Share

BAB 3

Suara sepatu loafers menggema di sepanjang koridor. Semua orang memandang si pemilik sepatu penuh hormat dan ada beberapa yang menyapa meskipun tidak mendapat balasan. Parasnya begitu kokoh, dingin dan mengintimidasi siapa pun yang bertemu pandang dengannya. Langkahnya begitu percaya diri membuat siapa saja kagum akan sosok serta wajah tampan yang terpahat nyaris sempurna.

Dia tidak sendiri, seorang pria dengan garis wajah sama seperti dirinya sejak tadi mengikuti dari belakang. Berbeda dengan pria yang berada di depan, pria yang di belakang tampak begitu ramah. Dia membalas sapaan orang-orang yang diabaikan pria di depan. Bahkan, dirinya tidak segan-segan melontarkan ungkapan-ungkapan menggoda yang  ditujukan pada karyawan wanita yang mereka lewati.

“Jake, simpan wajah bodohmu itu!” Pria yang ada di depan menatap pria bernama Jake yang berjalan di belakang dengan tatapan tak suka.

“Ayolah, jangan mengatakan sekretarismu bodoh. Kau beruntung memilikiku Mike,” balas Jake tampak tidak peduli, dia bahkan sempat mengerling pada seorang wanita dari divisi marketing yang baru saja menyapa mereka.

“Astaga Jake! Ini bukan klub malam, jaga matamu dan jangan menggoda karyawanku.” Mike—pria berdarah Perancis-Indonesia—kini tengah menekan tombol lift dengan kesal karena sekretaris sekaligus sahabatnya, Jake—yang berdarah Perancis murni—seolah tidak tahu tempat. Jake terkekeh geli melihat Mike yang gusar. Dia hanya menepuk-nepuk pundak Mike masih dengan wajah konyolnya.

................

Jake menghempaskan bokongnya di atas sofa setelah mereka sampai di ruang kerja Mike, di lantai dua puluh enam. Matanya sibuk memperhatikan seisi ruangan. Terlihat tulisan MikeHill Corporate berwarna emas keunguan tertimpa cahaya dari jendela kaca yang membatasi ruangan itu dengan pemandangan di luar, menyuguhkan lukisan langit biru dengan siluet gedung pencakar langit di sekitar. Sebuah meja terbuat dari kayu jati berwarna hitam mengilat kini dipenuhi dokumen, sedangkan Mike tampak sibuk dari balik meja tersebut.

Sebuah lukisan aliran kubisme menggantung sejajar dengan lukisan ekspresionisme yang lebih tampak seperti kapal tenggelam dengan kobaran api yang menyala menyelimuti di sekitar, dan ada seperti warna hitam pekat serta biru keunguan di sekeliling objek rumit itu. Bahkan, ada satu lukisan dengan aliran Neo-Impresionisme yang menggambarkan bangunan rumah dari beraneka variasi warna yang menyatu padu membentuk bangunan utuh.

Jake sangat mengerti mengapa Mike lebih suka tiga aliran lukisan tersebut dan bukannya memajang lukisan beraliran naturalisme atau mungkin romantisme saja.

“Apa kau tidak ada pekerjaan? Kembalilah ke ruanganmu dan tinggalkan aku.” Mike menatap tajam pada Jake yang masih bermalas-malasan di sofa.

“Ayolah, aku ingin menemanimu. Lagi pula kau tidak ada jadwal di luar, dan aku sudah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang kau berikan kemarin.” Dengan santainya, Jake memainkan ponsel. Browsing dan memeriksa email.

Suara meja dipukul membuat Jake terlonjak kaget, nyaris saja ponselnya terbanting ke lantai jika dia tidak sigap menangkap benda itu yang sempat terlompat ke udara. Jake menalan ludah mendapati tatapan Mike. Tanpa diberitahu pun Jake mengerti arti tatapan itu.

“Oh Mike! Baiklah, aku keluar.” Jake meninggalkan ruangan dengan langkah terburu-buru.

Mike kembali fokus pada dokumen di hadapannya, dia baru membaca beberapa deret huruf  saat suara ketukan di pintu menghentikan aktivitasnya. Dia yakin itu bukan Jake, karena sahabatnya tidak pernah mengetuk pintu lebih dulu jika akan masuk ke dalam ruangan.

