Share

Bab 7 Pamit

Bab 7 

Pamit

Setelah pulang dari berbelanja ke CBC Mall, penatku selama sendirian di rumah kontrakan rasanya sedikit terobati. Meskipun ada hal yang tidak menyenangkan kami bahas, tapi aku suka saat berbelanja.

Selain berbelanja skincare, aku juga berbelanja keperluan rumah yang sudah hampir habis, tidak lupa juga kami membeli pakaian, dompet, dan sepatu yang menarik hati.

Selama berjalan-jalan seharian ini aku menggunakan kartu debit yang diberikan oleh Reino. Entah mengapa aku ingin menghabiskan uang pria brengsek itu?

"Bel, hati-hati di jalan. Makasih ya buat hari ini," kataku dengan senyum ceria.

Bella mengangguk, ia baru selesai memakai helmnya. Ia mengacungkan jempol tangan lalu memutar motornya. Baru saja kukira dia akan pulang, Bella menatapku sebentar. "Mau gue beliin testpack enggak sebelum balik?" tanyanya.

Wajahku terasa kaku mendengar pertanyaan Bella. "Enggak usah, lagian hasilnya pasti negatif," kataku setengah frustrasi.

"Oh ya udah. Gue balik dulu ya, bye, Tita."

"Bye, Bella." Aku melambaikan tanganku sampai Bella bersama sepeda motornya pergi berbelok melewati gang. Setelah itu, aku pun masuk ke dalam rumah kontrakan bersama belanjaan-belanjaanku. Jika diingat lagi, selama di Cirebon aku lebih banyak berbelanja daripada melakukan hal yang lebih bermanfaat. Mau bagaimana lagi aku masih belum mengenal jelas tempat tinggalku. Lagipula, aku masih belum jelas antara akan tinggal lama di sini atau hanya sebulan saja?

Tapi perasaanku tidak enak jika harus pulang ke Jakarta. Aku merasa hanya selalu menyusahkan Mama dan Papa. Bahkan setelah pernikahku, bukannya makin tenang, orangtuaku jadi ikut sibuk karena permasalahanku dengan calon mantan suamiku.

Selepas isya, aku mendapat tamu tak diundang seperti kemarin. Saat kuintip melalui kaca jendela, orang yang bertamu lagi-lagi Reino. Entah bagaimana caranya Reino selalu hadir? Kadang aku bertanya-tanya dalam hati mengenai kesibukannya tapi rasanya lidahku kelu. Yang ada dalam pikirku hanya kata pisah, sesegera mungkin.

"Assalamualaikum," ujar Reino sambil mengetuk pintu kontrakanku berulang kali.

Aku berdiri diam. Terpaku sambil memikirkan apa aku harus membuka pintu untuk Reino, atau kubiarkan saja dia menunggu di luar hingga kecapaian dan memutuskan untuk pergi dengan sendirinya.

Rasa tak tega merasukiku saat kuingat apa yang terjadi kemarin. Reino pergi entah kemana setelah kudorong ke luar dari rumah begitu saja. Jika saja Mama tahu aku berbuat demikian, beliau pasti marah. Aku sangat keterlaluan.

Akhirinya kuputuskan untuk membuka pintu depan rumah beberapa saat kemudian. Kulihat wajah pria yang kucinta sekaligus kubenci itu tersenyum dengan tulus. "Wa'alaikumsalam warrahmatullah," balasku kemudian.

"Makasih udah mau buka pintunya untukku," ujar Reino sendu. "Aku cuma mau bilang, besok aku pulang ke Jakarta lagi."

"Ngapain kamu bilang ke aku," balasku kecut.

"Aku emang udah menyetujui permintaan kamu, tapi itu karena terpaksa. Aku enggak bisa ngelepas kamu begitu saja, Tita."

"Kenapa kamu selalu berusaha mempersulit semuanya?" Aku bertanya, bingung dengan sikap Reino.

"Tita," Suara Reino tercekat. Ia kemudian melanjutkan ucapannya. "Ketika aku melamarmu, itu tanda keseriusanku untuk mengikatmu. Aku memang bersalah, jika kamu masih ingin terus menyalahkanku. Aku tanggung itu semua. Tapi perpisahan bukan jalan satu-satunya, Sayang. Tolong, apa kamu bisa memaafkan kesalahanku?"

Aku berdecak kesal mendengar pertanyaan Reino yang selalu memudahkan permasalahan ini. Hal ini juga yang membuatku ingin berpisah dengannya.

"Dasar pengkhianat," ejekku akhirnya. "Kamu udh hancurin kebahagiaanku dari awal."

"Aku bener-bener minta maaf," kata Reino frustrasi. "Tolong jangan dengar kata wanita itu."

"Terus aku harus rela dibegoin sama laki-laki hidung belang kayak kamu? Pertanyaan terbesarku, kenapa kamu harus menghancurkan pernikahan kita di hari pertama kita menjadi suami istri? Itu sangat menyakitkan, Rei." Sesak di dadaku kembali terasa. Ia ingin menenangkan dirinya di sini, tapi mengapa Reino malah mengejarnya? Membuat ia makin tak tenang.

"Aku minta maaf," ujar Reino seolah tidak pernah bosan untuk mengatakan itu.

"Aku ke sini mau nenangin diri dari masalah ini, tapi kenapa kamu malah kembali datang? Aku mohon sama kamu, jauhi aku sementara waktu. Aku mau fokus buat ujian CPNSku di sini."

