Share

3. Dijebak

Cinta adalah satu kata yang memiliki efek besar bagi manusia.

Tanpa cinta membuat manusia seperti tidak bernyawa.

Tapi cinta juga mampu menciptakan bahagia.

Namun ketika cinta itu menyakiti mereka,

tidak akan ada ruang baginya.

♠ ♠ ♠ ♠ ♠

Jossie…

Suara wanita yang terdengar begitu lembut itu sangat dikenal Abby. Itu suara ibunya. Tidak salah lagi itu suara itunya.

"Mom." Gumam Abby dengan mata yang masih terpejam.

Xavery yang duduk dalam pesawat pribadi De Luca tengah mengamati wanita yang duduk di hadapannya. Dia teringat ucapan wanita itu beberapa saat yang lalu. Wanita itu mengatakan jika dia bukan putri Matt. Dia hanya keponakannya. Awalnya Xavery berpikir Abby hanya beralasan agar dirinya tidak dibawa ke Italia. Karena itu pada akhirnya Xavery terpaksa membius Abby.

Tapi untuk membuktikan ucapan Abby, Xavery sudah menyuruh seseorang untuk menyelidikinya. Dia akan memastikan siapapun yang mempermainkan Gio akan menyesali perbuatannya.

"MOM!" Seruan Abby mengembalikan perhatian  Xavery.

Dia melihat Abby sudah membuka matanya. Nafasnya terengah-engahnya seakan dia baru saja mimpi buruk. Xavery mengambil segelas air dan menyerahkannya pada Abby.

"Minumlah." Ucap Xavery.

"Tidak mau. Kau pasti memasukkan obat penenang agar aku kembali tidak sadarkan diri, bukan?" Abby memasang sikap waspada.

Xavery tersenyum mendengar tuduhan itu. Namun pria itu tidak membantah tuduhan itu. Dia justru meminum setegak air dalam gelas itu.

"Kau lihat aku baik-baik saja setelah minum air putih ini. Cobalah."

Awalnya Abby ragu menerima air putih itu. Tapi merasakan tenggorokannya kering membuatnya terpaksa mengambil gelas itu dan meminumnya hingga bersih. Setelah meletakkan gelas ke tempatnya, barulah Abby menyadari dirinya sudah tidak lagi berada di ruang pertemuan. Dia berada di dalam kabin pesawat pribadi.

"Bukankah ini tindakan penculikan? Kau membiusku dan membawaku terbang ke Italia tanpa persetujuanku?"

"Sayangnya kau menyetujuinya, Miss Hart. Kau ingat perjanjian yang kau tandatangani? Di sana menyatakan jika kau menyetujui jika kau akan diterbangkan ke Italia dan tinggal di sana." Jelas Xavery.

"Jadi kau sengaja membuat perjanjian itu dengan bahasa yang tidak kumengerti sehingga kau bisa seenaknya menjebakku?" emosi Abby.

"Kami sudah menjelaskan hal itu pada ayah anda."

"Sudah kubilang dia bukan ayahku. Dia pamanku." Abby menggeram kesal.

"Kami akan menganggap kau putrinya sebelum penyelidikan kami membuktikan ucapanmu memang benar."

Abby memejamkan matanya. Dia begitu marah. Marah pada pamannya. Marah pada Carla. Dan marah pada pria dihadapannya. Dia telah dijebak pamannya menjadi barang jual untuk keuntungannya sendiri. Selama ini pamannya dan Carla memang jarang bersikap baik pada Abby. Tapi wanita itu tidak menyangka mereka memutuskan rasa simpatinya hanya demi suntikan uang.

"Makanlah. Bukankah kau menyukai kue?"

Suara Xavery membuat Abby membuka matanya. Seketika tatapan Abby tertumbuk pada kue berbentuk lingkaran kecil berwarna merah dan putih dengan bagian atasnya diberi cream serta potongan coklat.

"Red velvet." Mata Abby berbinar melihat kue itu.

Namun binar itu seketika lenyap dan tergantikan kewaspadaan menatap Xavery. "Apa kau sedang menyogokku agar diam?"

Xavery terkekeh mendengar tuduhan Abby, "Dengar Miss Hart. Aku tidak akan menyakitimu. Percayalah. Mr. De Luca pasti akan membunuhku jika aku menyakitimu. Saat melihat di ruang pertemuan, aku jadi tahu kau sangat menyukai kue. Maka aku memberikan ini untuk menyenangkanmu."

"Baiklah. Karena aku memang menyukai kue, aku akan menerima pemberianmu."

