”

“Hah?”

Eva tersenyum manis. “Aku mau jalan-jalan ke mal sendiri sekarang.”

Wajah Lala menunjukkan keberatan. “Kalau ketahuan Mbak Prita lagi bagaimana?” 

“Tidak akan ketahuan kalau kamu tidak keceplosan.”

“Mbak Ev... Kok begitu sih?” Lala merengek berharap Eva akan merubah pikiran. "Apa enaknya jalan di mall sendiri?"

Eva berdecak tak sabaran, menunjukkan wajah aslinya yang garang. “Kalau kamu cerewet, aku ambil lagi sepatunya!” 

“Eh jangan-jangan.” 

Ancaman itu berhasil membungkam Lala. Dengan berat hati Lala turun dari mobil dan membiarkan Eva pergi.

Kegiatan belanja selalu bisa jadi terapi terbaik menjaga suasana hati, itulah kenapa semua akan lebih mudah jika punya banyak uang. Orang berekonomi pas-pasan tidak akan menyetujui teori itu, dan berkata uang bukanlah sumber kebahagiaan dunia. Tidak salah, semua orang punya cara masing-masing untuk merasa lebih baik. Orang bersangkutan lah yang paling tahu mana yang paling sesuai dengannya.

Kalau Eva, perasaannya akan tenang setiap kali memasuki gerai sepatu dan melihat sepatu-sepatu cantik berjejer memamerkan pesonanya. 

***

Eva berbohong jika mengatakan dirinya tidak tertekan memikirkan kasusnya meski ia yakin pengacaranya pasti akan mengupayakan yang terbaik. 

Bagaimana jika ia diputus bersalah dan ia dihukum penjara? Bagaimana dengan kerja kerasnya selama ini? Bagaimana Eva akan melewati sisa harinya nanti?

Ia ingin semua ini segera berakhir lalu mengambil istirahat panjang. 

“Berapa lama?” Tanya Prita saat Eva mengatakan keinginannya vakum sementara. 

“Setahun atau dua tahun.” 

“Apa?!” Jawaban Eva tidak disangka-sangka Prita. “Kamu mau melakukan apa selama itu? Saat kamu kembali, bisa-bisa kamu harus mulai dari awal lagi karena posisimu diambil artis-artis baru.” 

Sejujurnya Eva belum tahu apa yang ingin ia lakukan, ia hanya tidak ingin melakukan apa-apa setelah kasus ini selesai. “Ya, mungkin liburan. Tujuh tahun ini aku belum pernah benar-benar istirahat, kan?” 

“Mau liburan ke mana? Kita nanti bisa tur Eropa sebulan.” 

“Aku ingin punya waktu sendiri, Mbak."

Prita menghela nafas lalu menatap Eva lama. “Kalau begitu kita bicarakan setelah kamu menentukan tujuanmu.” Prita memutus percakapan dan tidak mau mendengar Eva lagi. 

Eva memaklumi sikap keberatan Prita. Sebagai manajer, artis yang ditangani Prita hanya Eva saja, jika Eva tidak produktif, imbasnya akan ke Prita juga. 

“Sudah waktunya. Ayo berangkat.” 

Hari ini sidang pertama kasus penganiayaan itu digelar, Eva siap menghadapi apa pun yang bisa terjadi. Ia akan menunjukkan sikap tenang dan percaya diri. 

Saat menuju ruang sidang, Eva beserta rombongannya berpapasan dengan Erina. Erina menghalangi jalannya dan Lala sudah bersiap untuk memintanya menyingkir. 

“Aku ingin bicara dengan Kakak, lima menit saja.” Pinta Erina. 

Eva ingin langsung menolak tapi ia tak ingin menimbulkan kecurigaan beberapa wartawan yang datang khusus untuk memantau sidangnya. Eva kemudian memberitahu Prita untuk masuk ruang sidang lebih dulu. 

Eva memimpin langkah di depan, mencari area kosong yang dirasa aman. 

“Bicara sekarang.” 

“Kenapa Kakak nggak pakai rekaman CCTV yang aku beri?” 

“Kenapa kamu pikir aku akan butuh itu?” 

“Aku mau Kakak tahu kalau bukan aku yang merencanakan semua ini.” 

Eva memutar bola mata jengah, itu persis seperti yang dikatakan Saga. Erina tidak terlibat apa-apa. “Tapi kamu tahu dan membiarkannya.” 

“Aku sudah berusaha menghentikan Mira, Kak.” 

“Oh ya? Apa kamu juga berusaha menghentikan dia saat dia berusaha mencari-cari masalahku, ini bukan perbuatan pertama dia. Dia sudah melakukannya sejak tiga tahun lalu.” 

“Aku nggak mungkin bisa tahu semua yang Mira lakukan.” 

