Sesuai janjinya, Desta menemani Andin berbelanja keesokan harinya. Terjadi perdebatan kecil mengenai waktu kepergian mereka; antara sebelum atau sesudah makan siang. Namun kemudian, mereka berdua sepakat untuk sekalian makan siang di luar. Barulah setelahnya, mereka dapat bebas berbelanja.
Mereka memutuskan untuk pergi ke Aksa Mall. Tujuan pertama adalah melihat-lihat bakal tempat yang ditawarkan Desta untuk kafe Andin. Sebenarnya, Desta membebaskan Andin memilih area kosong yang tersebar di beberapa lantai mall tersebut. Dan Andin mengambil lapak kosong di ground floor.
Jika dibandingkan kafenya yang telah berdiri, tempat yang dipilihnya tidak seluas itu. Ukurannya sedikit lebih sempit. Tapi, tak masalah. Dia bisa memanfaatkan dinding kaca untuk memberi ilusi ruang yang luas dan lega. Selain itu, dinding kaca dapat memanjakan mata dengan pemandangan yang monoton. Yah, walaupun ujung-ujungnya yang terlihat juga lingkungan sekitar mall<
Memiliki Wida sebagai asisten pribadinya sungguh merupakan keputusan yang tepat. Wanita itu adalah tipe pekerja keras dengan hasil kerja yang memuaskan. Karenanya, Andin hampir selalu bisa mengandalkannya di segala situasi, termasuk untuk mengurus kelangsungan hidup kafenya. Namun, bukan berarti Andin hanya bersantai dan tinggal menerima laporan beres darinya. Andin tetap mengawasi semuanya dan memberi arahan yang diperlukan.Lima tahun sudah mereka saling mengenal. Awalnya, Andin menolak mempekerjakan seorang asisten. Untuk apa? Dia merasa sanggup melakukan semuanya seorang diri. Tapi, Gama, kakak tertuanya, memaksa. Katanya, keberadaan asisten pribadi sangatlah membantu. Meski Andin tak berminat terjun ke dalam perusahaan keluarga, asistennya bisa menolongnya mengurus aset-aset yang dimilikinya. Ralat. Diberikan kepadanya. Sementara Andin asyik menekuni hobi memasaknya--dia menjalankan sebuah blog mengenai resep masakan--Wida dapat menggantikannya memantau keuangannya. 
"Aku senang kamu benar-benar datang," komentar Desta sesaat setelah melihat istrinya muncul dari balik pintu di ruangannya. Wanita itu selalu terlihat cantik. Dress selutut warna pastel membalut indah tubuhnya ditambah rambut panjang yang dibiarkannya tergerai. Ah, Andin memang selalu cantik. Dulu ataupun sekarang.Andin menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan ke arah sofa besar di sana. "Tentu saja. Aku sudah berjanji," balasnya sembari meletakkan tas jinjing yang dibawanya ke atas meja.Desta melirik sekilas arlojinya. Tepat lima belas menit sebelum jam makan siang. "Kamu bisa menunggu sebentar? Aku harus menyelesaikan ini dulu," ujarnya merujuk pada berkas di tangannya.Andin memahami hal itu. Dia mengangguk dan tanpa suara mempersilakan Desta berkutat kembali dengan pekerjaannya. Inilah resiko mengunjungi kantor orang. Dia tak mungkin mengganggu pekerjaan Desta di jam kerjanya. Lagi pula, siapa dirinya? Dia bukan pegawai atau rekan k
Sebagai seorang ibu rumah tangga, waktu luang yang dimiliki Andin cukup banyak. Bisa dibilang, siang hari merupakan jam santainya. Tidak ada Desta yang akan menggunakan berbagai alasan untuk mendekatinya. Dia sendirian dan bebas menggunakan waktunya itu mengerjakan apa pun yang ingin dia lakukan.Situasinya yang hanya tinggal berdua dengan Desta lumayan menguntungkannya. Pekerjaan rumahnya tidak terlalu banyak dan yang terpenting, dia bisa santai mengerjakannya. Tidak ada kewajiban baginya untuk selalu rajin. Desta dengan sukarela akan membantunya jika rasa malas mendera. Dan bila keengganan itu terasa berat, dia bisa memanggil seseorang untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mudah, bukan?Banyak hal yang bisa dia kerjakan untuk mengisi waktu senggangnya. Paling sering, memang, dia gunakan untuk mencari-cari resep baru yang entah kapan akan dicobanya. Atau kegiatan lain yang tak kalah sering dilakukannya adalah menonton, baik film, serial TV, atau apa pun ya
