Share

4 - Rencana Besar

SMU PELANGI memiliki tata ruang bangunan tiga tingkat yang berbentuk layaknya huruf U. Di mana setiap tingkat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sayap kanan dan sayap kiri yang ditengahi oleh tangga utama yang cukup besar. Kendati begitu, masing-masing sayap juga memiliki tangga untuk mempermudah akses jalan para siswa. Mengingat, bangunannya yang cukup luas.

SMU Pelangi hanya memiliki 18 ruang kelas saja, di mana masing-masing kelas terdapat enam ruangan kelas. Namun, kelas 11 dan kelas 12 dibagi sesuai jurusan, yaitu jurusan IPA memiliki dua ruangan kelas, dan jurusan IPS memiliki empat ruangan kelas. Pun, kelas 10 terdapat enam kelas dan dibagi menjadi tiga ruangan kelas yang menduduki lantai dasar pada sayap kanan dan sayap kiri. Sedangkan kelas 11 IPA menduduki lantai dua, dan kelas 12 IPA menduduki lantai tiga pada sayap kanan.

Beralih ke bagian tengah. Beberapa laboratorium sains, fasilitas pelayanan, ruang guru, dan ruang OSIS, terdapat di lantai dasar di antara tangga utama. Kelas 11 IPS menduduki tingkat dua dan kelas 12 IPS menduduki tingkat tiga. Di mana setiap dua ruangan kelas ditengahi oleh tangga.

Ruang serbaguna, dan UKS menduduki tingkat dua, sedangkan ruang komputer, ruang siaran, dan perpustakaan menduduki tingkat tiga pada sayap kiri. Namun, yang membedakannya di bagian tengah bangunan dan sayap kiri ditengahi sebuah lorong panjang yang menjorok ke dalam untuk menuju ke kantin dan juga parkir yang berada tepat di belakangnya.

Seperti saat ini, Arvin menarik dasi milik Awes, menyeretnya di sepanjang lorong untuk menuju ke ruang OSIS. Dadanya terlalu panas, hingga tak mengindahkan pekik suara Awes yang kesakitan.

“Lepasin gue, Vin! Gue nggak bisa napas!” pinta Awes dengan memegangi dasinya.

Arvin mendesah pelan. Memilih melepaskan tarikan pada dasi Awes, setelah sampai di ruang OSIS. Lalu, mendaratkan bokongnya di kursi.

Deru napas Awes bergemuruh, seiring nyalang netranya menatap tajam Arvin.

“Wes, seharusnya lo nggak usah meladeni orang macam Raja! Dia akan semakin besar kepala kalau lo ladenin kayak gitu!” Arvin mulai angkat bicara. Melampiaskan semua kekesalannya kepada cowok berkulit sawo matang di sampingnya.

“Gue nggak suka sama cara dia mempermainkan Yoga! Sok, berkuasa banget itu orang!” seru Awes seraya merapikan seragamnya.

Arvin berdecak kesal. Lalu, memberikan segelas air mineral yang ada di atas meja kepada Awes, dan menyanggahnya, "Tapi, nggak gitu caranya, Wes! Semua orang di sekolah ini tahu kalau Raja memang berkuasa. Bahkan, para guru pun nggak ada yang berani buat memberi pelajaran ke dia. Yang ada, nanti malah dia memutar balikkan fakta, dan lo yang terkena imbasnya. Lo tahu apa akibatnya? Lo bisa dikeluarin dari sekolah ini, Wes!”

Awes menerima air mineral itu. Kemudian, mendaratkan bokongnya di atas kursi tepat di depan meja bundar besar yang biasa digunakan para anggota OSIS rapat. “Kenapa si lo selalu membela mereka? Apa karena lo juga orang kaya, jadi lo terus-terusan membela mereka? Kalau gitu, kenapa lo nggak bergabung saja sama mereka? Kenapa lo malah mau sahabatan sama gue, si tukang ojek?”