Abby mengambil piring kecil berisi kue red velvet itu dari tangan Xavery. Binar di mata wanita itu muncul kembali. Bahkan saat memasukkan sesendok kue itu, Abby tidak tahan mengerang enak.

"Kau benar-benar unik, Miss Hart. Hanya dengan kue sudah bisa membuatmu melupakan segalanya."

"Karena aku menyukai segala kue. Aku bahkan memiliki toko roti sendiri."

Mulut Xavery terbuka. "Ahh... Pantas saja."

"Oh, tidak. Toko rotiku. Aku harus kembali ke San Fransisco." Seketika Abby memgingat toko rotinya yang telah dititipkan oleh pegawainya.

"Apa kau lupa sedang berada di mana Miss Hart?"

Abby yang hendak berdiri pun mengurungkan niatnya dan menghempaskan tubuhnya kembali ke tempat duduk.

"Tidak bisakah kita berputar balik?  Ini semua kesalahan. Dan aku meninggalkan seluruh kehidupanku di San Fransisco."

"Maafkan aku, Miss Hart. Membawamu kembali ke San Fransisco bukanlah kewenanganku. Kau bisa membicarakannya dengan Mr. De Luca setelah bertemu dengannya."

"Toko rotiku." Abby mendesah sedih.

Lalu dia menyuapkan seiris kue itu dan memasukkan ke dalam mulutnya.  Seketika Abby melupakan masalah toko rotinya dan menikmati setiap kemanisan kue itu.

Xavery yang mengamati Abby mendengus tidak percaya. Baru kali ini pria itu bertemu dengan wanita yang tergila-gila dengan kue.

"Kau benar-benar tahu bagaimana cara menikmati kue, Miss Hart." Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kue dengan rasa yang berbeda-beda menciptakan kebahagiaan yang berbeda. Seperti kemanisan kue red velvet ini. Saat memakannya kau akan bisa merasakan rasa buttermilk, bubuk kakao, dan kopi dalam setiap gigitan."

"Miss Hart dan kuenya bisa membuatku terpana. Aku tidak pernah memikirkan bahannya saat memakan kue. Hanya menikmati rasa manis dan mengenyangkan perut saja."

Seketika Abby pun tertawa. Dia semakin lupa jika dirinya telah dijual oleh sang paman. Inilah Abby yang sebenarnya. Wanita itu akan selalu bersemangat jika berhubungan dengan kue.

"Kebanyakan orang akan melakukan hal yang sama. Apa kau masih memiliki kuenya lagi? Aku akan mengajarimu merasakan bahan itu."

Xavery pun meminta pramugari menyediakan kue kembali. Tak lama wanita muda itu menyerahkan kue itu pada Xavery.

"Potonglah kue itu tanpa mengenai creamnya." Perintah Abby.

Xavery pun melakukan apa yang dikatakan Abby. Kemudian dia memasukkan potongan roti itu ke dalam mulutnya.

"Gigit perlahan. Dan apa yang kau rasakan?"

"Manis tapi sedikit gurih."

"Manis berasal dari gula. Gurih itu berasal dari buttermilk. Coba gigit lagi."

Xavery menggerakkan rahangnya kembali. Dan menjelaskan pada Abby ada rasa pahit yang dirasakan.

"Itu pasti berasal dari kopi. Jadi kau sudah mengerti bukan?"

Xavery mengangguk penuh semangat,  "Aku tidak menyangka bisa belajar menentukan bahan kue berdasarkan rasanya. Kau hebat, Miss Hart."

"Tidak sehebat itu Mr. Salvadore. Perlu banyak berlatih. Apakah Mr. De Luca suka kue?"

"Kau bisa menanyakannya padanya nanti, Miss Hart."

"Hmm... Jadi Mr. Salvadore bisakah kau ceritakan seperti apa Mr. De Luca?"

"Jadi kau sudah menerima takdirmu untuk menjadi calon istri Mr. De Luca, Miss Hart?"

"Tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima takdir itu, bukan? Aku sudah meminta kau untuk membawaku kembali, tapi kau tidak mengijinkannya. Ingin marah pada pamanku juga percuma. Jadi satu-satunya cara adalah menjalaninya."

Xavery menganggukkan kepala mendengar penjelasan Abby,  "Kupikir aku akan melihatmu merengek dan membuat keributan."

"Kau pikir aku bocah berusia lima tahun?" Abby tidak percaya mendengar dugaan Xavery.

"Jika melihat caramu memakan kue kau memang terlihat seperti itu, Miss Hart."

