Share

03 - Melakukan Kebodohan

"Si jalang ini benar-benar jorok!" cibir Olivia, saat masuk dalam rumah. Aku memang sedang dalam fase malas untuk melakukan apa-apa, ditambah status sebagai seorang single, seorang janda karatan. Aku menggosok tubuhku sendiri, tak percaya pada akhirnya aku menyendiri, meninggalkan status yang begitu hina dan rendah di mata orang-orang. 

Olivia meletakan bokongnya dan duduk di sebelahku, aku memang menelpon dirinya dan ingin membicarakan banyak hal, selain saudariku Skye yang bisa diandalkan, aku punya Olivia sebagai orang yang sangat bisa diandalkan. 

"Demi kesehatan mentalmu, keluar dari kantor itu segera." Aku hanya menggeleng, aku mencintai pekerjaanku, walau banyak sekali hambatan ke depan. Terutama mengahadapi mantan suami sendiri, dan jalangnya. Aku kembali menatap layar di depan, dengan air mata yang kembali menetes, tak percaya Fynn lebih memilih jalang itu dibandingkan diriku, terkadang ada titik di mana malam-malam aku terbangun dan menangis merindukan laki-laki itu. 

Olivia sangat pengertian padaku, walau dia suka mengomel tapi dia lebih mengerti seperti seorang ibu, itu yang membuatku terus bersahabat dengannya hingga detik ini dan begitu akrab. 

Olivia langsung mengeluarkan tisu dari tasnya, dan memberi padaku, sebenarnya aku masih sangat galau dengan status, aku masih shock jika aku telah sendiri, di saat selama ini aku terus berdua dengan laki-laki itu. Selalu bersama dari remaja hingga dewasa, hidup bersama selama belasan tahun. 

"Pemandangan itu yang akan kamu lihat setiap hari. Tekanan itu yang akan kamu hadapi. Mau bagaimana lagi, kalau kamu tidak keluar dari circle itu, kamu akan tetap merasakan hal yang terus menyakitkan." Aku membuang ingus, dan menarik napas tak lega sama sekali. 

"Jadi, bos itu berbuat apa? Apa bokongnya besar?" goda Olivia, aku langsung menendangnya dengan pertanyaan konyol tersebut. Dia gila! 

"Dia sedikit memaksa, walau aku lihat dia sepertinya berhati lembut, hanya saja dia ingin menunjuk kekuasaannya, jadi bersikap sedikit arrongat." Olivia hanya mengangguk. Aku menatapnya, dia kembali fokus ke ponsel miliknya. 

"Jadi, apa alasan yang membuatmu bertahan?" Pertanyaan Olivia untuk kesekian kalinya, tak ada jawaban pasti, aku hanya mengikuti kata yang menyuruh untuk bertahan, walau akan berdarah setiap hari. 

"Jadi, si jalang itu tak malu-malu menunjukan kemesraan mereka?" Aku berbalik, menatap mata bulat milik Olivia, dia punya bibir kecil penuh hampir berbentuk hati. 

"Kayaknya dia sengaja, kalau aku ada di mana, dia akan menyenggol untuk memanasi aku, merasa menang telah menghancurkan pernikahan ini." Aku kembali terisak, di hadapan orang tuaku aku berusaha sok tegar, tak mau mereka semakin terpukul karena kenyataan ini. Semua orang ingin, setiap pasangan berharap hubungan pernikahan bisa langgeng, begitu juga harapan orang tua pada pasangan anak masing-masing. 

Drama hidup Skye yang dulu, yang hampir berpisah dengan Bryce, membuat trauma sendiri bagi Mommy dan Daddy, pada akhirnya aku bercerai beneran, tanpa skenario, dokumen perceraian itu ada di tanganku sekarang. 

Olivia hanya menepuk-nepuk belakangku, dia simpati walau mungkin dengan aku yang terus saja keras kepala. 

"Ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan?" Aku mengangkat alisku, Olivia tersenyum jenaka. 

"Ayolah, bitch! Jangan terus mengurung diri. Kamu harus berbahagia!" Olivia menarik tanganku, mendorongku segera mandi, dan mempersiapkan diri. Aku langsung bergegas mandi, dan bersiap-siap. 

Olivia mengomel, walau menelpon orang untuk membersihkan rumahku. 

______________

Kaos hitam dengan outer berwarna abu-abu, kacamata hitam, dan juga topi bundar sebagai aksesoris. Mengisi penampilanku siang ini. 

