Share

Bab 09 | Apa Kabar, Va?

Saling mengenal, belum tentu saling memahami. Di saat kita merasa sudah cukup mengenal, sesungguhnya kita baru memutuskan berhenti mengenal

"Jangan keluar, Rin. Malam ini akan turun hujan.”

“Itu kan cuma perkiraan, Papa. Bisa saja meleset." Jawab Erina sembari mengikat tali sepatunya. “Aku sudah terlanjur beli tiket, kan sayang kalau nggak jadi.”

“Tidak apa-apa, itu uang nggak seberapa. Nanti Papa ganti." 

“Jangan begitu, Pa. Uang tidak seberapa itu hasil keringat Papa.” Eva memprotes jawaban Papanya. Sejak ia tahu bagaimana susahnya mengumpulkan uang, Eva makin menghargai tiap rupiah yang ia miliki.

Papa menghela nafas karena tidak berhasil menahan Erina pergi ke konser musik yang diadakan di lapangan terbuka. “Nanti pulang sebelum jam 9.” Pesan Papa.

“Yah, jam segitu konsernya baru dimulai.”

“Erina." 

“Papa tenang saja, aku sama teman-teman kok. Nanti ada temanku yang mengantar pulang sebelum jam 12. Oke? Dadah Papa, Dadak Kakak.” Erina berlari pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

Di rumah kini hanya ada Papa dan Eva, Eva sedang libur dan seharian hanya bermalas-malasan di kamar. “Mama ke mana, Pa?” Tanya Eva tak melihat mama tirinya itu sejak bangun tidur pukul 11 siang.

“Ada urusan.”

“Kok nggak sama Papa?” 

“Masa Papa ikut dia arisan?” 

“Perasaan belakangan Mama ikut banyak sekali arisan.” Gumam Eva seperti tidak yakin. "Arisan apa sampai jam segini belum selesai?"

Papa menyentuh pundak Eva sambil lalu tanpa membantu Eva mendapatkan jawaban keheranannya. 

Benar saja, hujan turun sangat deras di malam hari. Jam sembilan malam Erina minta dijemput karena konser tidak mungkin digelar di tengah hujan lebat. Papa langsung pergi saat itu juga, terlihat sangat ingin segera membawa Erina pulang. Eva bahkan sempat mencandai, “Tenang, Pa. Ini cuma hujan air, bukan batu yang sekali kena kepala langsung gagar otak lalu mati." 

Papa malah memarahi Eva agar tidak sekali-kali bercanda dengan kata mati. “Kita semua bisa mati tanpa sebab. Kalau Papa mati, kamu baru akan tahu kata itu tidak lucu sama sekali.”

Eva tersinggung, respon Papa terlalu berlebihan meski ia tahu Papa sedang buru-buru. Eva mendekam di kamar begitu Papa pergi, ia tidak akan bicara sebagai bentuk kekesalannya. Ia pernah pulang kerja hampir tengah malam dalam keadaan hujan, dan Papa terlihat masih bisa santai menunggunya sambil nonton televisi.

Eva terkejut saat pintu kamarnya terbuka dan Erina muncul di sana dengan baju basah kuyup. Perasaan ia tidak mendengar suara mesin mobil butut Papa yang berisik. “Kok aku nggak dengar suara mobilnya Papa?”

“Aku pulang diantar teman aku, aku sudah bilang kok nggak jadi minta jemput. Mungkin Papa masih di jalan.” Jelas Erina sebelum mengambil handuk dan membawanya ke kamar mandi. 

Dua jam kemudian Papa belum juga pulang, untuk bolak balik dari dan ke alun-alun kota hanya butuh waktu paling lama sekitar satu jam. Mama Erina juga belum pulang. Erina sendiri bahkan sudah tidur setelah mengeluh masuk angin.

“Rin,” Eva mencoba membangunkan Erina. “Kamu yakin sudah memberitahu Papa kalau kamu pulang sama temanmu?” 