Arvin berdecak kecil. Menundukkan kepala. Lalu, menggeleng, mendengar runtutan pertanyaan tak bermutu dari cowok itu. Menurutnya, perkataannya itu sama sekali tak ada maksud untuk membela Raja. Hanya saja, dirinya tak ingin melihat sahabatnya dikeluarkan dari sekolah ini.

Arvin mendongak. Menatap manik mata cokelat milik Awes di hadapannya. Tak lama, pandangannya tertuju ke arah gelas air mineral yang tengah digenggam oleh cowok itu. “Mending lo minum dulu, Wes! Biar lo fokus, dan otak lo dingin,” sarkasnya, seraya menunjuk gelas air mineral tersebut.

Awes patuh. Meminum air mineralnya sambil membuka lebar telinga, untuk mendengar jawaban dari cowok di hadapannya. 

Arvin mendesah pelan, sebelum mulai menjelaskan,“Gue nggak suka sama sifat arogan mereka, terutama Raja. Menurut gue, mereka itu anak manja yang suka menghabiskan uang kedua orang tuanya, tanpa peduli bagaimana susah dan lelahnya mencari uang. Dan jelas, itu bukan tipe gue. Lo tau, Wes? Gue suka sama lo --"

Uhuuk! Uhuuk!

Tiba-tiba, Awes tersedak. Netranya melotot saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Arvin kepadanya. Ia pun mengelap air yang ada di bibir dengan baju lengan seragamnya.

“Gila lo, Vin! Gue masih normal kali. Gue suka sama cewek. Jadi, ini alasan lo buat terus-terusan jomlo?” Awes manatap Arvin tak percaya. Bagaimana bisa seorang Arvin yang memiliki pesona tajam untuk memikat para cewek, ternyata dia menyukai cowok. Oh, astaga!

"Aarrrrgghh!" Arvin berteriak kesal seraya mengacak rambutnya frustrasi. Ya, Tuhan. Ia tak pernah menyangka, bagaimana bisa dirinya memiliki teman yang sangat bodoh seperti Awes? Ternyata, berbicara dengan seorang Awes lebih susah, dari pada harus mengerjakan soal mata pelajaran masa lalunya.

“Gue suka sama lo yang pekerja keras, lo yang mandiri, dan lo yang nggak pernah merasa malu ke sekolah sambil ngojek, demi mencari pundi-pundi rupiah. Itu yang gue suka dari lo, Wes!” terang Arvin kemudian, dengan batas kesabaran yang masih tersisa.

Awes tertegun mendengar pernyataan dari sahabatnya itu. Ia tak pernah mengira, bahwa Arvin akan mengatakan hal yang akan membuatnya bangga. Benar. Pekerja keras? Mandiri? Ya, semua itu ia lakukan supaya tak seperti sandal jepit, yang selalu terjepit, hanya karena perkara duit. Sebab, sandal jepit diibaratkan seperti dirinya yang hanya merupakan seorang rakyat kecil. Di mana hanya bisa bertahan hidup, dengan bekerja keras.

"Aku sudah menyuruh Raja untuk tutup mulut tentang masalah ini." Happy yang baru tiba, memberi informasi. Lalu, menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di samping Awes.

Awes mengembuskan napas lega. “Thank’s, Py,” sahutnya kemudian.

Happy melenggut. Menatap Awes. “Aku harap kamu nggak akan melakukan itu lagi, Wes. Bisa-bisa kamu yang dirugiin nanti. Kamu tau kan, Raja itu punya kuasa di sekolah ini,” nasihatnya kemudian.

Awes melenggut. Lalu, mendesah pelan. Ia akui. Ia memang salah. Dan mulai hari ini, dirinya harus benar-benar bisa menahan amarahnya itu jika masih ingin tetap bersekolah di SMU Pelangi ini.

Arvin memilih untuk mengganti topik pembicaraan, saat keheningan mulai membekap ruangan ini. “Ngomong-ngomong, kita sudah hampir dua minggu pasang CCTV. Dan, sepertinya nggak ada lagi kasus pencurian di sekolah kita. Itu berarti, rencana kita berhasil,” ucapnya tersenyum senang.

