Share

Bab 08 | Memihak Diri Sendiri

Orang percaya diri percaya bahwa dirinya sendiri bisa dipercaya

Sidang berakhir tak terduga bahkan oleh Eva sendiri. Semua orang terkejut saat Erina mengubah keterangannya selama pemeriksaan, hakim sampai mengingatkan konsekuensi jika kesaksian Erina di persidangan adalah palsu. 

Dengan yakin Erina berdalih bahwa saat itu ia bingung dan tidak tahu apa yang benar-benar terjadi sedangkan Mira terus menekannya untuk menyembunyikan rekaman CCTV itu, sehingga Erina terpaksa menuruti apa kata Mira dan berbohong pada penyidik bahwa kamera CCTV di tokonya hanya pajangan.

Erina menyerahkan rekaman CCTV itu untuk mendukung kesaksiannya kali ini bahwa Mira lah yang menyerang Eva lebih dulu, sekaligus mematahkan tudingan bahwa hubungannya dengan Eva buruk. Mira menjadi orang yang paling kaget, itu adalah pemandangan terbaik sejauh ini di mata Eva.

Mira tidak memiliki apa-apa lagi sekarang untuk membela diri, satu-satunya saksi kejadian itu memberikan kesaksian memberatkan. Sidang berakhir dan akan berlanjut ke sidang berikutnya diwaktu mendatang. 

Begitu keluar dari ruang sidang, Eva langsung ditodong memberi keterangan ke awak media yang sudah menunggu. Eva mengungkapkan terima kasih pada semua orang yang sudah percaya dan mendukungnya. “Bukan siapa yang menyerang lebih dulu, saya rasa kita juga harus tahu alasan dia menarik saya sampai sejauh ini. Insiden itu tidak akan terjadi kalau saja dia tidak menghasut seorang kurir untuk menyebarkan informasi palsu terkait saya. Seperti yang saya katakan di persidangan, hari dimana insiden itu terjadi, saya datang karena ingin menanyakan alasan dia melakukannya.” 

“Apa benar pelapor adalah sahabat adik tiri Anda?” 

“Benar. Saya juga mengenalnya dari dia.” 

"Kalau hubungan Anda dengan adik tiri Anda baik, mengapa Anda mengembalikan bunga kirimannya?" 

Eva tersenyum, pertanyaan bagus. "Seperti yang diketahui, adik tiri saya punya toko bunga. Di sinilah letak kesalahpahamannya. Saat saya membaca kartu ucapan, yang tertulis disana adalah ucapan selamat ulang tahun yang bukan ditujukan ke nama saya dan pengirimnya pun bukan Erina. Karena saya pikir Erina salah kirim, jadi saya mengembalikannya agar bisa dikirim ke alamat yang benar. Salah saya juga karena tidak menghubungi Erina setelah itu." Eva sangat lancar mengatakan kebohongan.

“Apa yang membuat adik Anda mengubah kesaksiannya di hari sidang?"

“Masalah mengapa dia mengubah kesaksian, nanti kalian bisa tanyakan sendiri. Di sini saya mau bilang bahwa hubungan kami tidak seburuk itu, saya memang tidak pernah menunjukkan dia ke publik karena ingin dia menjalani keseharian seperti orang kebanyakan. Saya tidak ingin dia dipandang berbeda hanya karena orang-orang tahu dia adik Evaria Dona.” 

Eva mengakhiri keterangannya dengan kebohongan lain. Hitam tidak bisa dilawan dengan putih, meski hanya perlu setitik hitam untuk merusak putih. 

“Nggak salah kamu jadi aktris terbaik.” Ujar Prita begitu mereka memasuki mobil. “Apa itu tadi? Ingin melindungi privasinya? Seingatku, sampai tadi pagi kamu masih seolah-olah nggak kenal dia.” 

“Kenapa akhirnya dia bisa berubah pikiran?” Tanya Prita melanjutkan. 

