Share

TK 1

"Damon! Apa yang kamu bawa itu?" teriak Kanagara sembari menghampiri Damon.

Ya, baru saja saat dirinya berlatih pedang. Damon datang diantarkan seekor griffin. Mereka membawa hewan buruan yang cukup besar.

"Mata mu buta? Jelas ini burung" ujar Damon dingin.

"Dan satu lagi. Panggil aku dengan sebutan kakak" imbuhnya tegas.

Kanagara menggerlingkang matanya jengah. 

"Ayah mu saja tidak menyebut ibu dengan ratu, tapi aku tak masalah dengan itu" ujar Kanagara.

"Itu masalah mu dengan ayah ku. Berbeda dengan kasus kita. Permisi pangeran aku ingin lewat" timpal Damos menekan setiap kata-katanya.

Sret!

Damon pergi meninggalkan Kanagara begitu saja. Dia memang sedikit tak menyukai pangeran itu. Dimata nya Kanagara sudah dewasa tapi pola pikirnya tak seperti itu. 

Meskipun pintar Kanagara adalah sosok yang tak mandiri, dia selalu meminta orang lain untuk melayaninya. Dan itu sangat tak disukai Damon.

Akan jadi raja seperti apa Kanagara jika dia tak mandiri? Jangankan mengurus immortal dan kerajaan, dia bahkan tak bisa mengurus dirinya sendiri.

Ditempat lain seorang lelaki pulang dari perburuannya, membawa daging pesanan sang ibu untuk dinikmati bersama siang ini.

"Ibu ini kelinci pesanan mu" ujar lelaki itu seraya masuk kedalam rumah sederhananya.

"Evan, kamu kah itu sayang?" seorang perempuan paruh baya keluar dari arah dapur.

"Ya ibu, aku membawakan ini" ujar lelaki bernama evan itu seraya memberikan kelinci buruannya.

"Anak ibu memang pandai berburu" 

Evan tersenyum melihat ibunya senang. Lelaki itu kemudian duduk di kursi setelah menyimpan panah nya.

"Lalu dimana ayah?" tanya Evan.

"Seperti biasa, dia ada di ruang kerjanya"

Ibu Evan sendiri adalah seorang dewi biasa, dia mempunyai kekuatan warna. Bersama suaminya mereka membuat beberapa senjata, dan itu selalu dijual ke pasar di Alfheim.

"Aku ingin kesana untuk membantunya" ujar Evan.

"Memangnya kamu tidak lelah?" tanya sang ibu.

"Kekuatan ku bahkan tak terpakai tadi" ujar Evan.

Ibu Evan tersenyum, dia memang beruntung diberi anak yang tampan dan sangat kuat seperti Evan.

"Anak ibu memang kuat" ujarnya.

"Baiklah bu kalau begitu, aku pergi dulu" pamit Evan kembali menunggangi direwolf nya.

Evan pun pergi untuk mendatangi sang ayah, dia bekerja di kaki gunung yang terletak dibelakang rumah mereka.

Sedangkan di kerajaan immortal sedang terjadi kegaduhan.

Prang!

Dewi Chanda, ibu dari pangeran Kanagara, sedang melakukan aktivitas rutinnya. Menindas dewi Anggraini.

"Siapa suruh kamu melihat-lihat wajah anak ku" ujar dewi Chanda.

Dia baru saja melemparkan sebuah vas bunga sampai hancur tak tersisa. Sedangkan dewi Anggraini hanya diam menunduk tertangkap basah.

"Biar ku perjelas. Anak mu sudah mati! Dan anak ku bukan anak mu" ujar dewi Chanda.

"Tapi dewi, kita ini sama-sama isteri raja Baswara. Anak mu berarti juga anak ku" timpal dewi Anggraini.

"Mulai berani berbicara kamu sekarang hah" desis dewi Chanda.

"Maaf, aku hanya sedang merindukan anak ku" ujar dewi Anggraini.

"Anak mu sudah mati, dan aku tidak mau anak ku mati setelah diasuh oleh mu" timpal dewi Chanda tak berdosa.

Hiks!

Hiks!

Perlahan air mata dewi Anggraini mulai turun, perempuan itu menangis. Betapa malang nasibnya dan sang anak.

"Hentikan tangisan mu aku muak mendengarnya!" desis dewi Chanda.

"Ku bilang hentikan!" imbuhnya kesal.

Sret!

"Ratu dewi, hentikan!" 

Dewi Chanda terdiam, tangannya yang tadi hendak menampar dewi Anggraini melayang di udara.

"Apa yang ratu lakukan!" 

"Tugas mu hanya satu Damon, tutup mulut saja" ujar dewi Chanda.

Ya, orang itu Damon. Tadinya dia hendak menemui dewi Anggraini untuk memasak bersama. Memang lelaki itu cukup dekat dengan sang dewi. 

"Cih, kali ini kamu selamat karena ada pelindung Anggraini" desis dewi Chanda seraya melengos pergi.