"Kapan perkiraan kelahiran si Blue?" tanya Andin mengalihkan obrolan ke topik lain. Panggilan videonya bersama sang sahabat belum terputus dan kemungkinan akan berlanjut untuk waktu yang cukup lama mengingat kebiasaan mereka yang sering bertukar cerita hingga lupa waktu.Blue adalah nama panggilan sementara dari bayi yang tengah dikandung Dewi. Dewi dan suaminya belum memutuskan akan memberi nama apa pada putri mereka. Jadi, untuk sementara mereka memanggilnya Blue. Alasannya, karena mereka sama-sama menyukai warna biru."Bulan depan. Doakan semuanya lancar, ya," pinta Dewi di akhir kalimatnya. Ya, doa dan dukungan orang-orang terdekatnya sangat dia butuhkan saat ini. Jika mempunyai kesempatan, tentunya, dia ingin sekali bersua langsung dengan mereka, bukan hanya bertatap muka lewat gadget. Tapi, dia tak menyalahkan keadaan ataupun keputusannya yang memilih tinggal jauh dari ibu pertiwi. Lagi pula, dia menikmati hidupnya. Di sini
Desta menutup pintu mobilnya agak keras, kemudian berjalan menuju pintu rumahnya setelah sebelumnya memastikan alarm mobilnya sudah aktif. Dia mendorong pelan pintu cokelat itu, namun tak terbuka. Dicobanya kembali, kali ini lebih keras. Lagi-lagi tak berhasil.Ah, dia ingat. Belum lama ini dia minta Andin agar selalu mengunci pintu rumah. Ini sebagai bentuk pencegahan dari hal-hal yang tidak diinginkan karena istrinya hanya sendiri di rumah selama dirinya bekerja. Dia merogoh tas kerjanya, mencari kunci rumah yang dia simpan di dalamnya.Keadaan rumah yang mulai gelap menyambutnya usai berhasil membuka pintu cokelat itu. Keningnya berkerut. Hari memang mulai gelap. Pukul lima lebih sepuluh dan lampu rumahnya belum ada yang menyala. Ke mana istrinya? Apa Andin sedang pergi? Tapi, wanita itu tak mengatakan apa pun padanya. Lagi pula, mobilnya masih terparkir rapi di garasi.Semua pertanyaannya terjawab sudah ketika matanya menangkap sesosok wani
Tidur sorenya, rupanya, cukup berefek pada jam tidur Andin. Jika biasanya matanya dapat dengan mudah terpejam menjelang tengah malam, maka hari ini dia akan tidur lebih malam lagi. Rasa kantuk sama sekali belum hinggap padanya, padahal waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam lebih.Andin sudah mencoba tidur. Hampir satu jam sudah dirinya bergulat di tempat tidurnya, berusaha memejamkan mata, dan berharap kantuk itu segera datang. Biasanya cara ini lumayan berhasil. Dia akan membuat tubuh dan pikirannya rileks sehingga dia dapat memasuki dunia mimpi dengan mudah.Namun, kali ini tidak, yang meski sudah melakukan cara-cara di atas, tubuhnya menolak untuk tidur. Yang ada justru rasa lelah karena sejak tadi hanya berguling ke sana kemari tanpa hasil. Menyerah, akhirnya, dia memilih untuk bangun, menyalakan kembali lampu tidurnya, dan mencari-cari kegiatan yang bisa dilakukannya.Awalnya, dia pikir menonton drama adalah ide yang bagus. Tapi, men
Seharusnya Andin tidak mencobanya. Memang, apa yang dia harapkan dari sepasang lingerie? Tidak lebih dari gaun tidur sexy untuk menggoda dan membangkitkan gairah para pria. Seperti yang terjadi pada suaminya. Beruntung, Desta melepaskannya setelah menerjangnya dengan ciuman tanpa ampun. Yah, meskipun kedua tangan Desta liar meraba tubuhnya di sana-sini. Namun, ketakutan terbesarnya tidak terjadi. Harusnya dia lega. Benar begitu, bukan?Desta bahkan berbaik hati membiarkannya bersembunyi sepanjang pagi ini. Oh, bayangkan betapa malunya dirinya! Dia yang belum yang seutuhnya memberikan tubuhnya terjamah oleh suaminya--Desta tahu betul mengenai hal itu--justru menantang keberuntungannya sendiri dengan berdiri setengah telanjang--nyaris telanjang--di hadapan pria itu. Maka, dia tak bisa menyalahkan bila bara gairah itu tersulut. Dan sejujurnya, api itu pun terbakar di dalam dirinya. Tetapi, sebelum semuanya terlambat, dia berhasil menghentikannya.
"Boleh saya bergabung?"Pertanyaan tanpa basa-basi itu terlontar begitu saja dari mulut manis wanita yang bahkan kehadirannya masih menyisakan keterkejutan di wajah Andin dan Desta. Tak perlu menunggu jawaban, wanita itu langsung mendudukkan diri di sebelah Desta. Iya, di samping Desta sehingga Andin dapat melihat jelas siapa orang yang seenaknya mengganggu kebersamaannya dengan sang suami.Mau mencoba menebak siapa? Ya, benar. Wanita itu adalah Raya, orang yang beberapa hari terakhir merusak ketenangan pikiran dan hatinya. Lihat saja tingkahnya sekarang. Dengan tidak tahu malunya dia duduk di samping suaminya, bahkan sebelum dipersilakan. Kurang ajar sekali, bukan?"Siang, Bu Andin."Barulah saat matanya bertemu dengan milik Raya, wanita itu menyapanya seolah-olah keberadaan Andin baru saja disadarinya. Sungguh, sangat berani sikapnya. Lebih nekat dari saat terakhir kali mereka bertemu.Andin menghempaskan tubuhnya ke