Share

Lelaki Idaman
Lelaki Idaman
Penulis: Ratu

Penghianatan Suamiku

"Mas, malam ini kamu sangat tampan. Aku merasa beruntung bisa tidur bersamamu malam ini," Suara manja seorang wanita membuat genangan air di mataku. Aku akui, aku tidak bisa menggoda lelaki sebaik dia.

"Kamu memang selalu manja, Sayang, menggemaskan. Aku yang merasa beruntung memiliki pacar secantik kamu." Suara lembut lelaki itu terasa sangat menusuk gendang telingaku. Suara itu milik Adi, suamiku. 

"Kamu bisa saja, Mas." Wanita itu terdengar tertawa kecil.

Di depan kamar 202 aku berdiri mematung dengan tetesan cairan bening membasahi pipi. Setelah aku selalu disuguhkan dengan penyangkalan dari mulut lelaki yang sudah menemani hidupku selama lima tahun, akhirnya aku bisa membuktikan kalau dugaanku benar. Dia berselingkuh dengan teman sekantornya. 

Pantas saja dia selalu marah setiap aku mengungkit kejanggalan sikapnya belakangan ini. Adi sering pulang larut malam dengan bau parfum wanita melekat di pakaian yang dikenakannya. Dia bahkan bersumpah kalau dia tidak pernah bermain gila dengan wanita lain setiap aku menuntut penjelasan. Apa artinya sumpah itu? Nyatanya aku sekarang berdiri di depan ruangan tempatnya memadu kasih dan menghianati pernikahan kami.

Aku memang bukan wanita sempurna. Selama lima tahun pernikahan kami, aku belum bisa memberikannya keturunan. Apa aku bersalah untuk itu? Apa aku pantas diperlakukan seperti ini oleh orang yang aku cintai? Sebagai seorang wanita aku juga ingin segera mengandung, aku ingin memiliki seorang bayi, tetapi takdir itu belum berpihak padaku. Aku harus apa? Bahkan menangis setiap malam pun tidak akan membuat seorang bayi hadir di dalam rahimku.

Karena hal ini juga, ibu mertuaku selalu memberikan sindiran yang sangat pedas padaku. Terutama saat aku berkumpul dengan keluarga besar Adi. Kakak dan adik ipar kami semuanya sudah memiliki momongan. Mereka bahkan tidak sungkan membandingkanku dengan wanita-wanita lain di luar sana. Jangan tanya rasanya, karena itu sangat menyakitkan. Bukan hanya aku, sepertinya semua wanita juga akan merasakan hal yang sama saat diperlakukan seburuk itu di lingkungan keluarga suaminya.

Hari ini, aku sengaja membuntuti suamiku. Semua berawal dari sebuah pesan singkat yang aku temukan di ponselnya semalam. Dia dan teman wanitanya itu sudah membuat janji untuk pergi ke suatu tempat. Mereka tidak menjelaskan secara gamblang kemana mereka akan pergi, tetapi sebagai seorang istri aku seperti sudah memiliki firasat kalau mereka akan pergi ke hotel. Dan ya, firasatku benar.

Aku merasa, hari ini aku harus menuntaskan semuanya. Aku sudah tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak layak untuk dijalani. Aku ingin mencari kebahagiaanku sendiri dan aku rasa aku pantas untuk mendapatkan itu. Dia memang aku cintai, tetapi bukankah mencintai saja tidak cukup dalam sebuah hubungan? Aku juga ingin dicintai, aku ingin menjalani pernikahan yang indah, dan tentunya aku tidak mau ada orang ketiga yang muncul dalam kehidupan pernikahan kami.

Selama ini aku sudah cukup sabar dengan semua sikap tidak baik Adi belakangan ini. Dia memperlakukanku dengan tidak baik, seperti orang asing, jauh dari kesehariannya dulu, sebelum wanita itu masuk ke dalam kehidupan rumah tangga kami.

Di dalam genggamanku, aku memegang kunci cadangan kamar itu. Dengan sedikit trik, aku berhasil mendapatkannya. Genggaman tanganku tidak begitu kokoh dan sedikit gemetar. Mau tidak mau aku harus melakukan ini, aku harus memergokinya hingga dia tidak bisa menyangkal lagi. Aku ingin melihat orang yang aku cintai tengah bercinta dengan orang lain agar mataku terbuka, dia tidak pantas aku cintai. Aku ingin mengakhiri hubungan tidak sehat ini.