“Aku tadi telepon Papa, dia bilang iya akan langsung pulang. Mungkin Papa mampir ke suatu tempat.” Jawab Erina lalu melanjutkan tidurnya. 

"Mama juga belum pulang Lho, Rin." 

"Oh, mungkin Papa sekalian jemput Mama."

Segala mungkin sudah Eva pikirkan, dari kemungkinan yang terdengar wajar hingga yang takut ia bayangkan dan itu malah membuatnya makin tak tenang. Berkali-kali Ia menghubungi Papa tapi teleponnya tidak diangkat, pun dengan Mama Erina yang ponselnya bahkan tidak aktif. 

Eva tidak sempat melirik jam, yang jelas itu sudah  lewat jam 12 malam, ketika ponselnya berdering ada telepon dari nomor asing. Eva menjawabnya dengan perasaan cemas.

Pikiran Eva kosong, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan lebih dulu. Ia berusaha membangunkan Erina, tapi Erina terlalu nyaman dalam tidurnya, sementara Eva tidak bisa menunggu sedetik lebih lama. 

Di tengah malam, Eva menerjang derasnya hujan. Jalan raya sangat lengang, tidak ada satu pun angkutan umum atau kendaraan yang mau memberi tumpangan. Eva berlari sekencang yang ia mampu hingga kakinya tersandung batu dan membuat tali sandal jepitnya terputus. Eva bisa melihat kuku jempol kakinya merenggang dan mengeluarkan banyak darah yang menyatu dengan aliran air hujan, tetapi itu tak menghentikan Eva untuk segera melihat keadaan Papa di rumah sakit. 

*** 

Terkadang potongan ingatan itu muncul dalam tidurnya bagai mimpi buruk yang tidak bisa hilang meski kedua mata sudah terbuka. 

Mereka tiba di rumah Eva saat hari sudah hampir petang dan hujan mulai deras, Saga memarkir mobil Eva dalam garasi.

“Bagaimana kamu akan pulang?” tanya Eva.

“Aku bisa panggil taksi online.”

“Baiklah.”

“Aku akan menunggu sambil minum kopi.” Saga menerobos masuk ke dalam rumah melalui pintu penghubung garasi, Saga tahu Eva tidak akan menawari, maka dari itu ia tidak tahu diri. 

Di ruang tengah Lala sedang bersantai sambil memakai masker wajah, ia tertawa cekikikan menonton acara komedi. Seketika Lala melompat bangun saat melihat Eva dan Saga masuk.

“Beri dia kopi lalu pastikan langsung pulang begitu kopinya habis.” Eva memberi instruksi sambil berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

Ditinggalkan berdua dengan Saga, Lala tidak tahu harus melakukan apa. “Ehm, Mas Saga mau kopi?” 

“Saya bisa membuatnya sendiri.” 

“Eh?”

Merasa tidak benar, Lala mengikuti Saga ke dapur. Ia terpaksa melepas sheet masknya padahal belum 15 menit, sialan. 

“Mas Saga, saya bisa bantu. Mas Saga tunggu saja.”

“Kamu bisa lanjut nonton, Lala. Jangan pedulikan saya.”

“Tapi... bubuk kopinya bukan di dalam kulkas.” Alih-alih membuat kopi, Saga lebih terlihat seperti sedang menggeledah.

“Saya tahu.” Saga membuka kulkas tinggi dua pintu itu untuk melihat isinya, hanya ada botol-botol air, kopi rasa cappuchino kemasan, dan bir-bir dingin. Di freezer ada beberapa jenis makanan beku yang hampir kadaluarsa. Sisanya hanya buah apel, pisang, dan sayur salad dalam kemasan siap makan.

Saga menutup kulas dengan kasar. “Apa setiap hari dia cuma makan salad dan apel?” 

