Kamea baru saja ke luar dari kamarnya. Karena terlalu lelah, ia bangun agak siang tak seperti biasanya. Saat ia baru saja menutup pintu kamarnya, bersamaan dengan Alif yang baru saja ke luar dari kamar di sebelah Kamea.
“Eh. Selamat pagi om ganteng,” sapa Kamea sambil memerlihatkan senyum termanisnya.
Alif mengerlingkan matanya jengah. Merasa risih dan geli mendengar Kamea masih memanggilnya “Om”. Lelaki berkulit putih itu tak berniat untuk membalas sapaan Kamea. Jangankan membalas, melirik saja enggan.
Kamea sedikit berlari mengejar langkah Alif agar bisa turun bersama-sama. Dia tak peduli meski Alif seperti tak menganggapnya ada.
“Om, mau pergi ke kantor, ya?” tanya Kamea lagi.
Bibir tipis berwarna merah bagaikan buah ceri itu tak berhenti mengembangkan senyumnya. Tak peduli walau orang yang sedang coba ia ajak bicara mengabaikannya.
Alif mempercepat langkahnya menuruni anak tangga. Telinganya mendadak terasa panas sejak kehadiran gadis yang katanya adalah “calon istri” untuk dirinya.
Di belakang tubuh kekar yang sedang menghidar, Kamea terkekeh geli melihat sikap Alif yang terlihat seperti takut kepadanya. Gadis itu malah semakin tertarik untuk menggoda lelaki yang usianya lebih tua enam tahun darinya itu.
“Selamat pagi Ma, Pa,” sapa Kamea kepada mama Anita dan Papa Pradana yang sudah menunggu di meja makan untuk sarapan bersama.
Alif yang baru saja mendudukkan tubuhnya di kursi kosong mengernyitkan alis mendengar sapaan Kamea yang memanggil orangtuanya “Mama dan Papa” sama seperti dirinya. Kamea mengerti dengan keheranan Alif, tetapi ia tak mengacuhkannya.
“Pagi, sayang. Gimana tidurnya semalam, nyenyak?” tanya mama Anita.
Kamia mengangguk sambil memerlihatkan senyum ramahnya. Kemudian ikut duduk bergabung bersama mereka. Bukan tidak canggung atau malu, sebagai tamu tetapi bersikap seperti putri rumah itu. Namun tak ada pilihan lain selain mencoba untuk menikmati alur yang sedang saat ini ia lakoni.
“Nyenyak kok, Ma. Maaf, Kamea bangunnya telat, gak bantuin mama masak bikin sarapan,” sesalnya.
“Gakpapa, lagian ada Bibi di rumah ini yang bertugas untuk memasak dan membereskan rumah,” sahut mama Anita sambil tersenyum ramah.
“Kamea, kamu sudah putuskan mau kuliah di mana?” tanya papa Pradana.
Kamea diam sepersekian detik, kemudian menganggukkan kepalanya. “Sudah, Pa. Kamea mau nyiapin dulu semua persyaratannya. Mungkin besok baru akan mendaftar.”
“Sebaiknya jangan dulu mendaftar besok,”
“Kenapa Pa?” tanya Kamea heran.
“Nanti saja kamu mendaftar kuliah setelah kamu dan Alif menikah,” jelasnya yang langsung mendapt persetujuan dari sang istri.
Alif langsung tersedak makanannya mendengar perkataan papanya soal pernikahan. Lelaki yang sudah terlihat rapi dengan setelan ke kantor itu langsung mengambil minum dan meneguknya hingga tandas.
“Hati-hati dong, Lif. Pelan-pelan aja makannya, kaya anak kecil aja kamu itu,” tutur mama Anita.
“Pa, Alif belum setuju untuk menikah,” ucap Alif. “Apa lagi menikahi gadis kecil,” lanjutnya lagi sambil menghunuskan tatapan sinis kepada Kamea.
Gadis belia itu memanyunkan bibirnya, tak terima dikatai gadis kecil walau sebenarnya tak ada yang salah dengan kata tersebut.
“Jangan salah, Om. Biar usiaku lebih muda dari Om, tapi aku pasti bisa kok jadi istri yang baik,” tutur Kamea penuh percaya diri.
