Alif mendecakkan mulutnya. Iris mata tajam itu menoleh ke arah Kamea yang sedang tersenyum padanya. Sangat menyebalkan!
Dia melenggang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang keluarga tanpa berbasa-basi. Baru beberapa jam saja gadis itu ada di rumahnya, tetapi sudah membuat Alif merasa direpotkan. Bagaimana jika harus selamanya hidup bersama gadis kecil itu?
Alif memijit-mijit pangkal hidungnya, kepalanya mendadak berdenyut sakit.
“Kamea, kamu istirahat dulu di kamarmu, ya. Kamarnya ada di sebelah kamar Alif. Kamu ikuti dia saja.”
Alif mendengar mama Anita meminta Kamea mengikutinya. Ia tak peduli. Alif terus melanjutkan langkahnya tanpa merasa terganggu.
“Om, tunggu.”
Lelaki beralis tebal itu memejamkan mata. Kepalanya semakin terasa sakit saat mendengar suara Kamea memanggilnya seperti itu. Ia menghela napas kasar, kemudian mengeraskan rahangnya. Seolah bersiap ingin menerkam gadis itu namun tertahan.
Dia hanya menghentikan langkahnya sesaat tanpa menoleh sedikitpun kepada Kamea yang berusaha mengejar langkahnya.
“Om, kamar aku yang mana?”
Ya, memang ada dua kamar di lantai atas yang bersebelahan. Kamar yang pertama ialah miliknya. Dan kamar satunya lagi mulai sekarang akan menjadi milik gadis belia yang entah … baginya gadis itu menyebalkan dan menyusahkan. Lagi-lagi hatinya geram akan kehadiran Kamea.
“Om, kalo ditanya itu dijawab dong. Jadi cowok kok judes banget,” gerutu Kamea.
Alif yang hendak membuka pintu kamarnya sejenak menghentikan niatnya. Iris berwarna cokelat itu menatap tajam wajah Kamea beberapa detik.
Ia menghela napas kasar. “Pertama, saya gak setua itu hingga kamu harus memanggil saya ‘Om’. Kedua, saya tidak suka direpotkan. Jadi berhenti membuat saya repot. Ketiga, kamu bisa lihat sendiri di sini hanya ada dua kamar. Kalau kamu orang yang cerdas, kamu pasti tahu di mana kamar kamu.”
Dia enggan berbicara panjang lebar seperti itu, apalagi terhadap orang asing. Namun baru saja hanyalah sebuah keterpaksaan karena sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan belia itu.
Alif bisa melihat Kamea memanyunkan bibirnya. Dia pasti kesal mendengar parkataannya baru saja. Biarkan. Memang Alif sengaja berbicara seperti itu.
“Biasa aja dong Om bicaranya,” gerutu Kamea.
Alif memelototkan matanya ke arah gadis itu. Kamea terlihat ketakutan dan menundukan kepalanya sepersekian detik saja. Karena di detik berikutnya gadis itu malah mengulurkan tangan kurusnya.
Lelaki berlensa cokelat itu mengernyitkan alisnya. Tak mengerti dengan maksud gadis itu. Apapun itu, Alif sungguh tak peduli dan tak berniat membalas uluran tangan Kamea.
Tak acuh, ia hendak masuk ke dalam kamar. Namun lagi-lagi niatnya urung karena tiba-tiba saja Kamea menarik tangannya untuk bersalaman.
“Makasih udah nunjukin kamar aku,” ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang sangat menyebalkan tentunya.
Gadis itu melepaskan tangannya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar. Alif menghela napas kasar, menggeleng-gelengkan kepalanya. Niatnya kembali urung karena gadis itu kembali menyembulkan kepalanya sebelum benar-benar masuk ke kamar. “Jangan judes-judes, Om. Entar kegantengannya berkurang.”
Kedua bola mata Alif membulat. Baru saja ia hendak menyahuti perkataan gadis itu. Namun urung karena Kamea langsung menutup pintu kamar setelah selesai mengejeknya.
"Aishh ... anak itu!" gerutunya benar-benar geram dengan kelakuan Kamea yang terus saja membuatnya kesal.
Alif tak salah menilai. Belia itu memang benar-benar menyebalkan dan juga tidak tahu malu.
Lelah, lelaki beralis tebal itu mengempaskan tubuhnya di atas kasur berukuran besar. Satu tangannya terangkat memijit dahi dan pangkal hidung.