Damon pun langsung membantu dewi Anggraini. 

"Terimakasih Damon, kamu selalu membantu ku" ujar dewi Anggraini.

"Ratu dewi bisa melawan, tapi kenapa ratu selalu diam" tanya Damon tak mengerti.

"Aku hanya dewi biasa yang beruntung menikah dengan seorang raja" ujar dewi Anggraini tersenyum lembut.

"Tapi ratu yang disegani dan di akui immortal adalah diri mu. Masa lalu dan jati diri tidak mempengaruhi itu semua" timpal Damon.

"Jika anak ku masih hidup, dia pasti tumbuh baik seperti mu" ujar dewi Anggraini.

Damon terenyuh, memang benar pangeran Sabitah seumuran dengannya. Sejak kecil pun dirinya dan sang pangeran sudah dekat dan bermain bersama.

"Maafkan aku jika lancang. Tapi aku sudah menganggap ratu dewi ibu ku sendiri" ujar Damon.

Dewi Anggraini tak bisa lagi menahan kesedihannya, tapi dia juga merasa bahagia karena ditengah penderitaannya masih ada orang baik yang sayang pada dirinya.

"Aku ingin ke kamar raja, ada apa kamu menemui ku Damon?" tanya dewi Anggraini.

"Tadi aku habis berburu," ujar Damon.

"Simpan di dapur, kita masak bersama. Tapi aku ingin menemui raja lebih dulu" timpal dewi Anggraini.

"Baik ratu" jawab Damon senang.

Dewi Anggraini ikut tersenyum, tangannya sedikit mengusap kepala Damon sebentar dan pergi dari tempat itu.

Di tempat lain Evan sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat, sebenarnya dia bisa saja pergi dalam satu kali kepakan sayap, tapi lelaki itu tak mau melakukannya.

"Ayah.. aku datang" seru Evan.

Turun dari direwolf, Evan bisa melihat sosok ayahnya sedang memanaskan besi ditungku api.

"Anak ku yang tampan sudah datang," timpal sang ayah.

"Biar aku bantu ayah" ujar Evan mulai mengambil perkakas. 

"Melihat mu berkerja ayah jadi tak tega" gumam ayah Evan.

"Kenapa?" tanya Evan.

"Karena kamu terlalu tampan, bak seorang pangeran" jawab ayahnya tersenyum.

"Hah, kenapa yang memuji ku adalah ayah bukan ibu" timpal Evan.

"Hahaha, sudahlah. Hati-hati, awas tangan mu yang terbakar nanti" ujar sang ayah.

Evan mengangguk dan mulai fokus bekerja. 

Drrt!

Trang!

Trang!

Ayah Evan mulai memukul-mukul besi yang sudah tadi ia panaskan dan membentuknya menjadi sebuah pedang.

Drrt!

Namun sepertinya Evan mendengar suara lain.

Prang!

Prang!

"Ayah berhenti sebentar" ujar Evan. Sang ayah pun berhenti memukul-mukul besi panasnya dengan ekspresi bingung.

Drrt!

"Ada apa Evan?" tanya sang ayah.

"Ayah kita harus pergi dari sini!" teriak Evan.

Sret!

Wush!

Duar!

Evan membawa ayahnya melesat keluar, untung tepat waktu. Karena ternyata ada sebuah batu besar menggelinding dari arah gunung.

Wush!

Wush!

"Pemandangan dari atas sini sangat indah" gumam sang ayah menyadarkan Evan.

Lelaki itu baru sadar bahwa dirinya masih terbang, perlahan Evan membawa sang ayah turun.

Wush!

Wush!

Sret!

"Ayah mungkin sebaiknya kita pindah dari tempat ini" ujar Evan seraya menutup kembali sayap gagah nya.

"Ayah selalu terpukau melihat sayap mu, meskipun tak pernah dipakai terbang tapi tetap gagah dan justru semakin bersinar kuat" ujar sang ayah.

Evan sendiri tak mengerti, dia memiliki sayap putih dengan ujung bulu berwarna biru seperti matanya.

"Kamu harus mulai belajar mengendalikan kekuatan dalam diri mu Evan," ujar sang ayah.

"Sebenarnya aku sudah mengendalikannya, ayah" ujar Evan membuat sang ayah terkejut.

"Benarkah? Ayah ingin melihatnya" tanya sang ayah.

"Aku bisa mengendalikan semua elemen ayah. Tanah, air, api, udara, bahkan petir. Dan mungkin kekuatan lainnya" ujar Evan.

"Kekuatan lainnya?" tanya sang ayah tak mengerti.

"Ya, jika aku mengatakan bisa merasakan semua energi di dunia ini. Apa ayah percaya?" ujar Evan.

Tanpa ragu sang ayah mengangguk cepat.

"Tidak salah lagi Evan, kamu anak yang luar biasa" ujar sang ayah membuat Evan bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status