Satu bulan yang lalu, Kamea mendapatkan pesan terakhir dari ayahnya. Sebuah kabar yang … entah, kabar ini baik atau malah sebaliknya. Yang jelas, kabar tersebut berhasil membuat pikirannya terganggu.
“Mia. Ayah rasa, ayah sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Untuk itu …,”
“Ayah bicara apa, sih? Udah ah, lebih baik ayah istirahat aja.” Kamea sengaja memotong perkataan yang hendak disampaikan oleh ayahnya.
Gadis belia yang baru berusia sembilan belas tahun itu menatap sendu wajah sang ayah yang sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Bahkan suara lelaki paruh baya itu sudah tidak terdengar jelas karena di mulutnya terpasang alat bantu pernapasan.
Kamea menghela napas panjang. Melihat ayahnya sakit seperti ini, membuat jantungnya terasa sesak dan sakit. Ia tak memiliki siapa pun lagi di dunia ini kecuali ayahnya setelah tiga tahun yang lalu ibu Kamea meninggal.
“Dengar. Kamea, jika nanti ayah sudah tidak ada, kamu harus ikut bersama paman Pradana, tinggallah bersama mereka.”
Ayah Arga menggenggam telapak tangan Kamea. Iris mata sendu itu berkilat, berusaha kuat di hadapan sang putri tercinta.
“Enggak, Ayah. Ayah gak boleh bicara seperti itu. Ayah pasti sembuh, Mia yakin itu. Jadi, jangan mengatakan hal-hal yang membuat Kamea sedih,” lirih Kamea.
Air mata itu luruh membasahi wajah putih mulusnya. Dadanya terasa sakit mendengar pesan ayahnya yang seolah akan pergi meninggalkannya sendirian. Kamea mengeratkan genggaman tangan ayahnya.
Dari balik respirator, samar Kamea bisa melihat senyum ayahnya. Senyum yang menghangatkan dan menguatkan. Namun entah mengapa, kali ini senyum itu terlihat menyakitkan.
“Ayah sudah membuat janji dengan paman Pradana saat ibumu sedang hamil waktu itu. Kami akan menjodohkan anak-anak kami bila mereka sudah dewasa.”
Ayah Arga menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya. “Dan sekarang, ayah rasa sudah waktunya. Kamu sudah dewasa, begitupun dengan putra paman Pradana,” tuturnya.
Ayah Arga kembali menghela napas yang terasa sesak. Butiran cairan bening luruh dari sudut matanya. Tangan kurus itu segera mengusapnya, agar gadis belianya tidak melihat.
Dua hari setelah percakapannya dengan Kamea. Ayah Arga dinyatakan meninggal dunia. Meninggalkan putrinya seorang diri tanpa sosok yang selalu menyayangi dan mendukungnya.
Kamea mengusap cairan bening yang luruh dari kedua sudut matanya. Ia memeluk foto ayah Arga yang terpasang rapi dalam sebuah bingkai.
Lalu pikirannya tiba-tiba saja teringat pada kejadian siang tadi. Perdebatan kecil bersama Alif. Gadis belia itu tiba-tiba saja terkekeh pelan.
Seperti orang yang tidak waras. Baru saja bersedih dan menangis mengingat mendiang ayahnya. Lalu tiba-tiba terkekeh geli kala mengingat wajah datar Alif.
“Aku memang belum siap untuk menikah. Tapi kalau dapat suaminya yang ganteng kaya om Alif, aku mau aja,” gumamnya pada diri sendiri.
Bibir tipisnya mengulum senyum. Kamea membaringkan tubuhnya secara asal di atas tempat tidur. Iris mata hiitamnya menerawang langit-langit kamar dengan tangan yang masih mendekap foto ayahnya.
Bayangan wajah Alif yang dingin dan menunjukan kekesalan padanya saat ia sengaja menggoda lelaki itu. Entah, rasanya Kamea suka sekali membuat Alif merasa kesal seperti tadi. Dan nalurinya sebagai gadis yang usil meronta ingin terus melakukannya.
“Biar saja om Alif kesal. Dia terlihat lucu saat wajahnya sedang kesal seperti tadi. Lagian, siapa suruh om Alif tidak mengenaliku,” gerutu Kamea lagi berbicara sendiri.