Dia merasa tidak akan tahan dengan semua ini. Apapun caranya, Dia harus menemukan jalan keluar agar tidak jadi menikahi belia menyebalkan itu.
“Aku harus bisa membujuk Papa lagi. Tapi gimana caranya?” gumamnya dengan nada frustasi. “Satu-satunya agar perjodohan itu dibatalkan adalah dengan membawa Felysia pada Papa. Tapi saat genting seperti ini, kemana dia pergi?”
Alif beranjak bangun dan duduk di atas tepi kasur. Kedua tangannya mengacak kasar rambut hitamnya yang gondrong. Dia mendesah kasar. “Di mana kamu sekarang? Kenapa pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun kepadaku, Fely? Aku benar-benar merindukanmu.”
Satu bulan yang lalu, Kamea mendapatkan pesan terakhir dari ayahnya. Sebuah kabar yang … entah, kabar ini baik atau malah sebaliknya. Yang jelas, kabar tersebut berhasil membuat pikirannya terganggu.“Mia. Ayah rasa, ayah sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Untuk itu …,”“Ayah bicara apa, sih? Udah ah, lebih baik ayah istirahat aja.” Kamea sengaja memotong perkataan yang hendak disampaikan oleh ayahnya.Gadis belia yang baru berusia sembilan belas tahun itu menatap sendu wajah sang ayah yang sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Bahkan suara lelaki paruh baya itu sudah tidak terdengar jelas karena di mulutnya terpasang alat bantu pernapasan.Kamea menghela napas panjang. Melihat ayahnya sakit seperti ini, membuat jantungnya terasa sesak dan sakit. Ia tak memiliki siapa pun lagi di dunia ini kecuali ayahnya setelah tiga tahun yang lalu ibu Kam
Kamea baru saja ke luar dari kamarnya. Karena terlalu lelah, ia bangun agak siang tak seperti biasanya. Saat ia baru saja menutup pintu kamarnya, bersamaan dengan Alif yang baru saja ke luar dari kamar di sebelah Kamea. “Eh. Selamat pagi om ganteng,” sapa Kamea sambil memerlihatkan senyum termanisnya. Alif mengerlingkan matanya jengah. Merasa risih dan geli mendengar Kamea masih memanggilnya “Om”. Lelaki berkulit putih itu tak berniat untuk membalas sapaan Kamea. Jangankan membalas, melirik saja enggan. Kamea sedikit berlari mengejar langkah Alif agar bisa turun bersama-sama. Dia tak peduli meski Alif seperti tak menganggapnya ada. “Om, mau pergi ke kantor, ya?” tanya Kamea lagi. Bibir tipis berwarna merah bagaikan buah ceri itu tak berhenti mengembangkan senyumnya. Tak peduli walau orang yang sedang coba ia ajak bicara mengabaikannya. Alif memper
“Papa gak mau dengar penolakan lagi. Menikah, atau papa ambil semua saham di perusahaan kamu dan terpaksa kamu akan papa coret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana penuh penekanan di setiap katanya. Mengingatkan kembali bahwa ancamannya tidak main-main.Setelah pagi tadi, pembicaraan soal pernikahan Alif dan Kamea berlanjut malam hari setelah dua lelaki berbeda usia itu pulang dari kantor masing-masing. Mereka berbicara di ruang kerja papa Pradana, jadi tidak akan ada yang mendengar kecuali mereka berdua.Alif mendecakkan mulutnya. Mendesah kasar, geram dengan ancaman sang papa. Namun ia tidak bisa bertindak apapun saat ini, karena sadar baik dirinya juga perusahaan yang baru satu tahun ia bengun itu masih membutuhkan bantuan dari papanya.“Semua keputusan ada ditanganmu. Menikah atau dicoret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana lagi.“Aaaaargh!&rdq
Kamea menundukan kepalanya saat Alif ikut bergabung di meja makan untuk sarapan bersama. Gadis itu masih mengingat kejadian semalam. Ia takut Alif akan mengadu kepada mama Anita dan papa Pradana, dan mereka akan memarahinya.“Pagi Ma, Pa,” sapanya.Alif melirik sekilas pada Kamea yang sedari tadi hanya menundukan kepalanya. Diam-diam belia itu mencuri-curi pandang, sekedar ingin memastikan bahwa Alif sudah tidak marah lagi.“Pagi,” sahut papa Pradana tak acuh.“Pagi, sayang.” Sahut mama Anita dengan senyum manisnya.Kamea kembali melirik Alif dengan hati-hati agar tidak ketahuan oleh lelaki itu. Belia itu menyeringai canggung saat mengetahui ternyata Alif sedang memerhatikannya juga sambil mengunyah makanannya.“Pagi, Om ganteng,” tuturnya dengan nada dibuat seramah mungkin.Alif tak menjawa
