Share

TK 2

Malam hari di immortal berjalan dengan tenang, di kamarnya Kanagara sedang menulis sesuatu. Ya, pangeran itu ternyata juga memiliki ketakutan, yang mana semua hal itu ia tuliskan dalam buku hariannya.

Tok!

Tok!

Tok!

Namun tak berselang lama, ketenangan itu dihampiri seseorang yang mengetuk pintu. Kanagara langsung menyembunyikan buku nya kedalam laci.

"Masuk" ujarnya ketike buku itu sudah aman ditempatnya.

Ternyata yang datang adalah ibunya. Dewi Chanda, perempuan itu terlihat berseri-seri ketika menyambangi kamar putranya. 

"Ibu belum tidur?" tanya Kanagara.

"Kamu sendiri kenapa masih belum tidur?" timpal dewi Chanda bertanya.

"Aku hanya sedang berpikir tentang masa depan" ujar Kanagara.

"Kenapa harus dipikirkan, jelas masa depan mu adalah memimpin kerajaan dan dunia immortal" jawab sang dewi.

Kanagara tak bergeming. Sejujurnya dia ingin menyampaikan kegelisahan hati dan ketakutan menjadi raja, rasanya tidak mampu saja dengan keadaan dirinya yang seperti ini. 

"Dan masa itu akan berlangsung sebentar lagi, bulan purnama depan, Kamu akan diangkat menjadi raja anak ku" ujar dewi Chanda.

"Jadi sekarang kamu harus tidur dan tidak boleh kelelahan, kurangi jadwal berlatih mu, dan semua aktivitas agar kamu baik-baik saja saat penobatan" imbuhnya mendorong Kanagara tidur.

"Ibu aku takut" celetuk Kanagara.

Pada akhirnya lelaki itu tak bisa menahan kegelisahan hatinya, dia ingin sang ibu tahu bahwa dirinya belum siap memimpin kerajaan.

"Apa maksud mu berbicara seperti itu?" tanya dewi Chanda dingin.

"Aku belum siap ibu" cicit Kanagara.

"Lantas mau siapa lagi yang memimpin kerajaan?" tanya dewi Chanda tak habis pikir.

"Jika anak ibu dewi Anggraini masih hidup-"

"Dia sudah mati! Kerajaan tidak mungkin dipimpin oleh roh!" tegas dewi Chanda memotong ucapan anaknya.

"Aku tahu ibu. Aku hanya mengatakan seandainya saja" cicit Kanagara.

"Sudahlah, secepatnya kamu tidur" ujar dewi Chanda beranjak pergi.

"Dan jangan pernah berpikir kekuasaan ini dipegang oleh orang lain" imbuhnya.

Huft!

Kanagara tidak bisa menolak perkataan ibu nya, dan apa tadi kata sang ibu? Mengurangi jadwal aktivitas? Bodoh sekali, justru orang-orang berlatih untuk menutupi kekurangannya.

"Saat-saat seperti ini, aku berharap ayah segera sadar" gumam Kanagara sembari menarik selimut tidurnya.

Di kamar lain, dewi Anggraini sedang membersihkan wajah suaminya. Raja Baswara. Wajahnya terlihat sendu bercampur tenang ketika tangannya mengusap dengan telaten.

"Aku merindukan mu sayang, cepatlah bangun" gumam dewi Anggraini.

"Aku juga ingin meminta maaf. Maaf karena tidak bisa menjaga anak kita" imbuhnya mulai berkaca-kaca.

Dewi Anggraini benar-benar terpukul atas meninggalnya pangeran Sabitah. Dewi Anggraini sempat berpikir tidak bisa memaafkan dirinya sendiri akibat kelalaian itu.

Flashback.

Dewi Anggraini sedang mengurus tanaman di belakang kerjaan. Wajahnya berseri-seri melihat kelopak bunga yang berwarna-warni.

Sret!

Tangannya memetik sebuah mawar hitam, entahlah rasanya bunga itu terlalu menarik perhatiannya.

"Ratu dewi Anggraini" 

Namun ditengah kesenangan itu seorang prajurit tiba-tiba datang. Wajahnya menyiratkan ketakutan dan kesedihan.

"Prajurit? Ada apa?" tanya dewi Anggraini lembut.

"Dan dimana anak ku?" imbuhnya mencari sosok pangeran kecil tampan.

"Maafkan kami ratu," ujar prajurit itu.

"Maaf? Untuk apa?" tanya dewi Anggraini masih dengan senyumannya.

"Pangeran Sabitah, telah tiada" ujar prajurit itu tertunduk.

Dewi Anggraini terdiam sesaat, namun beberapa detik kemudian dia tertawa pelan. 