Kamea baru saja ke luar dari kamarnya. Karena terlalu lelah, ia bangun agak siang tak seperti biasanya. Saat ia baru saja menutup pintu kamarnya, bersamaan dengan Alif yang baru saja ke luar dari kamar di sebelah Kamea. “Eh. Selamat pagi om ganteng,” sapa Kamea sambil memerlihatkan senyum termanisnya. Alif mengerlingkan matanya jengah. Merasa risih dan geli mendengar Kamea masih memanggilnya “Om”. Lelaki berkulit putih itu tak berniat untuk membalas sapaan Kamea. Jangankan membalas, melirik saja enggan. Kamea sedikit berlari mengejar langkah Alif agar bisa turun bersama-sama. Dia tak peduli meski Alif seperti tak menganggapnya ada. “Om, mau pergi ke kantor, ya?” tanya Kamea lagi. Bibir tipis berwarna merah bagaikan buah ceri itu tak berhenti mengembangkan senyumnya. Tak peduli walau orang yang sedang coba ia ajak bicara mengabaikannya. Alif memper
“Papa gak mau dengar penolakan lagi. Menikah, atau papa ambil semua saham di perusahaan kamu dan terpaksa kamu akan papa coret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana penuh penekanan di setiap katanya. Mengingatkan kembali bahwa ancamannya tidak main-main.Setelah pagi tadi, pembicaraan soal pernikahan Alif dan Kamea berlanjut malam hari setelah dua lelaki berbeda usia itu pulang dari kantor masing-masing. Mereka berbicara di ruang kerja papa Pradana, jadi tidak akan ada yang mendengar kecuali mereka berdua.Alif mendecakkan mulutnya. Mendesah kasar, geram dengan ancaman sang papa. Namun ia tidak bisa bertindak apapun saat ini, karena sadar baik dirinya juga perusahaan yang baru satu tahun ia bengun itu masih membutuhkan bantuan dari papanya.“Semua keputusan ada ditanganmu. Menikah atau dicoret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana lagi.“Aaaaargh!&rdq
Kamea menundukan kepalanya saat Alif ikut bergabung di meja makan untuk sarapan bersama. Gadis itu masih mengingat kejadian semalam. Ia takut Alif akan mengadu kepada mama Anita dan papa Pradana, dan mereka akan memarahinya.“Pagi Ma, Pa,” sapanya.Alif melirik sekilas pada Kamea yang sedari tadi hanya menundukan kepalanya. Diam-diam belia itu mencuri-curi pandang, sekedar ingin memastikan bahwa Alif sudah tidak marah lagi.“Pagi,” sahut papa Pradana tak acuh.“Pagi, sayang.” Sahut mama Anita dengan senyum manisnya.Kamea kembali melirik Alif dengan hati-hati agar tidak ketahuan oleh lelaki itu. Belia itu menyeringai canggung saat mengetahui ternyata Alif sedang memerhatikannya juga sambil mengunyah makanannya.“Pagi, Om ganteng,” tuturnya dengan nada dibuat seramah mungkin.Alif tak menjawa
Hari yang ditunggu pun telah tiba. Mama Anita tak berhenti mengembangkan senyum manisnya saat melihat pantulan tubuh Kamea di depan cermin. Gadis belia itu sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih tulang yang pas di tubuh rampingnya.Wajah belianya semakin terlihat cantik hanya dengan memakai sedikit polesan makeup. Ia tak pernah menyangka, pernikahannya akan terjadi di usianya yang terbilang masih sangat muda. Demi sebuah amanat, Kamea mau menjalani semuanya. Tanpa paksaan.“Putri mama cantik banget,” tutur mama Anita saat Kamea membalikan tubuhnya berhadapan dengan mama Anita.Bibir tipis yang dipoles dengan lipstick berwarna merah muda itu tertarik mengukir sebuah senyum manis. Mama Anita memeluk tubuh Kamea dengan hati-hati agar tidak merusak riasan yang sudah dikenakan oleh gadis itu.“Selamat ya, sayang. Mama sangat senang kamu menjadi menantu di rumah ini. Mama sena