“Syukur, deh. Mungkin Wolf takut tertangkap kamera pas lagi melakukan aksinya. Jadi, dia memilih untuk berpikir dua kali lipat buat melakukannya,” tambah Awes turut senang.

Mereka tersenyum senang. Pasalnya, telah mencapai tujuan. Namun, mereka tak menyadari. Jika ada seseorang yang mendengar percakapan mereka dari balik muka pintu ruang OSIS. Orang itu mengulum permen stick yang baru dibelinya, seraya menyapa teman-temannya yang melintas di hadapannya.

Orang itu tersenyum. “Tunggu permainanku.”

••••

“Sial! Apes banget gue hari ini. Semua gara-gara tukang ojek, sialan itu!” rutuk Raja yang masih dikuasai oleh amarah.

“Lima menit harus sudah sampai di sekolah!” Lisa memutus panggilan teleponnya. Lalu, menoleh ke arah Raja di samping kirinya. “Aku sudah menyuruh supir kamu buat datang ke sini bawain seragam kamu,” tambahnya sembari memberikan tisu ke arah cowok bertubuh tinggi itu.

Raja menepis tisu itu. Ia lebih memilih untuk membuka seragam putihnya dan hanya menanggalkan kaos putih polos yang juga basah. “Nggak perlu!” tukasnya.

Kevin berdecak. Bangkit dari duduknya, untuk menyusul Gavin yang sudah lebih dulu meninggalkan kantin. Ia tak ingin terus-menerus melihat raut wajah Raja yang begitu menyeramkan. “Gue duluan ke kelas, ya.”

••••

Ano isu ni suwatte iru otoko no hito ha hansamu desu.” (Seorang lelaki yang sedang duduk di kursi itu sangat tampan)

Buaya sensei. Begitulah, panggilan sayang muridnya kepada Ayako, yang merupakan seorang native speaker pengajar mata pelajaran Bahasa Jepang. Ayako sebagai mahasiswa yang sedang belajar Bahasa Indonesia di negeri ini, hanya bisa pasrah dipanggil seperti itu. Menurutnya, memanggil dengan nama seperti itu merupakan pemborosan kata, di mana panggilan Bu dan sensei memiliki satu makna. Tapi, sebagai orang asing nama itu cukup unik untuknya.

“Ano isu ni suwatte iru otoko no hito ha hansamu desu.

Semua penghuni kelas mengikuti ucapan Ayako. Walaupun pada kenyataannya, mereka tak paham apa maknanya. Sama halnya dengan Awes, cowok itu malah lebih memilih menatap secarik kertas milik Lisa yang diberikan oleh Wolf, ketimbang harus mengikuti mata pelajaran ini. Bahasa Indonesia saja, yang merupakan bahasa kesehariannya, harus mengikuti remedial. Lalu bagaimana dengan bahasa asing yang notabene-nya memiliki tingkat kesulitan yang cukup besar? Awes tak habis pikir, bagaimana bisa sekolahnya mewajibkan muridnya, untuk mengikuti mata pelajaran dari negara yang sudah pernah menjajah bangsa Indonesia ini?

Di saat semua penghuni kelas tengah khusyuk merapalkan apa yang diucapkan Buaya sensei, pemilik iris mata berwarna cokelat itu, memilih untuk mencari makna apa yang ingin disampaikan oleh Wolf kepada Lisa.

“Burung merak betina yang sangat cantik. Bulu ekornya yang indah membuat wolf tak kuasa menahan diri untuk memilikinya. Wolf ambil beberapa helai bulu ekormu untuk diberikan kepada para kancil kecil. Ingat! Jika kau terus mengembangkan bulu ekormu, Wolf akan terus datang kepadamu. Untuk merontokkan satu persatu bulu ekormu.” Awes membatin, supaya tak dicurigai.