"Kita bukan mau dating, bitch!" Aku hanya mengedihkan bahu, berlalu masuk ke dalam mobil, membiarkan Olivia terus mengomel. 

Dan juga tidak tahu ke mana Olivia membawa. 

"Jadi, terdapat indikasi bahwa bos itu menyukai dirimu?" Aku hanya menganga, tidak berpikir ke arah sana, karena menurutku hubungan bersama Bennett murni karena kerja. 

"No! Dia pasti ingin memanfaatkan aku untuk kerjanya lebih bagus lagi." 

"Mana ada begitu perhatian seperti itu." Aku hanya menggeleng, tak ingin berspekulasi lebih lanjut. Sambil melihat penampilan di cermin, memikirkan banyak hal, terutama rindu yang kian kurang ajar menyusup. 

Olivia memutar lagu yang sedikit beat, membuat aku tak ingin memikirkan banyak hal, dan mencoba menikmati waktu. 

_________

"Here we go." Aku menyipitkan mata, melihat keadaan sekeliling. Sebuah villa yang berada di atas bukit, dengan banyak wahana hiburan, beberapa kali aku menginap di sini, dan lagi kembali mengingatkan tentang Fynn. Aku kembali teringat laki-laki itu. 

Dengan lesu, aku mengangkat bokongku masuk ke dalam villa, dan kami berjalan menuju belakang. 

"Kamu membutuhkan ini!" ujar Olivia menepuk-nepuk belakangku, aku hanya mencengkeram tas erat-erat. Yang benar saja bitch ini! Di hadapan kami sudah berdiri dengan gagah sebuah ayunan raksasa, dibangun di atas sungai, dengan ketinggian mencapai 395 meter, tingkat kemiringan 112 derajat MDPL. 

"No, bicth! Mendadak serangan jantung aku." Aku langsung menggeleng, tapi Olivia semakin mendorong tubuhku. 

"Kamu bebas teriak, memaki-maki jalang Amanda, sama mantan suami kamu yang mokondo." Aku hanya tersenyum kecut, tak siap dengan ini. Aku tak mau, bermain ini. Lebih baik aku tidur di kamar, sambil membaca novel. 

"Hey, girls! Sorry, I'm late." Aku berbalik, dan melihat Mario. Adik Olivia, usianya empat tahun di bawahku, walau masih muda, Mario sudah punya banyak usaha di mana-mana, punya beberapa cafe, dan usaha rental mobil. 

"Makin cantik aja." puji Mario, sambil mencium pipiku. Aku hanya menganga, dia tidak pernah seagresif ini, tapi hari ini dia tampak bergairah sekali. 

Rambut gondrongnya dia ikat dan memakai bandana berwarna merah, Mario adalah tipikal laki-laki playboy yang mempunyai teman kencan di segala sudut, walau aku tak pernah tahu dengan urusan pribadinya. Dia hanya memakai kaos putih ketat, sangat kasual, tapi kesan laki-laki begitu tercetak jelas, dengan sepasang dimple yang menghiasi pipinya ketika tersenyum. 

"Mau main ini?" Suaranya begitu maskulin, aku terdiam beberapa saat, masih terpukau dengan penampilan Mario, lebih terlihat dewasa dari yang terakhir aku melihatnya. 

"Have fun, bitch!" 

"Woy! Mau ke mana? Kamu yang ngajak, kenapa pergi?" Aku berteriak pada Olivia yang sudah pergi. Akhirnya aku hanya menurut, karena sudah berada di sini, walau aku takut dengan ketinggian sejujurnya. 

Kami memakai semua keamanan sesuai dengan prosedur. Mario berdiri di belakangku, membuatku tak terlalu gugup, karena ada pelindung di belakangku. Masih dengan tubuh gemetaran, saat ayunan itu didorong aku tak berani membuka mata, tapi bisa merasakan sebuah lengan kokoh melingkar tubuhku, aku merasa nyaman. 

"Coba buka matanya, nikmatin pemandangan di depan." Aku menggeleng, tak berani untuk membuka mata. Tangan Mario menutupi wajahku. 

"Aku hitung sampai tiga buka, ya." Aku masih terdiam, merasakan Mario yang berbicara lebih keras, hatiku berdebar, bercampur aroma maskulin yang membuatku jadi berpikir liar. 

Aku bisa merasakan jika Mario memeluk tubuhku sepenuhnya, dengan kepalanya bersandar di bahu, wajah di wajahku, aku bisa mencium cologne mahal yang tercium dari tangannya. 