Hari yang ditunggu pun telah tiba. Mama Anita tak berhenti mengembangkan senyum manisnya saat melihat pantulan tubuh Kamea di depan cermin. Gadis belia itu sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih tulang yang pas di tubuh rampingnya.Wajah belianya semakin terlihat cantik hanya dengan memakai sedikit polesan makeup. Ia tak pernah menyangka, pernikahannya akan terjadi di usianya yang terbilang masih sangat muda. Demi sebuah amanat, Kamea mau menjalani semuanya. Tanpa paksaan.“Putri mama cantik banget,” tutur mama Anita saat Kamea membalikan tubuhnya berhadapan dengan mama Anita.Bibir tipis yang dipoles dengan lipstick berwarna merah muda itu tertarik mengukir sebuah senyum manis. Mama Anita memeluk tubuh Kamea dengan hati-hati agar tidak merusak riasan yang sudah dikenakan oleh gadis itu.“Selamat ya, sayang. Mama sangat senang kamu menjadi menantu di rumah ini. Mama sena
“Saya terima nikah dan kawinnya ananda Kamea Jovita Tasanee ….”Kamea tidak fokus mendengar kelanjutan kalimat yang ucapkan Alif dengan nada tegas dan serius di hadapan penghulu dan para saksi. Gadis itu terhanyut dalam pikirannya yang bercampur aduk antara bahagia dan juga sedih menjadi satu.Tetesan cairan bening merembes ke luar dari mata indahnya ketika semua orang menyerukan kata “Sah” secara bersamaan dan dilanjutkan dengan doa. Ada rasa yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Yang jelas Kamea sadar, saat ini ia sudah resmi menjadi istri dari seorang Reval Alif Pradana yang dikaguminya secara diam-diam.“Selamat sayang, akhirnya kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri,” ucap mama Anita sambil memeluk Kamea.“Sekarang, salaman dulu sama suamimu,” titahnya.Kamea menghela napas panjang, gugup. Ia menatap wajah Ali
Kamea menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak mau menyerah. "Ya udah, kalau aku gak boleh tidur di sini, aku mau ke luar," ucapnya."Keluarlah!" titah Alif datar.Gadis itu memiringkan bibirnya sambil mengangguk-anggukan kepala. "Aku sih gakpapa tidur di manapun. Tapi kalau sampai mama dan papa melihat aku tidur di luar, apa jadinya?" ucapnya sambil berpura-pura sedang berpikir."Hm, mereka pasti akan memarahi om Alif," ucapnya lagi dengan nada penuh penekanan.Alif membulatkan matanya sempurna. Rahangnya mengeras, kedua tangan kekar itu mengepal kuat. Geram pada gadis belia itu yang sudah berani mengancamnya."Kau-"Belum saja Alif menyelesaikan ucapannya. Belia itu tersenyum penuh kemenangan, sepersekian detik kemudian ia berlari menuju ke arah tempat tidur. Tak memedulikan teriakan dan kekesalan suaminya itu.Kamea naik ke atas
Kamea mengerjapkan mata saat bunyi dering alarm pada ponselnya memenuhi indra pendengarannya. Kesadaran gadis itu belum sepenuhnya terkumpul. Ia menguap dengan kondisi mata yang masih tertutup.Ada yang aneh dengan tubuhnya. Terasa berat seperti sesuatu sedang menindihnya. Kamea membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah wajah tampan Alif yang masih terpejam.Deru napas lelaki berkulit putih itu terasa hangat menerpa wajah Kamea. Gadis itu menelan saliva yang terasa menyangkut di tenggorokannya. Terpaku sepersekian detik memandangi wajah tampan sang suami.Pandangannya turun ke bawah, iris berwarna hitam itu membulat sempurna ketika melihat tangan kekar alif melingkar di pinggangnya. Lelaki itu memeluk tubuh Kamea seperti memeluk guling. Sementara guling yang semalam mereka jadikan pembatas, saat ini entah menghilang ke mana."Aaaaaarrrgh!"Teriakan Kamea berhasil membangunka