“Entahlah...” Pandangan Eva mengarah ke depan, pada Erina yang baru keluar dan sedang dikerubungi wartawan. Dia terlihat tidak nyaman dan mencari-cari jalan keluar. “Dia bilang, dia ingin jadi adik yang baik.” 

Tampak akhirnya Erina menyerah dan diam untuk meladeni permintaan wartawan.

“Bukankah dia sangat mengerikan?” Lala memandang ke arah yang sama. “Dia menusuk temannya sendiri dari belakang.” 

“Dia memang seperti itu.” Jawab Eva, fokusnya kini teralih ke Saga yang masih mendampingi Erina. “Semua orang sudah tertipu.” 

***

Di samping fakta persidangan yang meringankam Eva, publik juga heboh membicarakan betapa cantiknya adik tiri Evaria Dona. Mereka makin terkagum-kagum usai menemukan akun instagram Erina yang kebanyakan isinya bunga-bunga dan masakan kreasinya. Mereka langsung bisa memaklumi ‘keplin-planan’ Erina dan fakta bahwa ia menghianati temannya. Tidak diragukan lagi, dunia selalu berpihak pada Erina.

Sementara itu jangan tanya bagaimana nasib Mira, dia sudah dianggap sebagai pembohong terbesar. Meski merasa kasihan, tapi inilah harga yang harus Mira bayar. Dia harus bertanggungjawab atas kekacauan yang dia ciptakan dengan sadar.

“Enak, kan, Kak?” Tanya Erina saat Eva memasukkan potongan salmon ke mulutnya. Setelah dua hari mencari-cari alasan menghindari ajakan makan siang Erina dan gadis itu tidak ada tanda-tanda akan menyerah, akhirnya Eva yang mengalah. “Ini menu terbaru Kak Saga, dia sempat minta pendapat aku sebelum dijadikan menu di sini.”

“Nggak enak.” Seketika Eva meletakkan pisau dan garpu di atas piring olahan ikan salmon yang sebenarnya tampak menggoda.

Erina kecewa. “Kakak nggak suka salmon?”

“Suka.” 

“Oh, mungkin nggak sesuai selera Kakak, ya?”

Eva menatap Erina selama beberapa saat, memberi waktu Erina memakan makanannya.sebelum bertanya, ”aku nggak minta kamu untuk mengubah kesaksian, kenapa kamu melakukannya?”

“Karena aku nggak ingin menempatkan Kakak di posisi sulit.”

“Bukan karena kamu terlanjur sesumbar bilang bisa melakukan apa pun untukku?”

“Jujur, iya.” Erina meringis kecil. Bukannya jelek, wajahnya jadi tampak menggemaskan. 

Eva melipat tangan di dada, punggungnya bersandar santai di sandaran kursi. “Jadi, apa pun yang kamu maksud itu termasuk menghianati temanmu sendiri?”

“Aku nggak menghianati Mira.” Seru Erina defensif. “Sebenarnya aku marah sama dia karena memakai namaku untuk dendam pribadinya.”

“Maksudmu dia melakukan itu bukan untuk membelamu?”

Erina menggeleng-gelengkan kepala. “Dia selalu 

bilang agar aku membalas setiap kali Kakak marah, padahal dia tahu kalau aku sama sekali nggak membenci Kakak. Kakak mungkin nggak sadar, tapi Mira pernah bilang kalau Kakak sudah menghancurkan hidupnya."

Eva menaikkan sebelah alis bingung, dengan sabar menunggu Erina melanjutkan. 

“Kejadiannya sudah lumayan lama, saat itu dia baru-baru jadi wartawan dan Kakak sedang sangat populer. Atasannya ingin mendapat wawancara eksklusif Kakak, Mira bilang ke atasannya itu kalau dia mengenal Kakak secara pribadi, jadi atasannya langsung mempercayakan itu ke dia. Tapi  saat menanyakan itu pada Kakak, Kakak tidak menggubrisnya, malah seperti nggak pernah kenal. Salah satu temannya yang melihat itu menyebarkannya di kantor dan akhirnya dia dianggap pembohong. Dia minta bantuanku untuk bicara dengan Kakak, aku nggak bisa bantu karena Kakak blok nomor aku."