“Saya terima nikah dan kawinnya ananda Kamea Jovita Tasanee ….”Kamea tidak fokus mendengar kelanjutan kalimat yang ucapkan Alif dengan nada tegas dan serius di hadapan penghulu dan para saksi. Gadis itu terhanyut dalam pikirannya yang bercampur aduk antara bahagia dan juga sedih menjadi satu.Tetesan cairan bening merembes ke luar dari mata indahnya ketika semua orang menyerukan kata “Sah” secara bersamaan dan dilanjutkan dengan doa. Ada rasa yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Yang jelas Kamea sadar, saat ini ia sudah resmi menjadi istri dari seorang Reval Alif Pradana yang dikaguminya secara diam-diam.“Selamat sayang, akhirnya kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri,” ucap mama Anita sambil memeluk Kamea.“Sekarang, salaman dulu sama suamimu,” titahnya.Kamea menghela napas panjang, gugup. Ia menatap wajah Ali
Kamea menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak mau menyerah. "Ya udah, kalau aku gak boleh tidur di sini, aku mau ke luar," ucapnya."Keluarlah!" titah Alif datar.Gadis itu memiringkan bibirnya sambil mengangguk-anggukan kepala. "Aku sih gakpapa tidur di manapun. Tapi kalau sampai mama dan papa melihat aku tidur di luar, apa jadinya?" ucapnya sambil berpura-pura sedang berpikir."Hm, mereka pasti akan memarahi om Alif," ucapnya lagi dengan nada penuh penekanan.Alif membulatkan matanya sempurna. Rahangnya mengeras, kedua tangan kekar itu mengepal kuat. Geram pada gadis belia itu yang sudah berani mengancamnya."Kau-"Belum saja Alif menyelesaikan ucapannya. Belia itu tersenyum penuh kemenangan, sepersekian detik kemudian ia berlari menuju ke arah tempat tidur. Tak memedulikan teriakan dan kekesalan suaminya itu.Kamea naik ke atas
Kamea mengerjapkan mata saat bunyi dering alarm pada ponselnya memenuhi indra pendengarannya. Kesadaran gadis itu belum sepenuhnya terkumpul. Ia menguap dengan kondisi mata yang masih tertutup.Ada yang aneh dengan tubuhnya. Terasa berat seperti sesuatu sedang menindihnya. Kamea membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah wajah tampan Alif yang masih terpejam.Deru napas lelaki berkulit putih itu terasa hangat menerpa wajah Kamea. Gadis itu menelan saliva yang terasa menyangkut di tenggorokannya. Terpaku sepersekian detik memandangi wajah tampan sang suami.Pandangannya turun ke bawah, iris berwarna hitam itu membulat sempurna ketika melihat tangan kekar alif melingkar di pinggangnya. Lelaki itu memeluk tubuh Kamea seperti memeluk guling. Sementara guling yang semalam mereka jadikan pembatas, saat ini entah menghilang ke mana."Aaaaaarrrgh!"Teriakan Kamea berhasil membangunka
"Kemana anak itu?" gumam Alif.Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya, tetapi tidak bisa menemukan Kamea ada di manapun. Lelaki beralis tebal itu mengedikkan bahunya kemudian melenggang ke arah lemari pakaiannya.Sebelum ia membuka pintu lemarinya, tak sengaja iris berwarna cokelat itu melihat pakaian kerja miliknya berada di atas kasur lengkap dengan dasi yang senada dengan kemejanya. Alif mengernyitkan alis sesaat. Ia kembali melihat ke sekeliling kamarnya, tetapi tidak melihat siapapun berada di kamar itu selain dirinya sendiri."Ch, pasti kerjaan gadis kecil itu," gumam Alif.Beberapa detik berpikir, menimang apakah dirinya akan memakai pakaian yang dipilihkan Kamea atau memilih pakaian sendiri? Kedua sudut bibirnya tertari ke atas mengulas sebuah senyum yang sulit diartikan. Alif mengeluarkan pakaian yang baru kemudian memasukan kembali pakaian yang sudah dipilihkan Kamea ke dal