Share

TK 14

Kanagara sudah sadarkan diri, pangeran itu langsung mengeluhkan keadaan yang tengah mengelilinginya sekarang. 

Serangan, kerusakan, bangsa iblis, kemarahan rakyat, pelarian, prajurit, perang dan masalah-masalah lainnya. Membuat ia ingin tak sadarkan diri saja, sama seperti sang ayah yang saat ini sedang ditatapnya.

Ya, untuk yang ke dua kalinya lelaki itu datang melihat raja di kamarnya. Tak ada yang berubah, orangtua itu terlihat damai nan asik dengan tidurnya.

"Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya tangan itu mengelus kepala ku" ujar Kanagara di samping sang ayah.

"Sejak lahir, kita tak pernah bermain. Jika ayah sadar jangan marah melihat sikap ku ini ya" imbuhnya tersenyum lucu.

Berharap sekali saja, ada jawaban dari raja. Jujur Kanagara sangat lelah, dia ingin menyerah pada kehidupannya, yang menjadi kenyataan adalah, kehidupan rakyat biasa lebih enak daripada mengemban nama pangeran.

Sebagai seorang lelaki, meski kadang manja, lemah, dan tak berguna seperti apa yang dikatakan Damon. Dalam lubuk hati terdalam, Kanagara ingin menolak semua itu. 

Ternyata tampan itu tidak berguna, ternyata jadi pangeran itu berat dan rumit, ternyata kehidupan kerajaan penuh dengan kebohongan, dan masih banyak 'ternyata' lainnya. 

"Sampai kapan?" tanya Kanagara menundukkan kepalanya.

"Sampai kapan ayah akan tidur seperti ini, immortal diserang dan aku tak bisa berbuat apa-apa" gumamnya larut dengan air mata.

Kanagara tak bisa menghentikan air matanya, jika dia berbicara suaranya akan semakin hilang. Pun dadanya menjadi sesak, jadi yang dia lakukan sekarang hanyalah diam, dan perlahan tersenyum miris.

'Maaf ayah, aku ini lemah sekali' -batin Kanagara.

Tanpa lelaki itu sadari, ada seseorang memperhatikan interaksinya. Dia adalah dewi Anggraini, setelah tadi berbincang sedikit dengan Damon, dia berniat menemui raja. Namun langkahnya tertahan ketika melihat Kanagara didalam kamar.

"Ayah, kak Sabitah itu seperti apa? Katanya dia pintar ya" ujar Kanagara.

"Andai jika dia masih ada. Mungkin semua ini tidak akan terlalu berat" imbuhnya.

Kanagara mendongakkan kepalanya menatap wajah sang ayah, tidak ada perubahan. Garisnya mengatakan jika dia raja yang tampan.

"Aku bangga memiliki wajah tampan seperti mu" gumamnya terkekeh sendiri.

"Diam disini membuat ku bimbang. Sangat senang namun juga sedih ayah, maafkan aku karena jarang datang kemari. Mata ku ini bosan melihat mu, selalu masih tertidur" imbuhnya.

Untuk yang terakhir kalinya Kanagara tersenyum.

"Sudah ya ayah. Aku pamit pergi" ujarnya melangkahkan kaki keluar.

Tap!

Tap!

Tap!

Saat kakinya melangkah keluar, sosok dewi Anggraini muncul. Perempuan itu tersenyum lembut menatap Kanagara. Sedangkan yang ditatap hanya bisa tersenyum canggung.

Ya, Kanagara tidak biasa dekat dengan dewi Anggraini. Meski dia ibu tirinya.

"Terimakasih sudah mengajak ayah mu berbicara pangeran" ujar dewi Anggraini lembut.

"Meskipun dia tidur dan tidak membuka matanya, tapi aku yakin dia bisa mendengar apa yang kamu katakan" imbuhnya.

Kanagara tersenyum sekilas dan mengangguk. Anak itu tidak membenci dewi Anggraini, dia hanya menjaga jarak. Sesuai dengan pesan ibunya.

"Aku permisi" ujar Kanagara berlalu meninggalkan dewi Anggraini.

Sepeninggal pangeran itu, sang dewi langsung meringsek masuk kedalam kamar. Tatapannya langsung berubah sayu menatap sang suami yang masih enggan membuka matanya.

"Aku juga merindukan anak kita" ujar dewi Anggraini.

"Jika dia masih hidup pasti sangat menyayangi Kanagara" imbuhnya tersenyum getir.

"Maafkan aku sayang. Tidak bisa menjaga permata kita, aku lalai sekali" ujarnya lirih.

Grep!

