Share

Bab 5 Kedekatan Kita

Bab 5 Kedekatan Kita

Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali namun aku tetap mengabaikannya. Reino tidak pantas mendapatkan kesempatan, pria brengsek itu lebih pantas ditinggalkan.

Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar bunyi ketukan lagi. Pasti Reino sudah pergi. Entah ke mana aku tidak peduli.

Kakiku ditekuk lalu kupeluk diriku sendiri dengan erat. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Setidaknya aku tidak mau bertemu untuk sekarang ini, aku butuh waktu untuk menenangkan diri.

Aku menangis perlahan saat mengingat wajah Reino dulu. Wajah tampannya yang sangat gagah. Suaranya hangat dan senyumannya menawan. Aku sungguh jatuh cinta padanya. Bagiku, Reino sangat istimewa. Kukira dia jodoh sempurna untukku, tapi ternyata diawal pernikahan kami, ia sudah mengecewakanku.

***

Flashback On

Wajah tampan seorang pria terlihat tak asing berada di depan kelasku. Reino berdiri sambil menyadarkan tubuhnya di dinding. Kulihat dia sudah memakai jas almamater Universitas Adidharma. Cepat sekali, aku dan teman-temanku saja belum dapat jas.

"Rei," sapaku pada Reino yang tadi sibuk bermain ponsel.

"Kamu udah nyampe?" tanya Reino ambigu. "Ke kantin yuk?"

"Aku kan ada kelas bentar lagi," jawabku ragu. "Maaf ya."

Reino melihat jam tangannya yang terlihat manly, berwarna hitam pekat. "Bukannya masih 15 menit lagi?"

"Iya sih, cuma aku malas kalau harus bolak balik kantin ke kelas lagi."

"Nanti aku gendong," kata Reino setengah bergarau. Setelahnya ia tertawa renyah. "Ya udah deh kalau enggak mau. Kamu pulang jam berapa?" tanyanya lagi.

"Aku pulang jam 2 siang," jawabku sambil mengingat kembali apakah ada kegiatan lain yang harus dikerjakannya. Namun sepertinya tidak ada.

"Aku antar pulang ya. Aku pulang jam 12, nanti aku tungguin kamu di sini." Setelah mengatakan maksudnya, Reino pun meninggalkanku sambil berlari kecil. Bibirnya nampak penuh senyum.

***

Reino benar-benar menungguku hingga selesai kelas. Bella dan Fatiya makin membicarakan yang tidak-tidak antara aku dan Reino. Mereka bilang, Reino menyukaiku makanya mengajak untuk pulang bersama.

Mendengar ucapan mereka, aku tidak begitu saja percaya tapi merasa sedikit geer sekarang. Apa benar Reino menyukainya? Dengan tingkahnya yang seperti ini sepertinya iya.

Reino menunggu di depan kelas sambil memainkan ponselnya. Wajahnya nampak serius membuatku bertanya-tanya apa yang tengah ia kerjakan. Ia juga terlihat begitu asyik berkutat dengan ponselnya sampai tidak sadar, aku sudah menghampirinya.

"Rei," panggilku, membuat wajah Reino mendongak. Ia melihat ponselnya lagi lalu mematikannya beberapa saat kemudian.

"Udah selesai aja kelasnya." Reino tersenyum lebar ke arahku. "Kamu enggak apa-apa kan pulang sama aku? Enggak ada yang marahin kamu kan?"

"Maksudnya marahin?" tanyaku bingung.

"Pacar."

Dalam hati aku tertawa, bagaimana mau punya pacar kalau orangtuaku tidak mengizinkan ubtuk berpacaran sebelum lulus SMA. Alasannya karena menurut mama dan papa, aku tidak terlalu pintar jadi harus rajin belajar biar bisa masuk kampus yang kuinginkan. Dan benar saja saat lulus SMA aku berhasil masuk Universitas Adidharma, kampus bergengsi di tahun ini.

"Aku enggak punya pacar," jawabku pendek.

"Syukurlah. Jalan yuk!" ajak Reino tiba-tiba.

"Loh katanya mau nganterin aku pulang?" tanyaku bingung dan polos.

"Aku anterin, Tit. Tapi gimana kalo habis jalan dulu. Kamu udah makan siang belum?" tanya Reino lagi.

Aku menggeleng, kelas pertamaku hanya berjarak 15 menit dari pertemuan kelas yang kedua.

"Ya udah kita cari makan siang dulu yuk?" ajak Reino lagi.