Pembantu yang dipekerjakan Eva hanya bertugas membersihkan rumah, dan hanya datang pagi lalu pulang sore. Yang tidur di sini hanya Eva dan Lala. “Kan Mbak Ev jarang di rumah, jadi sering makan di luar.”

“Tapi dia nggak setiap waktu ada di luar juga, kan?” Jawab Saga tiba-tiba bernada ketus. “Dia bangun tidur kan di rumah, apa yang dia makan? Kalau tengah malam dia tiba-tiba lapar, apa dia cuma menggigit apel? Terakhir sepertinya saya sudah bilang ke kamu ya, La, agar Eva tidak banyak minum minuman beralkohol. Di mana lagi dia menyimpan minumannya?” 

Lala menunduk, Tuhan sepertinya menciptakan dirinya untuk selalu dimarahi. Tanpa sadar mata Lala melirik ke arah kabinet yang jangan sampai diketahui Saga, tapi sialnya Saga menyadari gelagatnya. Lala bergerak gesit saat Saga akan membuka kabinet itu.

“Minggir.” Perintah Saga.

Lala menggeleng kuat-kuat. “Jangan, Mas Saga. Saya bisa mati dibunuh Mbak Ev.”

“Kalau kamu nggak minggir, saya yang akan membunuhmu.”

“Mas Saga...” Lala memohon tapi percuma.

Saga dengan mudah menggeser tubuh Lala. “Mas Saga nggak akan membuangnya, kan?”

Saga hanya menghela nafas melihat botol-botol minuman beralkohol Eva. “Dia setiap hari meminum ini?” 

“Iya.” Buru-buru Lala membenarkan jawabannya saat Saga melotot. “Maksud saya, setiap hari tapi cuma benar-benar sangat sedikit sekali. Mbak Ev susah tidur, jadi malam-malam Mbak Ev akan minum walaupun seteguk dua teguk. Mbak Prita sudah melarangnya, tapi Mbak Ev bilang, dia nggak bisa tidur kalau tidak minum.” 

“Sejak kapan?” 

“Sebenarnya sejak saya kerja sama Mbak Ev, Mbak Ev memang susah tidur. Tapi makin parah beberapa tahun terakhir."

Sudah selama itu dan Saga tidak tahu apa-apa. Membayangkan Eva tidak bisa tidur nyenyak setelah seharian lelah bekerja, pasti sangat membuat frustasi. Bahkan untuk tidur saja Eva masih harus melakukan usaha.

“Mas Saga.” Panggil Lala ragu-ragu. “Mbak Ev itu nggak pernah jahat sama Erina.”

“Meski kelihatannya nggak peduli dan nggak ada yang sadar setiap kali Mbak Ev butuh bunga untuk dikirim ke koleganya, Mbak Ev pasti suruh orang buat beli di tokonya Erina. Mas Saga tahu bagaimana bisa ajang Puteri Indonesia selama dua tahun ini selalu mengambil buket dari tokonya Erina? itu karena Mbak Ev yang merekomendasikannya. Dia kenal dengan salah satu pengurus yayasan Puteri Indonesia.” Ungkap Lala. “Kalau bukan karena Mbak Ev, bagaimana mungkin 2 Miss Universe, 2 Puteri Indonesia, dan  pemenang lain di ajang itu memegang bunga rangkaian dari toko kecil yang tidak terkenal.”

“Benarkah?” Saga sulit mempercayai karena itu bahkan tidak pernah terlintas di pikirannya. Ia ingat betapa bangganya Erina ketika dikontak pihak Puteri Indonesia, lalu semua orang memuji bakat dan kerja keras Erina. 

“Mas Saga juga pasti nggak tahu kalau Mbak Ev menjauhi Erina, justru karena dia nggak ingin menyakiti Mbak Erina.”

“Apa maksudmu?” setahunya membenci dan menyakiti adalah serangkaian.

