Share

Bab 1

Hidup Karra dimulai, ia berjalan dengan seorang pria yang sangat membosankan. Bicaranya sedikit, wajah datar. Senyum saja mungkin tidak pernah.

Karra berpikir bagaimana bisa ia dinikahi dengan pria seperti ini. Harus dia akui lelaki dihadapannya ini memang tampan, tinggi, tapi kalau menyebalkan itu akan membuatnya terbunuh sendiri seperti dia. 'Pantas saja mau dijodohin. Dia kaku gini.' Gerutu Karra dalam hati memasuki rumah. 

Karra membanting tubuhnya, di sofa. Rasanya dia lelah menghadapi diam dan dinginnya Seno yang luar biasa.

"Jangan malas-malasan. Disini enggak ada pembantu." Ucap Seno tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Maksudnya, Mas Seno." Karra bangkit, berdiri dibelakang tubuh Seno yang tinggi.

"Maksud saya, kamu kan istri, jadi beresin rumah. Ini rumah baru masih banyak debunya."

"What? Aku...? Mas, dirumah aja aku enggak pernah kerja. Masa disini kamu jadiin kamu pembantu." Protes Karra melotot.

"Itu dirumah kamu. Ini rumah saya. Kalau kamu enggak suka, kamu boleh pulang rumah orang tua kamu." Seno mengambil kotak yang berisi buku untuk ia tata di ruang kerjanya. "Satu lagi kalau pulang, siap-siap ayah kena serangan jantung karena ulah bodoh kamu."

Baru saja, Karra berpikir akan pulang, ia menurunkan kembali tas yang sudah dijinjingnya. Muka perempuan itu nampak  masam. "Kamu bilang aku bodoh."

"Lalu apa kalau bukan bodoh namanya. Saya tahu umur kamu masih 17 tahun tapi saya rasa kamu tidak akan bertindak bodoh dengan kembali ke rumah orang tua kamu."

Karra membuka lembar mulut, ia tak menyangka ucapan Seno sangat pedas. "Sekali lagi kamu bilang ak--"

"Apa? Kamu akan lakukan apa. Sekarang lakukan pekerjaan kamu sebagai istri." Seno melempar sapu dihadapan Karra. "Yang bersih."

Karra benar-benar merasa mendapat mimpi buruk, ia pun terpaksa menyapu setiap ruangan yang ada. "Dasar kaku! Mimpi apa gue kerja giniin. Bisa-bisa dia suruh gue nyapu. Bokap juga ngapain nikahin gue dengan dia. Udah Kaku, mukanya datar, dia tuh enggak pernah senyum apa?"

Setelah menyapu, Karra harus mengepel dan menyapu halaman. Walaupun tidak suka, Karra pun melakukan tugasnya.

Tapi ternyata diam-diam Seno memperhatikan Karra. Dia tidak membenci Karra, tapi juga tidak menyukainya.

Seno tidak tahu bagaimana harus hidup bersama gadis 17 tahun itu, dia mendengus lelah.

Karra masuk rumah kembali, ia melihat Seno yang berdiri di jendela. 'Ngapain dia berdiri di situ.' Ucap Karra dalam hati.

"Sudah selesai?" Tanya Seno yang melipat kedua tangannya didada.

"Iya sudah. Tolong ya, Mas. Aku capek, jangan suruh-suruh lagi." Pinta Karra dengan nafas tersenggal.

"Ge'er!! Itu makanan, makan. Laparkan."

Ajaib... Entah kapan mendadak sudah ada makanan. Padahal setahunya, Seno tidak keluar rumah. Bagaimana ada makanan untuknya. "Tadi saya beli sebelum rumah sakit. Tadinya mau kasih kamu. Cuma karena kamu udah mau pulang, jadi aku bawa aja."

Sebelum Karra dapat melontarkan apapun, ia terlebih dulu menjawab seakan tahu isi otak Karra waktu itu. "Aku ambil piring dulu." Kata Karra.

Karra pergi ke dapur, mengambil dua piring. Lalu duduk di meja makan bersama Seno. Mimpi apa dia harus satu meja makan dengan pria yang sama sekali di kenalnya.

Baru kali ini ia makan begitu canggung, Karra mencoba mencairkan. Namun tidak bisa melelehkan hati Seno.

"Kamu ingat ya. Jangan pernah masuk ke ruang kerja saya. Karena sangat privasi." Kata Seno yang sambil makan tanpa melirik wajah Karra.