Dengan tangan yang gemetar, aku memberanikan diri memasukan anak kunci pada induknya. Rasa sakit dan sesak mendadak mendera dadaku. Dengan sekuat tenaga aku membungkam mulutku sendiri untuk tidak bersuara dalam tangis yang tidak bisa aku tahan. Meskipun sebenarnya aku ingin berteriak dan melepaskan segala beban yang mendadak menimbunku. Oh Tuhan, berikan aku kekuatan. Berikan aku kelapangan hati untuk melihat kenyataan ini.

Perlahan ku ulurkan tanganku untuk menyentuh gagang pintu kamar itu. Satu tanganku berusaha menghapus air mataku yang masih deras mengucur. Aku tidak mau Adi melihat kehancuranku. Aku tidak bisa membiarkan dia merasa menang dalam permainan ini. Aku membenarkan tatanan hijabku sekenanya, supaya tidak terlihat terlalu berantakan. Aku menghela napas, menyiapkan diriku untuk lebih siap menghadapi kenyataan yang sebentar lagi akan aku buktikan kebenarannya.

Aku menarik pasti gagang pintu kamar itu. Perlahan aku membukanya dengan sangat pelan. Suara-suara bermanja masih terdengar, merajam pendengaranku. Sekali lagi aku menutup mulutku sendiri. Kali ini aku seperti ingin mundur dan mengurungkan niat untuk memergoki mereka. Rasa sakit di hatiku semakin terasa. Tuhan, aku sakit, bagaimana aku bisa baik-baik saja saat melihat orang yang aku cintai berada dalam satu ranjang dengan wanita lain?

Sekali lagi, aku gunakan kedua tanganku untuk mengelap kasar air mataku. Ku gunakan ujung hijabku untuk menyeka ingus yang mengganggu pernapasan. Aku mencoba meyakinkan diriku kalau aku pasti bisa melewati semuanya. Aku akan kuat melihat lelaki yang aku cintai berkhianat. Dengan mantap aku melangkahkan kakiku untuk masuk lebih dalam. Apa yang aku lihat membuat hatiku terasa terbakar. Suamiku membelakangiku dengan tubuh terpampang tanpa pakaian, dia tengah mencumbui seorang wanita yang berpakaian setengah terbuka di hadapannya. Aku sudah tidak tahan lagi melihatnya. Sungguh aku menyesal telah mencintai lelaki seperti Adi.

"Jadi ini pertemuan penting yang kamu bicarakan tadi pagi, Mas? Jadi ini hal penting yang tidak bisa kamu tinggalkan? Bagus. Aku tahu sekarang. Pekerjaan penting Mas adalah bercinta dengan wanita lain." hardikku. 

Adi terkejut. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Mungkin dia malu karena aku memergokinya, merasa bersalah, atau justru marah karena aku lancang mengikutinya sampai ke tempat ini.

"Asma, bagaimana bisa Kamu...," 

Aku memajukan telapak tanganku, memberinya tanda kalau aku tidak ingin mendengarkan kalimat apapun keluar dari mulutnya. Di sini cukup aku yang berbicara.

"Kamu tahu, Mas ... aku sudah berulang kali memaksa hatiku untuk tetap percaya padamu. Aku berulang kali menyangkal prasangka buruk tentang Mas yang menghianati aku. Apa yang aku lihat sekarang ini menamparku, membuatku sadar kalau aku terlalu bodoh. Aku terlalu lemah menghadapimu. Sekarang aku ingin memberimu kebebasan, kita memilih jalan sendiri-sendiri untuk mencapai kebahagiaan. Aku pamit, mungkin ini hari terakhirku mencintaimu, Mas. Aku mengabulkan keinginanmu untuk menikmati semua kebahagiaan yang sedang kamu raih sekarang. Maaf kalau selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu." ucapku dengan intonasi jelas sambil menahan emosi dan air mata yang akan kembali tumpah.

Aku melepas cincin yang telah melingkar di jariku selama lima tahun dan mejatuhkannya begitu saja ke lantai. Aku berbalik tanpa mempedulikan reaksi dan teriakan Adi menyebut namaku. Hari ini aku sudah sangat siap untuk mengurus gugatan perceraian kami. Dengan langkah pasti aku keluar dari kamar tempat suamiku memadu kasih. Aku berlari sekuat tenaga setelah berhasil keluar dari sana. Tuhan yang paling tahu bagaimana perasaanku sekarang. Hidupku terasa hancur lebur.

Aku pernah berpikir kalau setelah menikah aku akan menemukan kebahagiaan, tetapi tidak. Aku justru mendapatkan kehidupan yang jauh lebih buruk dibandingkan saat aku seorang diri. Mungkin ini cara Tuhan menghukumku, seorang yang terlalu berharap dan terlalu mencintai makhluk ciptaanNya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status