“Saya nggak tahu bagaimana menjelaskannya, Mbak Ev itu orang yang paling susah dipahami karena nggak pernah berbagi pikirannya ke orang lain. Semua keputusan dia ambil sendiri, setiap ada masalah dia cari solusinya sendiri. Saya tahu Mas Saga dan Mbak Ev sudah berteman sangat lama, tapi sepertinya Mas Saga belum benar-benar mengenal Mbak Ev."

Lala benar, Saga hanya mengetahui kabar Eva dari berita. Jika tidak ada berita keluar, Saga asumsikan Eva baik-baik saja. Saga tidak benar-benar mencaritahu kabar Eva sebenarnya seperti apa.

“Saya bilang begini, supaya Mas Saga nggak selalu menyalahkan Mbak Ev setiap terjadi apa-apa."

“Kenapa kamu nggak pernah bilang, Lala.” Saga memijit pelipisnya yang mendadak pening.

“Memangnya selama ini Mas Saga peduli sama Mbak Ev?” Jawab Lala polos.

*** 

“Kenapa dia belum juga pulang?” Dua jam di dalam kamar, akhirnya Eva keluar karena stok air minumnya di dalam kamar habis.

“Mbak Ev, lihat, Mas Saga lagi masak.” Lala menunjuk Saga yang tengah memotong-motong  mencincang bawang putih dengan terampil. “Aku ragu Mas Saga Chef beneran soalnya dia masak tinggal cemplung-cemplung, di TV kan sebelum Chefnya masak, bahan-bahannya disiapkan di wadah-wadah kecil dulu.” 

“Kenapa kamu masih di sini, Ga?” Tanya Eva mengabaikan ocehan. “Kamu bilang hanya akan minum kopi lalu pulang.”

Tanpa menghentikan kegiatannya, Saga menjawab, “aku berubah pikiran, tiba-tiba aku ingin makan malam dengan kalian.”

“Aku nggak makan di atas jam tujuh malam.”

“Sarapan salad, nggak makan siang, nggak makan malam.” Saga meletakkan pisau tiba-tiba hingga menimbulkan bunyi cukup keras. “Bagimu hidup pasti gampang sekali karena cuma perlu bernafas saja, kan?"

“Apa pedulimu? Aku nggak minta kamu jadi ahli giziku.” Eva mendengus, ia membuka kulkas dan mengeluarkan botol kopi kemasan. 

Saat Eva akan menenggak kopinya, botol kopi itu direbut Saga tiba-tiba. “Bagaimana kalau aku benar-benar peduli?” 

Eva merebut kembali botol kopinya, berjuang keras mengendalikan diri agar tak terlihat terintimidasi tatapan Saga yang mendesak. “Kamu peduli padaku hanya karena kamu nggak ingin aku melakukan hal buruk pada Erina, kan?”

“Aku nggak ingin kamu melukai dirimu sendiri.”

“Kamu nggak tahu, Ga? Orang jahat nggak bisa terluka.”

Mata Saga menyipit, menusuk Eva dengan tatapan tajamnya. Eva membalasnya. Keheningan yang meyelimuti perang urat keduanya terpecahkan oleh suara batuk Lala yang kentara dibuat-buat. Eva mendorong pelan dada Saga agar tidak menghalangi jalannya.

“Oh, ya ampun aku lupa ada janji. Mbak Ev aku pergi dulu ya—“

“Jangan coba-coba kabur ya, La.” Eva memotong seruan Lala. “Kamu nggak boleh ke mana-mana, Saga sepertinya masak terlalu banyak, kamu harus bantu dia menghabiskan.”

“Tapi kan Mas Saga masak buat Mbak—“

“Sambil menunggu dia selesai, kamu ikut aku sebentar.”

Pasrah Lala mengekori langkah Eva dengan lesu, merasa terjebak ada di antara hubungan aneh Eva dan Saga yang tidak jelas. 

“Aku mau memberi kamu tugas rahasia.” Ujar Eva begitu Lala menutup pintu kamarnya.

