"Mi, selamat, ya. Aku turut bahagia atas pernikahan kamu, semoga kalian bahagia." Abimanyu bersalaman dengan Kamea. Pemuda itu menatap lamat wajah gadis yang pernah dicintainya. Senyumnya masih sama, terlihat manis seperti senyum yang nampak saat pertama kali mereka bertemu.
"Makasih, Bi. Semoga kamu juga cepat menyusul, ya."
Abimanyu tersenyum kecut mendengar kalimat yang diucapkan oleh Kamea. Lantas kemudian pemuda itu menghela napas panjang.
"Doakan saja, semoga bisa secepatnya," sahutnya lirih.
"Hei, dilarang berlama-lama menatap istriku seperti itu!"
Abimanyu langsung menoleh ke arah laki-laki yang ada di samping Kamea. Seperti biasanya suami dari sahabatnya itu akan selalu memasang wajah waspada setiap kali ia dekat dengan istrinya.
"Ya, ya, ya! Aku tahu dan aku tidak akan merebutnya," sahut Abimanyu sambil tersenyum miring. Kemudian dia mel
Hai Kak, Terima kasih sudah membaca novel ini hingga tamat. Selanjutnya, baca novel ke dua Rose ya. Judulnya Jerat Cinta Lelaki Pengganti pena Rose Dreamers
“Menikah? Gak, Alif gak mau, Ma, Pa!” pekik seorang lelaki muda yang menyebut namanya Alif kepada kedua orangtuanya. Reval Alif Pradana, seorang pengusaha muda berparas tampan, putra semata wayang keluarga Pradana. Dia sangat menentang keinginan orangtuanya yang berniat menikahkan dirinya dengan seorang gadis dari rekan bisnis papanya. “Please, sayang. Kamu harus mau, ya. Lagian dia itu gadis yang baik dan juga cantik. Mama yakin kamu pasti akan bahagia menikah dengannya,” bujuk bu Anita kepada putranya. Alif menghela napas gusar kemudian mengusap wajahnya kasar. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran kedua orangtuanya yang masih saja menjodoh-jodohkan putranya sendiri seperti di jaman Siti Nurbaya. Harga dirinya sebagai seorang lelaki sejati ternodai. Mereka seolah menyangka Alif tidak bisa mencari pasangannya sendiri hingga harus dijodoh-jodohkan seperti ini. “Ma …,”
Seorang gadis belia berparas manis, baru saja turun dari taksi di depan halaman sebuah rumah yang mewah. Gadis itu bergeming sambil memerhatikan keadaan di sekelilingnya. Ia melihat secuir kertas untuk memastikan kembali dirinya tidak salah alamat.“Menurut sopir taksi barusan, ini alamat rumah yang tertulis di kertas ini.”Ragu, gadis belia itu melangkah sambil menyeret koper miliknya menuju ke arah pintu rumah mewah itu. Iris mata yang indah itu terpukau dengan pemandangan di sekitarnya yang begitu tertata rapi dengan tanaman bunga yang menyejukan mata.Ia menghela napas panjang sebelum tangan putih kurusnya terangkat untuk mengetuk pintu. Jantungnya mendadak berdebar tak karuan karena gugup. Dia kembali menghela napas panjang untuk menetralkan kegugupannya.Baru saja tangan kurus itu terangkat bersiap mengetuk pintu, tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka dengan sendirinya. Seora
Kamea memerlihatkan senyum termanisnya kepada Alif. Ingin meninggalkan kesan baik pada lelaki beralis tebal itu. Namun bukan membalas, Alif malah memalingkan wajahnya ke arah lain.'Ganteng-ganteng tapi sombong,' gerutu Kamea dalam hati. Kesal karena Alif bersikap tak acuh kepadanya. 'Tapi aku tetep suka, kok,' sambungnya lagi sambil mengulum senyumnya.Bibir mungilnya sedikit memanyun beberapa detik setelah tersadar dari lamunanya. Pendar iris hitamnya tajam menatap Alif yang masih bersikap tak acuh berpura-pura tidak melihatnya.“Alif, ini Kamea yang mama ceritain kemarin. Dan Kamea … ini Alif, yang sering mama ceritain ke kamu.” Mama Anita memperkenalkan Alif dengan Kamea.Wanita paruh baya itu tak henti mengembangkan senyum di bibirnya. Merasa bahagia karena sebentar lagi ia akan memiliki seorang menantu. Mama Anita dan suaminya sudah sangat cocok dengan Kamea.