Ia membalas tatapan Alif sambil memainkan alisnya bermaksud menggoda lelaki yang baru saja menolak menikah dengannya. Dalam hati gadis itu terkekeh geli menertawakan ucapannya sendiri yang begitu kontras dengan kenyataannya.
Hai Kak, Terima kasih sudah membaca novel ini hingga tamat. Selanjutnya, baca novel ke dua Rose ya. Judulnya Jerat Cinta Lelaki Pengganti pena Rose Dreamers
“Papa gak mau dengar penolakan lagi. Menikah, atau papa ambil semua saham di perusahaan kamu dan terpaksa kamu akan papa coret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana penuh penekanan di setiap katanya. Mengingatkan kembali bahwa ancamannya tidak main-main.Setelah pagi tadi, pembicaraan soal pernikahan Alif dan Kamea berlanjut malam hari setelah dua lelaki berbeda usia itu pulang dari kantor masing-masing. Mereka berbicara di ruang kerja papa Pradana, jadi tidak akan ada yang mendengar kecuali mereka berdua.Alif mendecakkan mulutnya. Mendesah kasar, geram dengan ancaman sang papa. Namun ia tidak bisa bertindak apapun saat ini, karena sadar baik dirinya juga perusahaan yang baru satu tahun ia bengun itu masih membutuhkan bantuan dari papanya.“Semua keputusan ada ditanganmu. Menikah atau dicoret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana lagi.“Aaaaargh!&rdq
Kamea menundukan kepalanya saat Alif ikut bergabung di meja makan untuk sarapan bersama. Gadis itu masih mengingat kejadian semalam. Ia takut Alif akan mengadu kepada mama Anita dan papa Pradana, dan mereka akan memarahinya.“Pagi Ma, Pa,” sapanya.Alif melirik sekilas pada Kamea yang sedari tadi hanya menundukan kepalanya. Diam-diam belia itu mencuri-curi pandang, sekedar ingin memastikan bahwa Alif sudah tidak marah lagi.“Pagi,” sahut papa Pradana tak acuh.“Pagi, sayang.” Sahut mama Anita dengan senyum manisnya.Kamea kembali melirik Alif dengan hati-hati agar tidak ketahuan oleh lelaki itu. Belia itu menyeringai canggung saat mengetahui ternyata Alif sedang memerhatikannya juga sambil mengunyah makanannya.“Pagi, Om ganteng,” tuturnya dengan nada dibuat seramah mungkin.Alif tak menjawa
Hari yang ditunggu pun telah tiba. Mama Anita tak berhenti mengembangkan senyum manisnya saat melihat pantulan tubuh Kamea di depan cermin. Gadis belia itu sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih tulang yang pas di tubuh rampingnya.Wajah belianya semakin terlihat cantik hanya dengan memakai sedikit polesan makeup. Ia tak pernah menyangka, pernikahannya akan terjadi di usianya yang terbilang masih sangat muda. Demi sebuah amanat, Kamea mau menjalani semuanya. Tanpa paksaan.“Putri mama cantik banget,” tutur mama Anita saat Kamea membalikan tubuhnya berhadapan dengan mama Anita.Bibir tipis yang dipoles dengan lipstick berwarna merah muda itu tertarik mengukir sebuah senyum manis. Mama Anita memeluk tubuh Kamea dengan hati-hati agar tidak merusak riasan yang sudah dikenakan oleh gadis itu.“Selamat ya, sayang. Mama sangat senang kamu menjadi menantu di rumah ini. Mama sena
“Saya terima nikah dan kawinnya ananda Kamea Jovita Tasanee ….”Kamea tidak fokus mendengar kelanjutan kalimat yang ucapkan Alif dengan nada tegas dan serius di hadapan penghulu dan para saksi. Gadis itu terhanyut dalam pikirannya yang bercampur aduk antara bahagia dan juga sedih menjadi satu.Tetesan cairan bening merembes ke luar dari mata indahnya ketika semua orang menyerukan kata “Sah” secara bersamaan dan dilanjutkan dengan doa. Ada rasa yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Yang jelas Kamea sadar, saat ini ia sudah resmi menjadi istri dari seorang Reval Alif Pradana yang dikaguminya secara diam-diam.“Selamat sayang, akhirnya kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri,” ucap mama Anita sambil memeluk Kamea.“Sekarang, salaman dulu sama suamimu,” titahnya.Kamea menghela napas panjang, gugup. Ia menatap wajah Ali