Eva coba mengingat-ingat, sepanjang karirnya tidak terhitung berapa kali ia dihampiri wartawan dengan berbagai karakter dan biasanya situasinya sangat kacau. Eva tidak bisa benar-benar mengingatnya. “Lalu kenapa dia tidak pakai alasan itu, dan malah menyinggung hubungan kita?"

“Aku tidak tahu, mungkin dia malu, akhirnya sadar kalau itu bukan salah Kakak."

“Apa kamu sadar kamu juga baru saja mempermalukan dia?” 

“Itu kesalahannya sendiri.” Erina mengelak disalahkan. “Berapa kali aku harus bersumpah supaya Kakak percaya kalau aku nggak terlibat sama sekali? Mira yang merencanakannya sendiri, aku juga baru tahu saat beritanya mulai heboh. Saat itu aku sudah coba bicara ke dia, tapi aku benar-benar tidak bisa menghentikannya. Aku sengaja berbohong saat dia menyuruhku menghapus rekaman CCTV itu karena aku nggak tahan dia menekanku terus-terusan.” Erina menundukkan kepala dalam. “Dia bilang aku bodoh.”

Jika benar seperti itu, Eva bisa bayangkan bagaimana tertekannya Mira di tempat kerja. Sebagai karyawan baru, Mira memberi kesan awal yang buruk. Tetapi bagaimana pun juga Mira seharusnya tidak berpikir akan mendapatkan jalur khusus hanya karena mengenal secara pribadi dengan Eva, itu pun hanya sekedar pernah bertemu karena Mira berteman dengan Erina. Ada prosedur yang harus diikuti, Mira bisa menghubungi dan membahasnya dengan Prita. Eva hanya bekerja di depan kamera, urusan jadwal dan lainnya sepenuhnya di tangan Prita.

“Sekarang dia pasti kecewa sama kamu.”

“Mau bagaimana lagi.” Erina menghembuskan nafas panjang. “Aku nggak mau ikut disalahkan dan Kakak jadi makin salah paham terhadapku.”

Yang pasti Eva tidak akan pernah bisa memahami Erina. Entah dia memang lugu atau memiliki rencana yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Jika memang Erina merasa Mira salah, Erina tidak pernah memihaknya sejak awal. Apa pun alasannya. Erina jelas bukan orang yang bisa dipegang perkataannya.

Eva melirik piring Erina yang sudah kosong. “Kalau kamu sudah selesai, aku akan pergi.”

“Kakak mau langsung pergi?” Eva menatap Erina malas. “Aku kira, karena kita sudah berdamai, kita bisa menghabiskan waktu lebih lama.”

“Aku sibuk.”

Erina tersenyum cerah, setidaknya Eva tidak memakai alasan karena tidak ingin melihat wajahnya. “Kalau begitu, apa kita bisa foto dulu? Kakak juga harus unblock nomer aku, biar aku nggak perlu hubungi Kakak lewat Lala.”

Sebelum Eva sempat mengelak, tangan Erina sudah diangkat tinggi-tinggi melambai pada Saga yang kebetulan lewat.

Saga menghampiri meja mereka, tentu hanya Erina yang ceria menyambutnya. Sedangkan Eva membuang muka. "Kak, tolong ambil foto aku sama Kak Eva, ya?” Padahal jika hanya untuk itu, Erina bisa memanggil pelayan.

Ayo selesaikan ini dengan cepat! Eva memerintahkan tubuhnya untuk berdiri, Erina merangsek mendekatinya. Erina mengapit lengan Eva dan mendekatkan kepalanya dengan kepala Eva, senyumnya sangat lebar dari kiri dan kanan. Saga menggambil beberapa kali jepretan tetapi tampak sama saja karena Eva hanya memasang ekspresi dingin. 