“Burung merak jantan, setau gue dia suka pamer dengan mengembangkan bulu ekornya buat memikat burung merak betina. Apa mungkin yang dimaksud Wolf kalau Lisa suka pamer?”

Awes meletakkan surat itu di dalam buku Bahasa Jepangnya. Membaca suratnya dengan mengangkat buku pelajarannya. Sehingga semua mengira bahwa Awes tengah membaca buku yang sedang dipelajarinya.

“Kancil kecil? Kira-kira dia siapa? Mungkinkah dia siswa di sekolah ini?” batinnya, seraya terus berpikir.

Hingga detik kemudian, Awes berhasil menemukan makna surat tersebut, dengan otak pas-pasannya. “Lisa yang suka pamer. Membuat Wolf ingin mengambil uangnya untuk diberikan kepada kancil kecil. Jika Lisa terus-menerus pamer, maka Wolf akan terus mengambil uangnya.”

Braaakk!!

Seketika, Awes menjatuhkan bukunya di atas meja, hingga menimbulkan kebisingan di ruangan. “Nggak salah lagi. Hahaha. Ya, itu pasti maknanya. Hahaha. Ya, ampun. Nggak nyangka gue sepandai ini,” pekiknya senang. Sayangnya, ia tak menyadari jika ucapannya itu terdengar oleh semua penghuni kelas.

Doushita no, Awes san?” (Ada apa, Awes?) tanya Ayako yang mendengar suara bising dari meja milik Awes.

Pandangan Awes tak lepas dari surat yang ada di hadapannya. Ia tersenyum. Benaknya sedang berangan akan pujian yang akan didapatnya nanti. Hingga tak sadar, jika dirinya menjawab, “No, no problem.”

Sontak saja, jawaban Awes itu memancing gelak tawa para penghuni kelas, yang berhasil menyadarkan lamunan cowok itu. Awes tercengung. Kemudian, menyeringai lebar, seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Beruntung, Ayako masih berbaik hati dengan hanya menyuruh cowok itu tetap fokus ke mata pelajarannya.

••••

Sebuah rumah mewah bercat putih dengan gaya modern, tampak terang benderang di bawah sinar rembulan. Di dalam kamar nun luas, Wolf tersenyum seraya menatap layar laptop yang berisikan rekaman aktivitas para penghuni sekolah. Berkat CCTV yang terpasang, ia tak perlu bersusah payah mengamati situasi secara langsung. Namun, dengan adanya CCTV pula dirinya harus lebih berhati-hati untuk melakukan aksinya.

Saat ini, Wolf telah selesai membuat rencana besarnya. Pun, sebuah pesan untuk korban barunya telah tertulis rapi di secarik kertas.

Pandangannya beralih ke arah figura motor balap yang berukuran kecil di hadapannya. Ia mengambil benda tersebut dan menjalankan motor kecil tersebut di atas meja belajar dengan tangan kanannya. Sambil bermain, Wolf tersenyum sambil membayangkan keberhasilannya esok hari.

Jadwal besok:

07.00-09.00

11 IPA 1 dan 11 IPS 3 berolah raga di lapangan.

07.00-08.30

Pertemuan wali kelas dengan orang tua murid kelas 10 di ruang OSIS.

07.00-07.15

Masih banyak guru berkeliaran di lingkungan sekolah.

Rencana:

07.10 Izin keluar kelas

07.35 Sudah sampai di toilet

07.40 Memakai jaket

07.42 Mulai beraksi menuju ke kelas

07.49 Sampai di kelas

07.59 Harus sudah ambil barang

08.05 Bersiap untuk keluar kelas

08.10 Kembali menuju ke toilet

09.00 Kembali ke kelas

To be continued

Always, Happy dan Mbak Wik mereka semua ada di dunia nyata XD

Always itu temen aku yang profesinya memang sebagai ojek Online.

Happy temen Jepang aku yang nama aslinya Sakura

Mbak Wik dia itu si penjual Pop Ice di deket sekolahku.

Ternyata, lingkungan sekitar memang benar-benar bisa menghasilkan sebuah ide cerita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status