Entah dilihat dari segi apanya hingga kedua orangtuanya itu sangat menyukai gadis kecil itu. Bahkan mereka tak henti membicarakan hal-hal baik tentang Kamea di depannya hingga ia merasa muak. Sesuai permintaan kedua orangtuanya, Alif pulang lebih cepat dari kantor karena gadis yang akan dijodohkan dengannya sedang dalam perjalanan menuju ke rumahnya. Tak ada pilihan lain selain menuruti semua keinginan papanya itu dari pada membangkang akan berakibat buruk bagi perusahaan yang baru setahun ini ia bangun.“Pa, lihat siapa yang datang?”Alif yang sedang berbicara dengan papanya itu sontak ikut menolehkan wajahnya ke arah wanita paruh baya yang sedang berjalan dengan menggandeng seorang gadis belia. Pendar iris mata cokelatnya tajam menatap wajah gadis belia itu yang belum ia ketahui namanya.“Tunggu. Apa jangan-jangan gadis kecil itu yang akan dijodohkan denganku?” gumamnya pelan.
Alif mendecakkan mulutnya. Iris mata tajam itu menoleh ke arah Kamea yang sedang tersenyum padanya. Sangat menyebalkan!Dia melenggang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang keluarga tanpa berbasa-basi. Baru beberapa jam saja gadis itu ada di rumahnya, tetapi sudah membuat Alif merasa direpotkan. Bagaimana jika harus selamanya hidup bersama gadis kecil itu?Alif memijit-mijit pangkal hidungnya, kepalanya mendadak berdenyut sakit.“Kamea, kamu istirahat dulu di kamarmu, ya. Kamarnya ada di sebelah kamar Alif. Kamu ikuti dia saja.”Alif mendengar mama Anita meminta Kamea mengikutinya. Ia tak peduli. Alif terus melanjutkan langkahnya tanpa merasa terganggu.“Om, tunggu.”Lelaki beralis tebal itu memejamkan mata. Kepalanya semakin terasa sakit saat mendengar suara Kamea memanggilnya seperti itu. Ia menghela napas kasar, kemudian mengerask
Satu bulan yang lalu, Kamea mendapatkan pesan terakhir dari ayahnya. Sebuah kabar yang … entah, kabar ini baik atau malah sebaliknya. Yang jelas, kabar tersebut berhasil membuat pikirannya terganggu.“Mia. Ayah rasa, ayah sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Untuk itu …,”“Ayah bicara apa, sih? Udah ah, lebih baik ayah istirahat aja.” Kamea sengaja memotong perkataan yang hendak disampaikan oleh ayahnya.Gadis belia yang baru berusia sembilan belas tahun itu menatap sendu wajah sang ayah yang sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Bahkan suara lelaki paruh baya itu sudah tidak terdengar jelas karena di mulutnya terpasang alat bantu pernapasan.Kamea menghela napas panjang. Melihat ayahnya sakit seperti ini, membuat jantungnya terasa sesak dan sakit. Ia tak memiliki siapa pun lagi di dunia ini kecuali ayahnya setelah tiga tahun yang lalu ibu Kam
Kamea baru saja ke luar dari kamarnya. Karena terlalu lelah, ia bangun agak siang tak seperti biasanya. Saat ia baru saja menutup pintu kamarnya, bersamaan dengan Alif yang baru saja ke luar dari kamar di sebelah Kamea. “Eh. Selamat pagi om ganteng,” sapa Kamea sambil memerlihatkan senyum termanisnya. Alif mengerlingkan matanya jengah. Merasa risih dan geli mendengar Kamea masih memanggilnya “Om”. Lelaki berkulit putih itu tak berniat untuk membalas sapaan Kamea. Jangankan membalas, melirik saja enggan. Kamea sedikit berlari mengejar langkah Alif agar bisa turun bersama-sama. Dia tak peduli meski Alif seperti tak menganggapnya ada. “Om, mau pergi ke kantor, ya?” tanya Kamea lagi. Bibir tipis berwarna merah bagaikan buah ceri itu tak berhenti mengembangkan senyumnya. Tak peduli walau orang yang sedang coba ia ajak bicara mengabaikannya. Alif memper
“Papa gak mau dengar penolakan lagi. Menikah, atau papa ambil semua saham di perusahaan kamu dan terpaksa kamu akan papa coret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana penuh penekanan di setiap katanya. Mengingatkan kembali bahwa ancamannya tidak main-main.Setelah pagi tadi, pembicaraan soal pernikahan Alif dan Kamea berlanjut malam hari setelah dua lelaki berbeda usia itu pulang dari kantor masing-masing. Mereka berbicara di ruang kerja papa Pradana, jadi tidak akan ada yang mendengar kecuali mereka berdua.Alif mendecakkan mulutnya. Mendesah kasar, geram dengan ancaman sang papa. Namun ia tidak bisa bertindak apapun saat ini, karena sadar baik dirinya juga perusahaan yang baru satu tahun ia bengun itu masih membutuhkan bantuan dari papanya.“Semua keputusan ada ditanganmu. Menikah atau dicoret dari daftar keluarga!” tegas pak Pradana lagi.“Aaaaargh!&rdq