Share

3. Ditembak

Sore hari saat jam pulang kantor, semua mulai berkemas setelah menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Wajah kusut karena penat memutar otak jelas tergambar di wajah semua karyawan tanpa terkecuali.

“Mau bareng gua gak Za?” tanya Adit sambil merapikan mejanya.

“Cieee... Za doang nih yang diajakin, kali-kali ajakin gua dong...” ledek Sarah, teman satu divisi yang kubikelnya di sebelah Za.

“Kalau sama lu takut dimarahi laki lu Sar.... “ jawab Adit santai.

“Iya-iya... Tapi sepertinya lebih karena ada sesuatu ini.” Ujar Sarah penuh selidik.

“Mas Adit hutang budi sama aku kak, kan aku berjasa membantu perubahan penampilannya.” Jelas Za semangat.

“Oh ya? Mana, kok gak berubah?” tanya Sarah penasaran.

“Belum waktunya, tunggu tanggal mainnya kak... Ayo mas Adit...” jawab Za semangat kemudian menenteng tasnya setelah selesai berkemas.

“Duluan ya kak Sarah... Nanti kalau Tia tanya aku udah duluan gitu ya kak...” ucap Za.

“Kita duluan Sar...” pamit Adit lalu berjalan keluar mengikuti Za.

Sepanjang perjalanan Za lebih banyak diam dan sibuk dengan ponselnya. Ia tengah berkirim pesan dengan adiknya yang ia temui di mall siang tadi. Sedang Adit lebih fokus pada jalanan yang saat itu sudah mulai ramai dan macet.

Beberapa kali Adit melirik ke arah Za namun tetap saja gadis di sebelahnya itu tidak juga peka. Beberapa kali pula Adit menghembuskan nafasnya dengan kasar berharap Za akan menoleh dan berkomentar sesuatu tentang dirinya.

“Lu itu di sini, tapi nyatanya sedang tidak di sini. Huuhh, berasa bawa patung Pancoran ini...”

gerutu Adit mulai kesal.

“Maaf mas Adit, lagi chat sama adikku. Tadi kan kita ketemu sebentar...”

“Yang tadi siang lu izin itu?”

Za hanya mengangguk mantap dengan menoleh sebentar ke arah Adit.

“Za, kita makan dulu ya. Udah mulai macet gini, males nyetirnya kalau macet.” Ajak Adit.

“Oke, tapi kacamatanya ganti ya...” jawab Za mengajukan syarat.

“Iya...”

Saat menemui sebuah restoran terdekat, segera Adit menepikan mobil menuju area parkir restoran tersebut. Setelah berhenti sempurna, Adit mengganti kacamatanya.

“Gimana?” tanya Adit tentang kacamatanya.

“Bagus, mas Adit jadi terlihat lebih ganteng dan menarik juga smart. Pokoknya I like it...” jawab Za penuh semangat.

“Oke, ayo kita turun...”

Sampai di dalam mereka segera duduk. Sambil menunggu pesanan datang mereka mengobrol santai. Dari tatapan Adit terlihat bahwa ia begitu perhatian pada Za. Terlihat sekali jika sebenarnya Adit menaruh rasa terhadap gadis yang bersamanya itu.

“Mas Adit, pakai kacamata yang baru aja. Bagusan pakai ini mas. Yakin deh bentar lagi pasti dapat cewek... “ goda Za penuh semangat.

“Oh ya?”

“Iya, terlebih kalau pas aku lagi bareng kan semangat juga tahu nggak sih, orang lihat kan aku sama cowok ganteng. Kacamata jengkolnya simpan aja ya mas nanti, nggak usah dipakai lagi.”

“Kamu suka aku kaya gini?” tanya Adit memancing.

“Iya dong, itu kan aku yang pilih jadi aku pasti suka. Pokoknya tampilan yang lain dah keren mas, asal ganti kacamata jengkolnya, jadi maksimal gantengnya...” jawab Za ceria.