Lala mengerang. “Lagi?"

Itu adalah tugas di luar pekerjaan yang harus Lala rahasiakan dari Prita dan hanya mereka berdua yang tahu, semacam yang Lala lakukan untuk Pak Syarif.

“Aku mau kamu cari tahu apapun yang berhubungan dengan Mira."

“Mira musuhnya Mbak Ev?”

Meski berlebihan memberi julukan, Eva tetap mengangguk mengiyakan. “Aku harus memastikan sesuatu, dan kalau bisa kamu harus mendapatkan hasilnya sebelum sidang selanjutnya."

“Kalau ini masalah sidang, kenapa nggak langsung diskusi sama Mbak Prita?”

“Ini sesuatu yang ingin aku tangani sendiri. 

Yang harus kamu cari tahu adalah kondisi keluarganya, bagaimana dia di tempat kerja, terutama hubungan dia sama teman-teman kerjanya.”Jawab Eva. “Aku masih bisa percaya sama kamu kan, La?”

Eva mengangguk meyakinkan. “Tentu saja, asal harganya cocok.”

Itu bukan masalah bagi Eva, paling-paling Lala hanya akan meminta dibelikan sneakers edisi tertentu lagi. “Sekarang kamu keluar, lakukan sesuatu agar Saga cepat pergi dari sini.”

“Kenapa Mbak Ev ingin menghindari Mas Saga? Dulu Mbak Ev sering bersama dia.”

“Aku nggak menghindari dia.”

“Menemani Mbak Ev di lokasi syuting dan di rumah, aku tahu kapan Mbak Ev sedang akting dan kapan Mbak Ev sedang jujur.”

Eva menatap Lala kesal, itu tanda-tanda sebelum Eva meledak. Dan sebelum itu benar-benar terjadi, Lala segera menyelamatkan diri.

*** 

Agar Lala tidak makin sok tahu, Eva turun ke ruang makan beberapa menit kemudian. Tepat saat Lala sedang membantu Saga menghidangkan masakannya di meja makan. Saga memasak pasta yang terlihat menggiurkan meski hanya dengan bahan-bahan seadanya di kulkas.

Eva disambut dengan senyum mengejek Lala yang ingin Eva hilangkan dengan melempar wajahnya dengan gelas.

“Makanlah, anggap Lala yang memasak, dan bukan aku kalau kamu nggak sudi makan masakanku.” Ujar Saga sambil menuangkan air minum ke gelas Eva.

Eva menggulung pastanya dengan garpu lalu menyantapnya. “Mana mungkin, Eva bahkan tidak bisa memasak pasta pakai saus jadi.”

“Enak, Mas Saga.” Sahut Lala, wajahnya ceria hanya karena lidahnya termanjakan. “Padahal cuma pakai bahan-bahan hampir kadaluarsa.”

Hanya dalam sekejap piring Lala hampir kosong, sedangkan Eva makan perlahan seperti puteri keraton. “Mbak Ev, kalau Mbak Ev nggak habis, nanti buat aku ya.”

“Jangan ganggu Eva, kamu bisa makan ini.” Saga mengeser piringnya yang belum tersentuh ke samping piring Lala.

Lala melebarkan mata bahagia. “Yang benar, Mas Saga?” Tanyanya memastikan. “Aku nggak perlu basa-basi Mas Saga nanti nggak makan, kan?”

Saga menggaruk telinganya. “Apa setiap hari dia secerewet ini?” Tanya Saga pada Eva.

Eva melirik Lala sekilas. “Dia cuma diam di foto, bahkan saat tidur dia ngorok, berisik.”

“Enak saja, aku nggak ngorok!” 

Saga menanggapi protes Lala dengan kekehan kecil. “Sudah kuduga. Tapi kamu juga nggak bisa diam saat tidur."

"Memangnya kalau tidur sama Mas Saga, Mbak Ev berisik, ya?"