"Jangan bercanda seperti itu prajurit" tegur dewi Anggraini lembut.

"Maafkan kami ratu, tapi itu semua benar. Pangeran Sabitah diserang penjahat dan kami tidak menemukan dimana jasadnya" ujar prajurit itu.

Mimik dewi Anggraini perlahan berubah. Dia cemas, dan hal itu semakin bertambah ketika prajurit lainnya terbang membawa sebuah pakaian berlumur darah.

"Maaf ratu kami hanya menemukan ini" ujar prajurit itu memberikan pakaian pangeran Sabitah.

Seketika tubuh dewi Anggraini lemas, tangannya bergetar menerima pakaian bersimbah darah itu.

"Anak ku!" pekik dewi Anggraini mengiyakan jika pakaian itu adalah milik anak nya.

"Kenapa?! Kenapa kalian tidak menjaganya?!" teriak dewi Anggraini histeris.

Para prajurit dan anggota kerajaan lainnya yang lewat mencoba menenangkan dia, namun dewi Anggraini lebih dulu tak sadarkan diri dan dibawa masuk kedalam istana.

Dewi Anggraini terisak mengingat kejadian itu. Yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dewi Anggraini bercita-cita melihat anaknya tumbuh dewasa, kuat, gagah, baik seperti suaminya, dan nanti memimpin kerajaan setelah sang ayah lengser.

Namun apa kenyataannya? Takdir tak mengijinkan itu semua terjadi. Bahkan kepada dewa sekalipun. 

"Aku menyuruh mu untuk membersihkan raja, bukan menangis dan membuatnya terganggu!" 

Dewi Anggraini lantas mengangkat kepalanya ketika suara dewi Chanda terdengar mengomel lagi.

Tepat di depan pintu, dewi itu melipat tangannya didepan dada dengan sorot mata marah.

Di tempat lain seorang Lucifer memainkan patahan ujung tombak ditangannya. Bersama beberapa teman dia terlihat gembira sekali.

"Raja masih belum sadarkan diri, dan keadaan immortal sedang tak stabil. Kesempatan kita untuk menyerangnya" ujarnya.

Untuk ukuran seorang iblis dia cukup tampan, sayap hitam dan rambut panjangnya membuat ia terlihat gagah.

"Tapi immortal masih memiliki seorang pangeran" timpal salah seorang dari temannya.

"Pangeran? Maksud mu Kanagara? Dia bukanlah pangeran yang harus ditakuti" ujar si Lucifer tampan tadi.

"Yang harus kita waspadai adalah pangeran yang satunya lagi" imbuhnya.

"Immortal hanya memiliki satu pangeran dan satu putri, tidak ada lagi?" ujar temannya bingung.

"Ada, pangeran Sabitah. Yang gagal kita bunuh saat itu" 

Semua teman-temannya meremang teringat kejadian itu, ketika seorang anak kecil berusia dua tahun mengamuk dan membunuh teman-temannya yang lain.

"Lalu bagaimana jika dia tiba-tiba muncul Aiden?" tanya temannya.

Lucifer bernama Aiden itu berpikir sejenak dan tersenyum.

"Tidak ada tanda-tanda keberadaannya, selagi belum ada kita harus menyerang immortal secepatnya" ujar Aiden.

"Tapi tidak semudah itu, masih banyak pasukan kita yang belum siap bertarung" 

"Kita siapkan dari sekarang, sebagai pangeran iblis. Hal seperti ini mudah saja" ujar Aiden sombong.

"Baiklah, aku hanya akan menunggu perintah mu" 

"Kita mulai persiapan dari yang terkecil dulu. Aku ingin hari ini ada pertemuan dengan semua pasukan, sebelum bertemu dengan ayah aku harus meyakinkan mereka terlebih dahulu" ujar Aiden.

"Baik, aku akan meminta mereka berkumpul" 

"Cepat, dan harus kamu pastikan semua hadir Zoro" ujar Aiden.

Lelaki bernama Zoro itu mengangguk patuh. Lantas dia pun pergi melaksanakan perintah itu.

Sepeninggal Zoro, Aiden tersenyum sendirian di kamarnya. Kaca cermin yang bening memantulkan tubuhnya dengan sempurna.

"Untuk ibu ku yang telah kalian bunuh, immortal akan hancur ditangan ku" desis Aiden tersenyum miring.

Prang!

Tiba-tiba kaca itu pecah ketika Aiden membalikkan tubuhnya.

"Aku bahkan tak perlu mengeluarkan kekuatan untuk menghancurkan kalian" gumamnya berlalu pergi.

Brak!

Suara pintu yang ditutup keras menutup bagian ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status