Mereka pun tertawa mendengar ucapan Xavery. Abby merasa lebih bersahabat dengan Xavery. Pria itu sangat menyenangkan. Sayangnya bukan pria itu yang akan dinikahi Abby. Wanita itu jadi semakin penasaran mengenai Giorgio De Luca.  Selain informasi jika Giorgio adalah CEO De Luca Inc. dan dia memiliki bekas luka bakar, Abby sama sekali tidak mengetahui pria itu. Dia hanya berharap pria itu bukanlah pria brengsek yang akan menyakitinya.

♠ ♠ ♠ ♠ ♠

Gio sedang mengecek desain gelang pintar bernama Infinito dalam komputernya. Perusahaannya sedang mengembangkan gelang pintar yang mampu menampilkan layar smartphone di tangan.. Produk ini akan menjadi terobosan baru dalam dunia teknologi. Pria itu terlalu serius bekerja hingga tidak menyadari langit di jendela belakangnya telah gelap. Tiba-tiba terdengar sebuah ketukan. Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer, pria itu menyuruh siapapun di balik pintu untuk masuk ke dalam.

Ketika pintu terbuka, barulah Gio menoleh dan melihat Lucy berjalan mendekati mejanya. Wanita itu tersenyum lembut pada Gio seperti biasanya.

"Pekerjaanku sudah selesai. Apa kau akan menenggelamkan diri di sini malam ini?" tanya Lucy sembari menunjuk ke arah layar komputer Gio.

"Bukankah kau selalu mengetahui kebiasaanku?"

"Setelah bekerja lama denganmu, tentu saja aku mengetahui kebiasaan itu."

"Pulanglah dan hati-hati di jalan."

Lucy merasa berat untuk meninggalkan Gio meskipun pria itu telah mengusirnya secara halus. Seharian ini hati dan pikirannya benar-benar kacau. Pria yang dicintainya akan menikah besok. Tapi dia tahu Gio tidak akan mencintai wanita yang akan menjadi istrinya. Dia bahkan tidak akan bisa mencintai siapapun lagi. Bahkan dirinya.

"Gio." Panggil Lucy dengan suara lirih.

"Apa kau ada masalah, Lucy?" bingung Gio melihat kegugupan di wajah wanita itu.

"Aku hanya ingin bertanya. Jika ada wanita yang mencintaimu dan ingin menikah denganmu tanpa memandang apapun, apakah kau akan menerimanya?"

Wajah Gio tampak menegang. Bahkan rahangnya berkedut menahan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Mendengar kata 'cinta' selalu memberikan efek emosi seperti itu bagi Gio.

"Tidak. Aku tidak akan menerima perasaan seperti itu. Mengapa kau bertanya?"

Kata-kata itu layaknya pisau yang menancap di hatinya. Dia tahu Gio tidak pernah menyukai perasaan romantis seperti itu. Karena itu selama ini Lucy hanya bisa bertahan dalam topeng 'teman'. Karena jika Gio mengetahui perasaannya pada pria itu, dia akan mengusir Lucy jauh dari hidupnya.

"Tidak. Tidak ada alasan apapun. Kalau begitu aku pulang dulu. Jangan terlalu memaksakan diri."

Gio hanya memberikan anggukan kepala kemudian melihat Lucy berjalan keluar ruangan. Setelah sekretarisnya itu menghilang dari balik pintu, Gio kembali memusatkan perhatiannya pada layar komputer. Tapi sayangnya pembicaraan dengan Lucy telah mengusik pikirannya.

Cinta. Kata itu selalu menjadi topik yang dihindari oleh Gio. Kisah masa lalunya yang kelam telah mematikan perasaan Gio. Dia tidak lagi percaya adanya perasaan setulus bernama cinta itu. Pria itu belajar tidak akan pernah ada cinta yang tulus untuknya.

♠ ♠ ♠ ♠ ♠

Sebentar lagi Abby akan bertemu dengan Gio. Apa yang akan terjadi di antara mereka ya? 

Nantikan chapter berikutnya. Bye bye...

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Catherine Umiamau
cerita me sgt bagus. kenapa ya xda dlm pemasaran..kalau boleh ingin membeli .mohon ya.tq karyawan anda memang hebat.
goodnovel comment avatar
Raka Adrian Syah Raka
muka gio kebakar gara2 apa ya thour ,,
goodnovel comment avatar
Rahayu Hikmayanti
awal baca sudah tertarik tapi sampai part ini bukan hanya tertarik tapi menjadi sangat tertarik apalagi kata2nya disetiap partnya dalam banget maknanya 🥰🥰🥰
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status