Uhuk! Eva tersedak makanan karena terlalu terkejut mendengar celetukan Lala, dengan santai Saga memberikan gelas minumnya karena gelas Eva sudah kosong. 

“Maksud aku, tidur dalam satu kamar yang sama.” Eva menekankan kata tidur sambil memperagakan pose menaruh telapak tangan di pipi kiri dengan mata terpejam. “Siapa tahu ngorok juga sepetti aku. Kenapa Mbak Ev kaget sekali?” 

Tangan Eva mengenggam gelas dengan erat, Saga menarik gelas itu sebelum dilempar ke wajah Lala. Sudut bibir Saga berkedut menahan senyum dan dengan santainya Saga meminum sisa air dalam gelas itu, kemudian mengisinya lagi hingga hampir penuh.

“Aku nggak bilang apa-apa, lho. Mas Saga nggak salah paham sama pertanyaanku, kan?” 

“Sama sekali tidak.” Saga berusaha menahan tawa. 

“Kalau kamu masih akan ngomong sambil makan, kamu yang gantian akan tersedak.” Ujar Eva tenang, tapi dengan nada mengancam.

“Dari tadi aku makan sambil ngomong tapi aman-aman saja kok."

“Lala.”

“Ya, Mbak Ev?”

“Kamu mau menutup sendiri mulutmu, atau kamu ingin aku bantu?”

Ekspresi jenaka Lala seketika berubah kaku. “Oke, maaf.” Lala menyuap lagi sisa makanannya. “Masakannya enak Mas Saga, pantas saja Mbak Ev dulu sering makan ke Suita walaupun tengah malam pas restorannya sudah tutup.”

Prak! Eva membanting garpunya ke atas piring, bunyinya sangat kencang hingga Lala berjingkat kaget. Belakangan Eva pasti terlalu baik sehingga Lala makin kurang ajar.

“Aku salah ngomong lagi ya, Mbak Ev?” Lala berlagak polos.

Eva memutar bola mata malas. Ini batas toleransi Eva, sekali lagi Lala mempermainkannya, ia akan memberi Lala pelajaran. Eva bukannya tidak menyadari, di kursi kepala, Saga senyum-senyum entah apa maksudnya.

***

Sebelum pulang, Saga naik ke kamar Eva untuk berpamitan. Eva tengah duduk di depan meja rias, sedang memakai produk perawatan wajah khusus malam hari. Eva melihat Saga dari pantulan cermin dengan malas. “Aku bosan bertanya kenapa kamu masih belum juga pulang.”

“Apa salahnya aku ingin lama-lama di sini?” 

“Ini rumah aku.” Eva mengingatkan sesuatu yang tidak perlu.

“Lalu?” Saga berdiri tepat di belakang Eva, ia meletakkan kedua tangannya di atas pundak Eva yang kurus, seolah Saga langsung menyentuh tulang Eva yang terlapisi kulit tipis. Sesaat ia memandangi wajah Eva. Eva yang tidak nyaman dengan posisi itu lalu berdiri dan memutar tubuh untuk berhadapan dengan Saga, Eva menampilkan wajah angkuh khas seorang Evaria Dona. Saga justru tersenyum lembut. “Apa kabar, Va?” 

Eva mengerutkan kening menanggapi pertanyaan aneh Saga. 

Saga tersenyum lagi. “Aneh, ya? Padahal kita belasan tahun saling mengenal, dan aku merasa kamu temanku tapi aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana kabarmu.”

Wajah angkuh Eva melunak, matanya berkedip-kedip cepat. Saga bisa melihat ada genangan mengkilat di mata Eva. Saga menarik Eva ke dalam pelukannya karena tahu Eva pasti tidak ingin memperlihatkan wajah itu. “Jangan bergantung dengan alkohol. Kalau kamu tidak bisa tidur, aku bisa menemanimu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status