“Sudah.” Eva sedikit menggeser tubuh Erina agar tidak terlalu menempel dengannya.

Erina meminta ponselnya lagi dari tangan Saga, ia terdiam sebentar melihat satu per satu foto itu lalu tersenyum cerah pada Eva. “Bagus, Kak. Aku nggak boleh upload, kan ya?” 

"Terserah kalau kamu ingin aku dibilang bohong ingin melindungi privasimu."

Erina mengangguk mengerti. “Sepertinya aku harus pergi dulu, Kak. Aku dapat pesan dari karyawanku, toko sedang sibuk.” 

“Hmm."

Erina memeluk Eva erat tanpa Eva duga. “Terima kasih, Kak. Aku senang sekali.” 

Jika mengikuti perasaannya, Eva sudah mendorong Erina dengan kuat. Pandangan  Eva tidak sengaja bertemu pandang dengan Saga, lelaki itu menatapnya dengan tatapan sulit terbaca.

Saga mengantar Eva dan Erina ke luar, taksi Erina sudah menunggu di depan. “Kak Saga, terima kasih makanannya. Kak Eva, nanti aku kirimi foto kita, ya.” Ujar Erina sebelum taksinya berjalan.

Saat Eva akan menuju mobilnya, Saga buka suara. “Aku sedang istirahat.” Sebelah alis Eva terangkat, Saga memberinya informasi tidak penting. “Mau mampir ke atas?”

*** 

Sambil menyiapkan teh untuk Eva, Saga terus memperhatikan Eva dari pantry kecil di sudut ruangannya. 

Eva menyentuh bingkai foto berisi fotonya sendiri. Itu adalah saat pertama kalinya Eva menjadi model sampul majalah, yang mana bertepatan dengan hari ulang tahun Saga. Eva menggunting foto itu dan menaruhnya di bingkai sebagai kado ulang tahun untuk Saga. Eva sengaja membuat Saga kesal karena Saga sempat bilang ingin kado mahal karena Eva sudah punya banyak uang. 

Entah apa yang Eva pikirkan sehingga memandangi fotonya begitu lama, dan diam-diam membalik foto itu menghadap bawah, ingin disingkirkan dari pandangannya.

“Apa sengaja mendekati Erina bagian dari rencanamu memenangkan kasus ini?” Saga tahu-tahu sudah berdiri di belakang Eva. 

Eva menatapnya tak suka, ekspresi sama setiap kali Saga menyebut nama Erina. “Aku kira karena kalian sudah berdamai, nama itu nggak terlarang lagi.” Tambah lelaki itu. 

Saga meraih tangan kanan Eva, mengenggamkan mug berisi teh hangat Agar Eva bisa merasakan hangatnya. 

"Kamu terlihat nggak yakin dengan apa yang kamu lakukan, Va."

Eva membuang muka, matanya mengerejap pelan, tebakan Saga tepat sasaran. "Aku memang belum bisa terima dia."

"Lalu kenapa kamu berikan dia harapan?"

"Aku nggak pernah menyuruhnya mengubah kesaksian. Dia bilang bisa melakukan apa pun untukku, dan aku menyuruh dia membuktikan." Eva menghembuskan nafas frustrasi. Lagi-lagi Saga menuntut penjelasan sesuatu yang tidak ia lakukan. "Sudah lah, apa pun yang aku katakan, kamu tidak akan percaya."

Tatapan itu mengingatkan Saga terakhir kali Eva menangis, satu kejadian yang tidak bisa Saga lupakan dan mengacak-acak pikirannya. Yang sebenarnya terjadi pasti bukan sekedar salah paham seperti yang diketahui Saga selama ini. Dengan hati-hati, Saga bertanya. “Apa masih ada hal yang belum aku tahu?” 