“Cerita kamu tentang aku pasti dramatis sekali sampai-sampai orang luar seperti Mira mau terlibat langsung. Terlepas dari itu benar atau tidak, rendah sekali orang-orang yang memakai cerita sedih untuk mendapatkan simpati orang lain.” 

Erina menggeleng-gelengkan kepala, tidak terima tudingan Eva. “Aku nggak pernah cerita apa-apa, aku berani sumpah, Kak. Dia memang sering mengomentari perlakuan Kakak ke aku, sudah aku coba luruskan tapi dia malah anggap aku bodoh.” Jelasnya. 

“Kak.” Erina mulai membuat Eva jengah dengan jurus andalannya, air mata. “Saat Mira berulah, inilah yang aku takutkan. Kakak akan semakin menjauhi aku.” 

Eva melengos membuang muka. “Lima menit kamu sudah habis.” 

“Aku mau jadi adik Kakak lagi.” 

Ucapan Erina menghentikan gerak Eva. Tatapan Eva menusuk tajam, mencoba meraba adakah maksud lain dari ucapan Erina. Erina sangat bebal, seperti bola yang terus memantul saat dilempar. Tidak peduli sejahat apa Eva memperlakukannya, Erina tetap kembali seolah sikap Eva tidak berarti apa-apa. Jika mereka dalam satu cerita, sangat tepat mengibaratkan Erina sebagai tokoh protagonis dan Eva antagonis. Erina digambarkan memiliki segudang kesabaran untuk menghadapi Eva yang tidak berperasaan. 

“Apa maumu sebenarnya?” Desis Eva benar-benar tidak bisa menebak jalan pikiran Erina. 

“Aku tahu Kakak masih menganggap aku penyebab kecelakaan Papa Mama, aku tidak akan berusaha menyangkal lagi. Anggap saja aku memang bersalah, karena itu aku nggak akan pernah berhenti sampai Kakak memaafkan aku.” 

“Kamu bilang itu cuma kecelakaan.” Eva tidak pernah bisa biasa setiap ada yang menyebut kejadian itu hanya kecelakaan, meski mereka mengatakan atas dasar kesimpulan kepolisian. 

“Kakak benar, seharusnya aku tetap di rumah saat Papa melarangku pergi hari itu. Aku nggak tahu kalau malam itu Papa sedang mabuk dan aku malah minta jemput.” Erina menangis tersedu-sedu, dengan suara ditahan-tahan. “Tapi Kak, Mama aku juga meninggal karena kejadian itu."

Tangan Eva menggapai-gapai dinding terdekat mencari pegangan, kepalanya mendadak pusing. Semua orang mengatakan Erina tidak layak disalahkan karena kematian adalah kehendak Tuhan, Eva dianggap terlalu kejam dan tidak bisa menerima kenyataan. 

Padahal mereka hanya sebatas tahu dari apa yang muncul di permukaan, seperti gunung es, tidak ada orang yang bisa mengukur yang tersembunyi di bawah. Tidak akan ada yang bisa mengerti perasaan Eva. Meski Erina juga kehilangan orang yang dicintainya, tapi Erina tidak tahu apa-apa. 

“Kak, aku ingin kita kembali seperti dulu." 

Erina mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah bisa Eva berikan. Saat Erina berusaha menyentuh tangan Eva, Eva seketika mendorongnya hingga jatuh bersimpuh. 

Erina menyebalkan, sangat menyebalkan. Harus bagaimana lagi Eva mengatakan ia tidak sudi dekat-dekat dengannya? Di mata Eva, Erina hanya pembawa sial dalam hidupnya. "Berhenti Erina, kapan kamu akan mengerti kalau aku sangat membenci kamu?"

"Kakak hanya marah dan sedih, Kakak nggak benar-benar membenci aku."

Eva kehabisan kata-kata, Entah Erina memang tidak tahu diri atau memang dirinya tulus hingga mengabaikan harga diri. Eva memandangnya sekali lagi sebelum berbalik untuk pergi.

“Aku akan melakukan apa pun asal Kakak bisa memberi aku kesempatan."

Langkah Eva terhenti, memangnya apa yang bisa Erina lakukan selain menangis dan membuat Eva tampak jahat? Baiklah, mari kita lihat dia bisa apa. “Apa pun?"

Erina mengangguk dengan pasti. “Iya, apa pun.”

"Buktikan saja kalau begitu."

Eva lalu menggerakkan kakinya meninggalkan Erina yang masih dalam posisi bersimpuh. Baru beberapa langkah, Eva berpapasan dengan Saga yang berlarian seperti jantan kehilangan betinanya. Saga tampak terkejut melihat posisi Erina, dia menatap Eva dengan rahang mengetat.

“Aku sedikit mendorongnya. Jangan salahkan aku. Salah dia sendiri karena terlalu lemah.” Ujar Eva sebelum melangkahkan kaki lagi meninggalkan pasangan paling romantis abad ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status