“Masuk!” katanya memberi izin.

Dua orang pria kini masuk ke dalam. Salah satu di antaranya memegang amplop putih sedangkan yang satunya memilih diam saja tidak jauh dari pintu. Mike menerima amplop putih yang disodorkan kepadanya. Amplop itu berisi dua lembar kertas dan beberapa foto seorang gadis.

“Ini semua yang kami dapat tentang gadis yang anda cari,” kata pria berperawakan tinggi dengan wajah oriental.

“Terima kasih Rudith.” Mike menggerakkan tangan, menyuruh kedua orang itu untuk meninggalkan ruangan.

Setelah kedua orang itu pergi, Mike memeriksa dua lembar kertas di dalam amplop. Dia menyeringai membaca data pribadi seorang gadis yang tertera di lembaran kertas tersebut.

“Diana Sandoro,” bisiknya dengan suara serak. Kem-udian Mike mengeluarkan sebuah amplop kuning dari dalam laci. Dia juga membaca isi amplop itu.

“Menarik. Aku jadi semakin tertarik ingin memilikinya,” ucapnya penuh dengan penekanan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja selama membaca lembaran demi lembaran pada kedua amplot tersebut.

.................

Suasana restoran tempat Diana bekerja begitu ramai dan penuh pengunjung. Hampir semua meja penuh dan menambah kesibukan pramusaji yang tampak mondar-mandir mengantar pesanan tanpa jeda, meski lelah jelas tergambar di wajah mereka, namun tuntutan kerja mengharuskan senyum tak lepas dari wajah-wajah letih menghadapi pengunjung yang banyak tuntut.

Setelah memeriksa amplop putih serta kontrak milik David, Mike pergi mengunjungi gadis itu. Dia tidak bisa menahan diri untuk segera menemui wanita yang akan segera dimilikinya. Dari mejanya, Mike dapat melihat seluruh ruangan restoran dengan leluasa. Ekor matanya menatap seorang gadis yang sedang sibuk melayani beberapa pelanggan. Tatapannya mengikuti gerakan gadis itu tanpa henti, seolah hanya gadis itulah pemandangan yang pantas untuk dilihat. Beberapa kali dia menggeleng saat gadis tersebut melakukan kesalahan, dan berdecak geram ketika gadis itu mendapat omelan dari peng-unjung lain.

“Dia benar-benar ceroboh,” umpatnya pelan.

Sudah hampir satu jam dia di tempat ini, namun selama itu dia tidak tahan untuk terus berlama-lama dan memilih meninggalkan restoran. Saat dia sudah berdiri, tubuhnya menegang menatap kekacauan di hadapannya.

Gadis itu tersungkur di lantai marmer dengan tubuh kotor tertimpa sisa makanan karena kecerobohannya hingga terjegal kaki meja dan tanpa sengaja menarik alasnya, membuat makanan di atas meja terseret mengenai tubuhnya yang mencium lantai.

Good girl, kau gadis cerdas yang mempermalukan dirimu,” katanya prihatin.

Mike merasa kantong jasnya bergetar, dia menarik benda bergetar itu dan melihat nama Jake tertera di layarnya yang datar. Sedikit menggeram dan setengah ingin memaki, Mike menjawab setelah panggilan kedua.

“Ada apa?” katanya to the point tanpa sapaan sopan. Sudah menjadi kebiasaannya jika berhadapan dengan Jake yang selalu ingin tahu urusannya, seperti saat ini. Mike dapat mem-bayangkan bagaimana ekspresi Jake ketika melihat ruangannya kosong dan mendapati dia telah pergi dari kantor di jam yang tidak seharusnya.

“Kau keluar, lagi?” tanya Jake gusar dari seberang.

Mike diam sebentar, menunggu Jake mengatakan makian yang mungkin telah dia persiapkan, tetapi dua puluh detik tidak ada yang bersuara, mereka saling menanti.

“Aku akan segera ke kantor,” jawab Mike singkat, tanpa perlu menjelaskan mengapa dia menghilang begitu saja di jam seperti ini. “Suruh mereka menunggu,” katanya lagi, memberikan tugas baru bagi sekretaris sekaligus sahabatnya itu sebelum memutuskan koneksi.