“Ada atau tidak, itu bukan urusanmu.” Eva masuk lagi ke dalam benteng, mencegah siapapun bisa menyentuhnya. “Jangan sekali-kali berlagak sok ingin membantu, kamu cukup jadi penonton saja. Biar aku dan Erina memainkan peran kami.”

“Ma—“

“Dan jangan jadi komentator juga kalau masih berat sebelah.” Eva memotong.

“Jadi pelukan tadi belum benar-benar gencatan senjata?”

“Kenapa masih ditanya? Masih untung aku nggak dorong dia." Erina memutar bola mata. "Kenapa? Kamu nggak terima aku sedikit bermain-main dengan pacarmu?” 

“Bukannya kamu menyuruhku diam?" Saga mendengus sebal, Eva dan prasangka buruknya memang sulit diarahkan. “Tunggu di sini, kamu harus makan sesuatu sebelum pergi.”

***

Saat Saga kembali, ternyata Eva ketiduran di sofa. Saga ingin membangunkannya agar Eva bisa makan, tetapi melihat wajah lelah Eva, sepertinya perempuan ini lebih butuh tidur daripada makan.

Saga berniat memindahkan Eva ke ranjang agar bisa tidur lebih nyaman, ketika Eva tiba-tiba terbangun begitu Saga menyentuhnya. "Mau lanjut tidur?" 

Eva tidak langsung merespon, bola matanya bergerak-gerak cepat seperti orang kebingungan.

Eva mengusap kepalanya, rambutnya masih kering. Tangannya kemudian beralih mengelus sepanjang bahunya sendiri dan ia menaikkan kaki dari lantai. Nafas Eva memburu seperti baru saja menyelesaikan lari panjang. Dengan panik perempuan itu memeriksa kakinya, ia mengibas-ngibaskan telapak kakinya padahal tidak ada setitik pun noda di sana. Saga makin bingun saat Eva menekan kuat jempol kaki kanannya yang tampak baik-baik saja.

“Va, Kamu kenapa?”

“Hentikan, Eva! Ada apa denganmu?!” Eva mengerejapkan mata cepat.  Guncangan Saga di bahunya menghenyak kesadarannya kembali. Saga memaksa Eva untuk menatap matanya. “Eva!” 

“Tenang.” Bisik Saga membimbing Eva mengolah pernafasan.

Perlahan nafas Eva mulai teratur, tubuhnya tidak lagi tegang dan ia melepaskan kakinya perlahan. “Aku mau pulang.” 

“Sebentar, aku antar.”

“Nggak, aku pulang sendiri.”

“Aku nggak akan membiarkan kamu pulang sendiri dalam keadaan begini.”

“Aku baik-baik saja.” Entah siapa yang coba Eva bohongi karena siapapun bisa melihat Eva sedang tidak baik-baik saja.

“Aku nggak menawarkan, Va. Aku memaksa.”

“Aku bisa menyetir sendiri.” 

Saga tidak mendengarkan bantahan Eva lagi, ia meraih tas Eva dan berjalan mendahuluinya ke pintu. Saga berhenti di ambang pintu lantaran Eva tak kunjung beranjak, Eva terlihat sudah berdiri tapi seperti ragu-ragu untuk menggerakkan kaki. Saat menyadari Saga tengah memperhatikannya, Eva akhirnya mulai bergerak dari tempatnya. 

Di tengah perjalanan, langit tiba-tiba gerimis. Eva memandang ke luar jendela sambil melipat tangan di dada. 

“Kamu tadi mimpi buruk?” Saga tidak tahan untuk tidak bertanya. Eva masih bungkam, Saga tahu sampai kapan pun dirinya tidak akan mendapat jawaban. “Kalau kamu hanya menyimpannya sendiri, bagaimana aku bisa memihakmu?”

“Kalau begitu jangan pedulikan aku. Hanya orang lemah yang butuh dukungan.” Jawab Eva sebelum hening panjang mengambil alih suasana. "Aku... Bisa memihak diriku sendiri."

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status