Reino terdiam cukup lama. Ia menatapku tanpa mengatakan sepatah katapun. "Baik, kalau itu mau kamu. Semoga selama tanpa kehadiranku kamu baik-baik saja." Reino menatapku dengan dalam. "Kalau begitu aku pamit aja sekarang. Aku harus balik ke Jakarta karena ada masalah sama restoran kita."

Setelah pamit, Reino pun pergi meninggalkanku. Kulihat ia berjalan melewati gang kemudian berbelok. Dan kepergiannya membuatku banyak berpikir, betapa aku akan merindukannya.

***

Ujian CPNS yang sudah dijadwalkan membuat perasaanku deg-degan. Aku dan Bella berjanjian berangkat bersama dan kami terpisah saat harus memasuki ruang ujian yang berbeda.

Aku melakukan ujian SKD sebaik yang kumampu. Aku sudah berusaha dengan mempelajari soal teori untuk ujian kali ini. Jika hasilnya nanti tidak sesuai keinginanku, aku hanya bisa pasrah.

"Ah selesai juga," ujar Bella santai.

Aku meliriknya yang terlihat lega dengan wajah bingung. "Lo kok bisa seenteng itu ngomongnya? Kan hasilnya belum ke luar."

"Ya elah, Tit. Jangan pusingin hidup yang belom pasti. Kan yang penting kita berusaha sebaik mungkin."

Aku mengangguk setuju. "Pengumumannya kapan ya?"

"Kayaknya masih tiga mingguan lagi," jawab Bella lugas. "Jajan siomay dulu yuk. Eh itu ada yang jualan es kelapa muda."

Aku melihat arah pandang Bella, di mana terdapat pedagang es kelapa muda yang terlihat menggugah selera. Apalagi setelah tes begini, di cuaca siang bolong yang panasnya puol. Astaga, ternyata panas Cirebon masih sepersusuan dengan panas Jakarta.

Aku dan Bella duduk di kios pedagang siomay yang letaknya tepat berada di samping pedang es kelapa. Setelah memesan siomay 2 porsi pada pedagangnya, Bella juga memesankan es kelapa muda untuk kami. Selesai memesan, kami pun duduk santai sambil mengobrol.

"Kata Bokap gue, kalau gue lulus CPNS, nanti bakal ngadain syukuran sambil nyembelih kambing," cerita Bella.

"Wih, keren. Mau nyembelih kambing."

"Paling juga sekalian sama kurban," balas Bella sebal. "Kata Bapak, nyembelihnya pas Riyaya Agung."

"Riyaya Agung tuh apa?"

"Lebaran Idul Adha. Kan itu waktu buat sembelih kambing," jawab Bella menjelaskan tentang bahasa daerahnya.

"Ya enggak apa-apa. Kan bagus bisa kurban, Bel."

"Iya sih, tapi kan niatan Bapak gue setengah-setengah banget," keluh Bella. "Kabar Fatiya gimana ya?" Bella mengalihkan topik pembicaraan.

Aku mengerikan bahu, tidak tahu sama sekali kabar Fatiya. Teman kami yang sholehah dan kalem itu.

"Setahu gue, Fatiya mau nikah sama tetangganya." Bella berbicara lagi. "Tapi kok dia enggak pernah chat lagi ya."

"Ya udah lah, biarin aja, Bel. Mungkin Fatiya sibuk," kataku mencoba menenangkan Bella. Persahabatan kami bertiga memang terkadang rancu. Aku dan Bella memang dekat, tapi Fatiya biasanya datang pada kami ketika membutuhkan sesuatu. Ketika ingin meminta tolong. Bella sering sekali disulitkan, tapi tidak pernah komplain. Aku yang biasanya kesal dengan sikapnya yang seperti itu. Sampai pernah ku berpikir, apakah perempuan berjilbab lebar itu seperti Fatiya semua? Tuturnya lembut, tapi ada suatu masa ia meminta tolong dengan menjual ucapan sedih.

Astaga, Tita! Kenapa jadi memikirkan keburukan Fatiya? Keburukanku saja masih banyak.

"Iya juga sih," balas Bella tidak mau pikir panjang lagi. Tak berapa lama kemudian pedagang siomay dan es kelapa muda mengantarkan pesanan kami.

Kami menyantap makanan dan minuman sambil terus mengobrol. Kali ini kami membicarakan tentang Bella dan calon suaminya yang masih tanda tanya.

"Gue tuh kadang enggak ngerti. Lo kan cantik, kayak model, tapi kok enggak pacaran?"

"Males gue, Tit. Pacaran mah makan ati mulu. Gue liat lo pacaran sama Reino aja capek. Apalagi kalo ngalamin sendiri."

Aku berdecak kesal mendengar jawaban Bella. "Bilang aja enggak bisa move on dari Bima."

"Ih najong! Bima tuh masa lampau."

Aku tertawa mendengar jawaban Bella. Ia memang seperti itu jika aku mengungkit tentang Bima, mantan pertamanya saat berkuliah. Dan naasnya lagi Bima itu teman sejurusan Reino.

"Lo jadi udah testpack belum?" tanya Bella lagi, memastikan.

Aku menggeleng kuat. "Gue kan udah bilang, kalau enggak mungkin gue hamil."

"Lo belum pernah wikwik sama Reino?" suara Bella mengecil sekali. Aku mendengarnya berbisik di telingaku.

Kucubit lengan Bella hingga ia mengaduh kesakitan. "Diem lo, Jomlo!"

"Lah mending gue Jomlo Bahagia. Daripada lu...."

"Apa?" Aku melotot sambil bertanya. Bella langsung tertawa cekikan. Tidak melanjutkan ucapannya yang menggantung.

***

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status