Digenggamnya tangan sang raja, dewi Anggraini pun tak bisa menahan tangisnya. Air mata dia jatuh mengenai punggung tangan raja.

"Maafkan aku" lirihnya sekali lagi.

Ditempat lain Mikaila sudah sampai di rumah, Austin langsung menyambutnya.

"Dimana Evan?" tanya Mikaila.

"Dia ada didalam, kenapa memangnya sayang?" tanya Austin.

"Tolong panggilkan dia" ujar Mikaila.

Austin pun menurut tanpa membantah sedikit pun, dewi itu memanggil Evan. Meski anak itu masih belum sepenuhnya bersikap seperti semula.

"Evan ayah mohon kamu pergi sekarang nak, mengembaralah ketempat yang jauh," ujar Mikaila memancing kekesalan Evan.

"Ayah kita sudah membicarakan ini-"

"AYAH MOHON. KALAU KAMU SAYANG KEPADA KITA LAKUKAN APA YANG AYAH MINTA" potong Mikaila tegas.

Evan terkejut, begitu juga Austin yang jarang melihat suaminya bersikap seperti itu.

"Ayah anggap itu sebagai balas budi kamu, atas apa yang telah ayah dan ibu berikan" ujar Mikaila.

"Ayah mengusir ku" timpal Evan kosong.

Mikaila menggeleng dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan.

"Ya.. ayah mengusir ku, ayah sudah tak sayang aku, ayah s-"

"AYAH SAYANG KAMU EVAN!" teriak Mikaila membuat Evan terdiam.

Austin yang bingung dan khawatir langsung memeluk suaminya itu, mencoba menenangkannya sembari bertanya apa yang terjadi.

"Kita bicarakan ini baik-baik sayang" ujar Austin lembut.

"Jangan seperti ini. Kamu berubah jadi orang lain" imbuhnya.

Namun Mikaila tak mengindahkan itu, air matanya justru tiba-tiba tumpah. Dan dia tak bisa lagi menutupi kesedihannya.

"Kota dan kerajaan sudah hancur, dan kemungkinan dewa-dewi muda seperti kamu akan ditarik paksa untuk menjadi tentara perang" ujar Mikaila menjelaskan. Tentu hal itu membuat Austin terkejut.

Begitu juga Evan, lelaki itu jadi merasa khawatir untuk hal yang gamang.

"Banyak dewa dan dewi keluar dunia immortal, mereka mencari kehidupan lain di bumi. Tapi ayah tidak ingin melakukan itu, dan ayah tidak ingin kamu menjadi tentara perang" ujar Mikaila.

"Ayah mencintai tanah immortal dan akan mempertahankan dari bangsa lain. Tapi tidak dengan kamu Evan, perjalanan masih panjang, orangtua mu juga belum ditemukan" imbuhnya.

"Orangtua ku kalian, jangan berbicara soal itu lagi. Kita sama-sama mencintai immortal karena itu kita juga harus tetap bersama-sama mempertahankannya" timpal Evan.

"Tidak nak, ayah lebih rela kamu pergi mengembara daripada harus menjadi tentara perang-"

"Ayah tidak ingin aku mati? Lantas apa bedanya dengan aku mengembara? Aku bisa kapan saja mati dan musuh bisa kapan saja menyerang" ujar Evan memotong ucapan ayahnya.

Gantian, kini Austin memeluk Evan. Dia tahu jika anaknya itu sedang dalam kondisi tertekan.

"Ya. Katakan seperti itu mau kamu. Ayah akan merasa sangat bersalah jika kamu mati sebelum mengetahui jati diri kamu dan keluarga mu. Itu kesalahan Evan dan kamu akan menyiksa ayah dengan hal itu sampai mati" ujar Mikaila

"Ayah bahagia memiliki kamu, yang sangat menyayangi kami. Tapi ayah lebih bangga memiliki kamu yang juga menyayangi dirinya sendiri dan mau mengakui keluarga aslinya" imbuhnya melengos pergi.

Evan tertunduk menatap kepergian Mikaila, Austin semakin mengeratkan pelukannya dan mencoba menenangkan Evan meski dia sendiri sudah menangis.

"Kenapa semuanya rumit seperti ini" gumam Evan.

"Aku menyusahkan kalian ya" imbuhnya pahit.

Austin menggelengkan kepalanya, dia tak setuju dengan pendapat itu. Baginya kehadiran Evan adalah anugerah terindah dalam hidupnya.

"Ibu juga bahagia aku pergi?" tanya Evan tiba-tiba. Austin langsung membeku melihatnya.

"Ibu.." gumam Austin menggantung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status