Mike melirik ke tempat tadi, di mana Diana dengan segala kecerobohannya menjadi pusat perhatian semua peng-unjung, termasuk dia sendiri. Diana masih terlihat kesulitan untuk berdiri, mungkin karena lantainya yang licin terkena siraman saus dan tumpahan minyak dari makanan-makan itu.

Mike hanya bisa menggeleng dengan gerakan samar. Dia tak habis pikir, bagaimana mungkin David menginginkan gadis seperti itu. Diana jauh dari kata elegan, terpelajar dan sangat berbeda dengan tipe wanita yang biasa didekati ayah tirinya.

Kaki Mike yang panjang melangkah keluar dari sana, melewati barisan meja tempat Diana terjatuh. Dia tidak mau melihat terlalu lama dan memilih keluar tanpa memperhatikan. Setelah dirinya berada di parkiran, Mike mendongak menatap langit cerah dan menyerah pada egonya untuk beralih melihat ke arah restoran yang berdinding kaca transparan,  hanya untuk memastikan gadis itu masih di sana, menunduk pada semua pengunjung sembari menahan malu. Tentu saja malu, wajahnya yang merona merah seperti kepiting rebus sudah menggambarkan perasaannya.

♥♥♥

Sudah seminggu sejak kejadian memalukan di restoran tempat Diana bekerja berlalu. Kini, gadis itu bergelung dalam selimut di atas kasur kosan yang dia tempati untuk sebulan. Dia terlihat enggan untuk sekedar keluar, dan memilih bersembunyi dari kejaran pria-pria yang menagih hutang ayahnya. Sahabatnya akan datang sekali sehari hanya untuk mengantar makanan, karena takut jika Diana keluar, mereka akan mudah mene-mukannya dan menangkap gadis itu. Tidak ada yang berani membayangkan jika Diana sampai di tangan mereka.

“Aku tidak mau terus seperti ini,” rengek Diana pada Nia yang berbaring di lantai.

“Lalu, kau mau seperti apa Diana?” Nia membalas tatapan Diana yang hendak menangis. Sahabatnya itu mengelus pergelangan tangan gadis itu dengan lembut.

“Bagaimana caraku lari dari kejaran hutang dan pria-pria itu?” Diana menyibak selimut, dia memposisikan dirinya untuk duduk, menekuk lututnya, dan menopang dagu. Gadis itu beringsut ke sudut kamar, mencari posisi nyaman.

“Aku juga tidak bisa membantumu untuk melunasi hutang-hutang itu. Jumlahnya juga tidak sedikit Diana. Yang bisa kita lakukan hanyalah bekerja mengumpulkan uang.” Nia tahu nasihatnya sia-sia, tapi lebih baik daripada tidak mengatakan apa-apa.

“Sekarang aku harus mencari pekerjaan baru. Dan terus saja seperti ini,” katanya sembari menahan tangis. Nia mendekati Diana, memberinya dukungan dengan mengelus punggung gadis itu.

“Kuharap kau sabar, jangan melakukan hal bodoh karena putus asa. Aku yakin semua ada jalannya.” Nia berkata tanpa keraguan.

Diana menatap sahabatnya, setengah mencibir. “Berkata-kata lebih mudah daripada bertindak,” dan menyelami pikirannya yang teramat berkabut, “kuharap aku bisa melalui ini tanpa harus melakukan kebodohan seperti yang kau takuti.”

“Bukan aku, tapi kau juga,” kata Nia lembut di telinga sahabatnya. Gadis itu memeluk tubuh Diana yang mulai kurus karena banyak pikiran. “Jangan hanya karena hutang-hutang itu kau menjual harga dirimu.” Nia tidak bisa membayangkan jika itu terjadi, dan dia mengutuk hal tersebut agar tidak menimpa sahabat baiknya.” Dan, Satu hal lagi Diana, sebisa mungkin menjauh dari mereka, kita tidak tahu apa yang bisa dilakukan rentenir itu.”

Diana menatap nanar sahabatnya. Dia bingung harus bagaimana sekarang, dan lari bukanlah solusi, cepat atau lambat pria-pria itu akan menemukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status