"Ayo, buka." bisik Mario pelan, yang membuat seluruh tubuhku merinding, sesaat tangannya dilepas aku merasakan sebuah tangan kokoh melingkar di perutku, dan sebuah kenyamanan merasuk dalam jiwaku. Aku menahan napas, membuka mata perlahan dan dibuat terdiam dengan pemandangan serba hijau di depan. 

"Ahhhhh! Ini seru, tapi aku takut serius!" Aku terpekik, saat melihat lagi ke bawah, ada sungai degan air jernih yang mengalir, dengan bebatuan tajam sepanjang sungai. Dengan berpegangan erat pada tali ayunan. 

"Rasakan kalau sekarang kamu terbang." Aku menggeleng, terbang tapi ini sangat menyeramkan. Aku takut dengan ketinggian, tapi juga terasa menenangkan di satu sisi. 

Aku kembali menutup mata, ingin meluapkan semua beban yang terus saja membuangku merasa berat, beban di pundak seketika terasa ringan. 

"Teriak aja!" Mario seperti bisa mengerti keresahanku. 

"Ahhhhh! Fynn kamu bajingan! Amanda bitch! Kalian sama-sama sampah!" Rasanya puas sekali setelah berteriak, andaikan Fynn dan Amanda berdiri di sungai tersebut aku akan melempar batu ke wajah mereka dengan posisi seperti ini. 

"Tadinya kupikir aku akan muntah, tapi ini sangat menyenangkan!" Aku bisa merasakan tubuh Mario bergerak, mungkin gesture jika dia setuju dengan perkataanku. 

"Nikmati pemandangan di depan." Pandanganku mengikut arah tangan Fynn melihat pohon-pohon yang menjulang tinggi menjadi kecil di hadapan kami sekarang. 

Saat Mario menyampirkan rambutku ke belakang, aku semakin merasakan kegugupan saat tangannya bersentuhan dengan kulitku membuat seluruh tubuh meremang. Aku hanya bisa menelan ludah kasar, tak lagi berpikiran tentang ketinggian tapi posisi Mario yang membuatku menjadi gugup. Dasar brondong! 

Mario menyandarkan kepalanya di bahuku sambil memeluk pinggangku, pose yang tidak elit sama sekali. 

"Rasakan semua angin yang segar, buang semua hal toxic dalam hidup, tarik napas panjang, dan teriak lah." Aku mengikuti instruksi tersebut, dan melakukan hal yang seharusnya aku lakukan. 

"Fynn, kau jahat! Kau sial! Walau aku sangat mencintaimu. Kau bajingan!" Tubuhku bergetar, dan melemah. Pelukan Mario di pinggangku kian erat, aku mengode pada Mario untuk menghentikan ayunan, jika Olivia mendengar dia akan mengomel, karena aku masih mengharapkan laki-laki sial itu. 

Sesaat semua pengaman terlepas, aku hanya terduduk di tanah, menunduk, ingin melihat air mataku sendiri menangis darah karena Fynn sialan itu. Kembali menghela napa kasar, aku menoleh saat merasakan sebuah tepukan di belakangku, dan Mario menyodorkan sebuah botol air mineral, dan aku langsung meminumnya. 

"Are you okay?" tanya Mario lembut, aku menatapnya sembari menggeleng, aku mengulurkan tanganku meminta untuk berdiri. 

Dan akhirnya aku memuntahkan semua isi dalam perut, memikirkan Fynn dan jalang Amanda memang membuatku mual dan juga mendadak mules. 

"I'm sorry." Aku merasa bersalah pada Mario karena nyatanya aku memuntahkan kaos putih miliknya. Benar-benar memalukan. 

"I'm sorry, aku akan mencucinya." Mario menggeleng sambil membuka pakaian miliknya, yang menampilkan otot kekar. Dia rajin pergi ke gym. Aku hanya menelan ludah. Saat dia berlalu, dan aku bisa melihat sebuah tato kupu-kupu tepat di belakang punggungnya. Aku masih membeku seperti orang bego, sebelum mengejar Mario. 

____________

Enjoy the story🌞🌞. Ini baru permulaan 🐞🐞. 

See you 🐇🐇. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ningsih Dwi
cerita kelsea kapan lanjut kak
goodnovel comment avatar
Bunga Lily
sama kak, selalu menanti gimana Perjalanan si Bule menjalani peran sebagai seorang ayah... ternyata perlu diacungin jempol... nunggu reaksinya di kisah Verena yg suka David 😁
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status