“Ya udah, kamu jadi pacar aku aja ya Za...” ucap Adit sambil menyedot jus yang baru saja diantarkan pelayanan ke mejanya.

“Mas Adit ini suka bercanda aja.” Jawab Za mulai salah tingkah.

“Kalau aku serius gimana?” tanya Adit sambil menatap Za

lebih lekat.

“Ah, lapar nih... Makan yuk...” Za mengalihkan pembicaraan dan mulai menikmati makanannya untuk menutupi kebingungannya.

Adit justru tersenyum melihat gadis di hadapannya itu berubah merah pipinya. Tergambar jelas ia kehilangan kepercayaan dirinya ketika Adit mengatakan hal itu.

Selesai makan segera mereka masuk mobil dan berjalan kembali menyusuri jalanan ibukota yang padat namun sudah tidak macet seperti saat jam pulang kantor tadi. Za masih saja terdiam karena bingung dengan ucapan Adit tadi.

Sebenarnya Za merasakan hal aneh ketika ia bersama Adit. Perhatian dan kebaikan Adit padanya sungguh membuat dirinya nyaman hingga entah membuat rasa yang apa itu namanya Za sendiri tidak mengetahuinya. 

“Za, main yuk... Sesekali temani gua eh aku jalan malam ini.” Ajak Adit.

“Ke mana?”

“Temanku baru buka club baru, temenin aku ke sana ya... Aku janji enggak akan mencelakaimu. Sekali ini aja...”

“Aku gak pernah ke tempat seperti itu.”

“Aku juga jarang. Aku dapat undangan buat ke sana, yang punya temanku sendiri. Tapi kalau kamu nggak mau mau juga nggak papa, aku antar kamu pulang dulu....” jawab Adit lalu kembali fokus menyetir.

“Apa kamu janji aku akan tetap baik-baik saja?”

“Tentu.... Jadi, apa kamu mau menemaniku?”

“Dengan syarat kamu tidak melepas kacamata pilihanku ini. Kamu juga harus janji tidak akan meninggalkan aku sendirian.”

“Oke, kita langsung ke sana ya...”

Adit segera mengemudikan mobilnya menuju klub baru milik temannya. Mobilnya menyusuri jalanan Jakarta yang padat. Hari yang mulai malam, tidak membuat jalanan Jakarta lantas menjadi sepi. Justru di beberapa tempat banyak sekali warga yang keluar dan memenuhi jalanan ibukota. Tempat makan dan tongkrongan terlihat ramai di kala menjelang malam. Karena kebanyakan warga ibukota lebih memilih untuk makan di luar dibandingkan harus memasak di rumah ketika mereka pulang dari bekerja.

Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya sampai di tempat tujuan. Sampai di dalam Adit disambut oleh temannya. Dengan ramah teman Adit pun menyapa dan mengajak Za berkenalan.

“Hai, Dit... Tampilan baru nih...” sapa temannya sambil memeluk Adit.

“Siapa aja yang datang?” tanya Adit.

“Itu di dalam sudah ada Juna, Natalie, Danar, dan Hendri. Cuma kita berenam aja.... Oh iya, cewek lu nih?”

“Kenalin ini Zahira panggil saja Za... Za, kenalin Andre” ucap Adit memperkenalkan .

Za dan Andre bersalaman saling memperkenalkan diri. Setelah itu andre mengajak mereka masuk menuju tempat di mana teman teman yang lain berkumpul. Musik yang keras menggema di telinga, lampu warna warni menghiasi tempat yang sedikit gelap karena memang cahaya yang disediakan di dalam hanya lampu disko seperti kebanyakan club yang lain.

Di arena dance floor banyak orang berjoget berdesak-desakan. Tak sedikit dari mereka yang sambil membawa botol minuman. Hingga dapat dipastikan bahwa kebanyakan dari mereka dalam kondisi mabuk. Za yang tidak terbiasa dengan suasana seperti itu merasa risih, hingga ia tidak melepaskan tangannya dari lengan Adit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status