Kamea menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak mau menyerah. "Ya udah, kalau aku gak boleh tidur di sini, aku mau ke luar," ucapnya."Keluarlah!" titah Alif datar.Gadis itu memiringkan bibirnya sambil mengangguk-anggukan kepala. "Aku sih gakpapa tidur di manapun. Tapi kalau sampai mama dan papa melihat aku tidur di luar, apa jadinya?" ucapnya sambil berpura-pura sedang berpikir."Hm, mereka pasti akan memarahi om Alif," ucapnya lagi dengan nada penuh penekanan.Alif membulatkan matanya sempurna. Rahangnya mengeras, kedua tangan kekar itu mengepal kuat. Geram pada gadis belia itu yang sudah berani mengancamnya."Kau-"Belum saja Alif menyelesaikan ucapannya. Belia itu tersenyum penuh kemenangan, sepersekian detik kemudian ia berlari menuju ke arah tempat tidur. Tak memedulikan teriakan dan kekesalan suaminya itu.Kamea naik ke atas
Kamea mengerjapkan mata saat bunyi dering alarm pada ponselnya memenuhi indra pendengarannya. Kesadaran gadis itu belum sepenuhnya terkumpul. Ia menguap dengan kondisi mata yang masih tertutup.Ada yang aneh dengan tubuhnya. Terasa berat seperti sesuatu sedang menindihnya. Kamea membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah wajah tampan Alif yang masih terpejam.Deru napas lelaki berkulit putih itu terasa hangat menerpa wajah Kamea. Gadis itu menelan saliva yang terasa menyangkut di tenggorokannya. Terpaku sepersekian detik memandangi wajah tampan sang suami.Pandangannya turun ke bawah, iris berwarna hitam itu membulat sempurna ketika melihat tangan kekar alif melingkar di pinggangnya. Lelaki itu memeluk tubuh Kamea seperti memeluk guling. Sementara guling yang semalam mereka jadikan pembatas, saat ini entah menghilang ke mana."Aaaaaarrrgh!"Teriakan Kamea berhasil membangunka
"Kemana anak itu?" gumam Alif.Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamarnya, tetapi tidak bisa menemukan Kamea ada di manapun. Lelaki beralis tebal itu mengedikkan bahunya kemudian melenggang ke arah lemari pakaiannya.Sebelum ia membuka pintu lemarinya, tak sengaja iris berwarna cokelat itu melihat pakaian kerja miliknya berada di atas kasur lengkap dengan dasi yang senada dengan kemejanya. Alif mengernyitkan alis sesaat. Ia kembali melihat ke sekeliling kamarnya, tetapi tidak melihat siapapun berada di kamar itu selain dirinya sendiri."Ch, pasti kerjaan gadis kecil itu," gumam Alif.Beberapa detik berpikir, menimang apakah dirinya akan memakai pakaian yang dipilihkan Kamea atau memilih pakaian sendiri? Kedua sudut bibirnya tertari ke atas mengulas sebuah senyum yang sulit diartikan. Alif mengeluarkan pakaian yang baru kemudian memasukan kembali pakaian yang sudah dipilihkan Kamea ke dal
Pagi ini, pagi pertama Kamea berstatus istri Reval Alif Pradana. Bibir mungil itu tak henti mengembangkan senyumnya. Ia beranjak dari tempat tidur ketika melihat suaminya sudah masuk ke dalam kamar mandi.Menurut film-film yang pernah ia lihat, seorang istri itu biasanya menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan oleh suaminya. Atas inisiatifnya sendiri, belia itu membuka lemari pakaian Alif kemudian memilih kemeja yang akan dikenakan lelaki itu ke kantor.Kamea memilih kemeja berwarna biru muda yang tergantung di dalam lemari. Ia juga memilihkan dasi yang cocok dipasangkan dengan kemeja pilihannya. Bibir mungilnya kembali tertarik membentuk sebuah senyum yang manis."Nah, mas Alif akan terlihat lebih tampan kalau memakai kemeja ini. Terlihat cerah sesuai dengan kulit putihnya," gumam Kamea.Gadis itu melirik ke arah pintu kamar mandi. Belum ada tanda-tanda Alif sudah selesai mandi. Kamea menyimpan pakaian A