"Iya... Iya... Oh ya kamar aku dimana."

"Kamar kita diatas."

"Apa? Kita? Maksud kita sekamar." Karra meninggikan notasinya.

"Kita suami istri.jadi harus sekamarkan."

"Tapi aku kan---" Ucap Karra tak selesai, ia menggigit bibir seolah memikirkan kata yang tepat untuk melanjutkan penuturannya. "Aku masih sekolah masa harus sekamar. Kita pisah kamar aja."

"Enggak ada kasurnya. Aku cuma sediakan satu dan jangan banyak protes."

Karra menatap intimidasi pada Seno, ia sangat jengkel. Ingin sekali Karra membenturkan kepala Seno di tembok.

Sungguh dia menghadapi orang yang menyebalkan sekali dalam hidupnya. Ia membanting sendok, setelah selesai makan. Karra bangkit ingin meninggalkan Seno. "Eh.. mau kemana. Beresin dulu." Kata Seno menunjukkan kedua makanan bekasnya dan Karra.

Karra rasanya ingin menelan bulat-bulat, lelaki yang sudah berstatus suaminya itu. 'Ya Tuhan... Kenapa Kau ciptakan pria kaku dan menyebalkan seperti dia.' Ricau Karra.

Karra kembali melakukannya dengan terpaksa. Ia benar-benar merasa seperti pembantu. Bahkan tulangnya terasa ingin patah saat ini.

Bagaimana seharian Karra terus bekerja seperti robot saja. Ia meninggalkan tempat itu, usai melakukan tugas dari Seno.

Karra pergi ke kamar, ia melihat Seno yang duduk di sofa dengan memainkan ponselnya. Belum juga Karra menaiki ranjang, ia mendapat teguran lagi dari Seno. "Mandi dulu. Baru tidur." 

"Aku cuma mau tiduran sebentar." 

"Mandi. Kamu kotor nanti melekar di kasur aku."

"Ya sudah aku mandi. Puas!!" Percuma saja ia membantah, ujungnya tidak selesai. Dan Karra ingin segera tidur. Setidaknya tidak bisa melihat wajah Seno dalam mimpinya. Itu yang Karra pikirkan.

Seno menatap Karra yang pergi. Ia juga sebenarnya tidak pernikahan ini. Seno lebih suka mengurus banyak pekerjaan daripada makhluk yang disebut wanita. Terkecuali ibunya sendiri.

Sekarang ia sendiri harus terlibat dengan Karra yang manja, apalagi masih sangat muda, akan sulit untuk mengaturnya.

Selain menjadi guru, ternyata Seno memiliki perusahaan keluarga yang harus ia teruskan. Ia anak tunggal, tidak ada yang bisa harapkan kecuali dirinya. 

Melihat Karra sudah tertidur pulas diranjang big size miliknya. Diam-diam Seno berdiri menatapnya. 'Gue enggak pernah bayangin nikah sama lo. Kita enggak kenal dan sekarang gue berbagi ranjang sama lo. Gue selalu nolak siapa pun dan lo dengan mudah masuk hidup gue. Kalau bukan karena Mama, gue enggak akan pernah nikah sama lo. Gue pastikan lo enggak akan betah sama gue. Lo sendiri yang akan minta cerai.'

Seno sengaja memperlakukan Karra seperti pembantu agar tak perlu lama menjalin pernikahan yang tak ada arti untuknya. Ia tak sangat membenci keadaan seperti ini.

Karra merasa tubuhnya kedinginan, ia melekuk tanpa selimut. Seno melihat itu, ia menjadi kesal. "Nyusahin aja!!" Decak kesal Seno terpaksa menarik selimut.

Seno baru sadar jika ditelisik wajah Karra begitu cantik, dengan matanya yang bulat, hidung mancung, bibirnya tipis. 'Pikir apa lo, Sen. Jangan lo tergoda dengan bocah kecil.' batin Seno lalu berburu pergi keruangan kerjanya. Lelaki itu berkutat dengan pekerjaannya. 

Otaknya kembali berpikir, bagaimana sekarang dia tidur dengan Karra. Baru sehari Karra berhasil membuatnya hampir gila.

Lebih-lebih lagi, ia harus terbiasa bangun melihat perempuan itu. Mungkin itu hal menggerikan bagi Seno.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status