Aku pun mengangguk. Meskipun sejujurnya aku ingin pulang saja. Rasanya ini hal baru. Jalan bersama laki-laki yang bukan ayahku. Aku memang tidak punya pengalaman berpacaran sebelumnya. Aku masih jomlo ting-ting.

Aku mengikuti Reino sambil berjalan ke arah parkiran mobil. Aku tidak menyangka Reino punya mobil. Maksudku, memang sudah biasa mahasiswa pakai mobil ke kampus. Namun biasanya yang memakai mahasiswa lama atau dosen. Mahasiswa baru lebih kalem dengan menggunakan transportasi umum atau naik motor. Mungkin Reino tergolong sosok cowok yang percaya diri sampai berani membawa mobil ke kampus.

"Yuk masuk!" katanya santai.

Aku masuk ke dalam mobil Reino lalu terduduk dengan canggung. Pria itu sendiri sudah duduk di belakang kemudi. Ia tersenyum sebentar ke arahku sebelum akhirnya menyalakan mobil.

Dalam perjalanan Reino mulai membuka dirinya. Berbicara tentang kesukaannya. "Aku masuk ke jurusan Bisnis karena kemauan sendiri. Kalau kamu?" tanya Reino balik bertanya.

"Sama. Emang udah niat awal aku mau kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia."

"Pasti sebelumnya nyari yang negeri. Iya kan?" kata Reino, menebak.

"Iya biasa kan emang didaftarin dari sekolah dulu lewat SMNPTN, enggak lulus ya udah nyari yang mandiri. Aku sih udah sregnya ke Uniad," jawabku pendek. "Jadi aku buru-buru daftar ke sini."

Reino menganggukkan kepalanya mendengar cerita dariku. "Kamu orangnya fokus ya?"

"Eh enggak juga," kataku merendah.

"Aku sih kuliah di Uniad ya karena deket dari rumah. Ibuku orangnya khawatir kalau aku harus merantau. Aku anak bungsu soalnya."

"Pantesan hehe," balasku. "Aku juga anak tunggal jadi rada overprotektif Mama sama Papa."

"Kamu enggak punya saudara?"

Aku menggeleng pelan. "Kata Mama sih, Mama dulu pernah hamil 4 kali tapi keguguran terus. Waktu hamil aku bener-bener dijaga dan akhirnya lahir. Setelah itu Mama harus disteril. Enggak bisa punya anak lagi," ceritaku panjang lebar.

"Kasihan Mama kamu, perjuangan banget buat punya anak," komentar Reino. "Bibiku ada yang begitu, sampai sekarang belum punya anak. Udah 2 kali keguguran."

"Ya ampun, semoga segera diberi keturunan ya, Rei."

"Iya, aamiin." Reino tersenyum. Kami pun sampai ke restoran yang cukup lenggang. "Masuk yuk," ajak Reino.

Aku pun mengangguk singkat lalu turun dari mobil. Kami berjalan beriringan dan memasuki restoran. Setelah mencari meja yang kosong, aku pun duduk. Reino sendiri malah terdiam.

"Bentar aku pesenin makanan dulu. Kamu mau pesen apa?" tanya Reino sambil melihat daftar menu super besar yang dipajang di dinding restoran. Di sana tertulis daftar menu sekaligus harganya.

"Aku milktea sama rainbow cake aja."

Mendengarkanku, Reino pun mengangguk lalu memesankan apa yang kuingin. Ia juga memesan jus mangga dan mie ayam pelangi.

Reino duduk di hadapanku lagi setelah memesan makanan. Kami menunggu pesanan kami sambil mengobrol bebas.

"Kemaren yang jalan sama kamu siapa? Yang tinggi semampai itu?"

"Oh itu Bella," jawabku santai.

"Temenku, Bimo, ngefens sama dia tuh." Reino memberi tahu.

"Bimo siapa?" tanyaku bingung.

"Pokoknya temenku," jawabnya dengan senyum ceria. "Nanti aku kenalin sama dia. Sekalian bawa Bella juga."

"Ceritanya mau ngecomblangin temen kamu sama temenku?"

"Enggak ada salahnya kan?" kata Reino balik. "Biar kita juga makin deket."

"Apaan sih, Rei." Aku menggelengkan kepalaku karena malu dan beberapa saat kemudian pesanan makananku dan Reino diantarkan oleh pelayan restoran.

Flashback Off

***

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status