Share

005 – 'Mimpi'

Kekecewaan.

Amarah.

Kesedihan.

Jai masih tidak percaya pacarnya telah memutuskan hubungan mereka hanya karena dia miskin. Ya, itu artinya Meghan tidak layak untuk Jai. Wanita itu tidak pantas menerima semua hal yang telah Jai berikan untuknya. Tabungannya... Uang yang Jai dapatkan selama ini...

Seandainya saja Jai bisa putus lebih cepat. Itu adalah hal yang paling Jai sesali dalam hubungannya dengan Meghan.

“Kamu miskin.”

Suara Megan menggelegar di ruang gelap tak terhingga tempat Jai berada saat ini.

Intensitas rasa sinis dalam suaranya membuat Jai kesal bukan main. Dia berharap tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Kalau nanti dirinya sudah kembali ke kota, Jai akan memastikan kalau Meghan atau Chen atau apa pun itu, tidak akan ada yang bisa menghancurkan kehidupan Jai di hari esok dan sisa hidupnya di masa depan. Ah, Jai bahkan tidak akan tanggung untuk pergi ke Jerman kalau memungkinkan.

Tidak berselang lama suara lain muncul. Sebuah suara yang terdengar seperti letusan kecil.

"Sekarang apa lagi?" sungut Jai.

Beberapa saat kemudian, muncul sebuah percikan cahaya di depan Jai. Sebuah percikan cahaya yang terlihat seperti letusan kembang api di langit malam. Namun, hanya dalam hitungan milidetik cahaya itu berubah menjadi letusan nuklir zat napalm yang membakar habis segala hal. Bukan hanya itu, warna letusannya bukan merah atau orange, melainkan putih dan biru.

Api biru pun menyebar dari arah kanan ke depan, diikuti oleh sebuah topan yang juga terlihat seperti api biru dari arah kirinya. Kedua api biru itu bertemu dan saling memutari satu sama lain hingga membentuk sebuah naga raksasa yang terbuat dari api biru dan putih.

Jai teramat sangat heran dengan apa yang baru saja terjadi, tapi kemudian beberapa bayangan siluet muncul. Siluet itu berukuran besar dan kecil. Bayangan yang pertama kali muncul berwarna hitam, tetapi kemudian berubah menjadi abu-abu gelap dan berbentuk manusia. Para bayangan itu sebagian besar tengah duduk dan berlutut di tanah. Beragam suara pun mulai terdengar oleh Jai.

Jai menyadari kalau suara itu kebanyakan berupa rengekan dan tangisan, dan suara-suara itu datang dari bayangan yang Jai lihat.

Hal itu membuat Jai sadar kalau mereka adalah manusia yang tengah ketakutan.

Tidak lama kemudian, muncul lebih banyak bayangan yang sedang membawa senjata. Beberapa bayangan membawa pedang dan perisai, beberapa membawa tombak, dan beberapa lagi terlihat menggunakan busur dan anak panah. Mungkinkah mereka tentara? Jai menerka.

Beberapa pemanah menarik busur mereka sambil berlutut dan beberapa sambil berdiri, tetapi mereka semua mengarahkan busur mereka pada titik yang sama, orang-orang yang tengah duduk dan berlutut di tanah. Para prajurit menargetkan manusia? Tidak, bukan hanya itu. Bukankah mereka yang sedang ketakutan terlihat seperti warga sipil?

Gambaran tempat pun berubah. Api berwarna biru-putih itu kini menjadi lebih tenang, tidak lagi berbentuk seperti naga besar. Sebaliknya, api itu memperjelas gambaran tempat yang Jai lihat. Lantai dan dinding yang terbuat dari batu bata, spanduk yang digantung, dan semacam tempat duduk yang lebih cocok disebut dengan singgasana yang terletak di tengah ruangan. Bayangan seseorang pun muncul di depannya. Dilihat dari siluetnya, bayangan itu terlihat seperti seorang pria. Pria itu memegangi perutnya sambil perlahan mengeluarkan pisau belati yang tertancap di sana. Dia mendesis dan mengerang kesakitan saat menarik pisaunya keluar.

Satu bayangan lagi muncul tidak jauh di depan pria yang meringis. Sebuah tawa pun terdengar dari bayangan baru itu. Suaranya begitu keras dan terdengar jahat.

Kemudian, kilauan listrik putih menyembur dari tangan sang pria yang terluka, dia pun meninjukan tangannya ke hadapan pria yang ada di depannya untuk membalas. Namun, gerakannya terlalu lambat dan lawannya bisa mengelak dengan mudah sambil tertawa hingga bayangan mereka menghilang. 

Gambaran yang ada di hadapan Jai berubah lagi. Kali ini, api kembali berkobar. Api itu tidak membentuk naga. Namun berbentuk abstrak dan lebih terlihat seperti kobaran api yang sangat besar, berputar-putar di sekitar tempat itu dengan sangat gila.

Sebuah gelombang besar melahap pepohonan dari arah kiri ke kanan, kemudian gelombang itu menyala seperti sebuah api besar yang kemudian membakar pepohonan.

Sekali lagi, semua bayangan itu memudar. Orang-orang yang ketakutan itu muncul kembali di tengah hutan yang terbakar. Mereka membentuk lingkaran dan saling berpegangan satu sama lain. Tangisan mereka semakin pecah ketika bayangan para prajurit bermunculan di sekitar mereka.

Dua bayangan lagi muncul, terlihat seperti dua pria dari bayangan sebelumnya. Pria yang terluka itu berjongkok di depan orang-orang, dan pria lain yang dianggap Jai sebagai pria jahat itu berdiri tegak di depannya.

Jai tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi dia bisa melihat kobaran api yang tidak biasa itu semakin besar dan terang. Dengan cepat, cahaya itu memenuhi seluruh pandangan mata Jai. Cahayanya begitu terang hingga Jai memilih untuk menutup matanya. Meski cahaya ini sangat terang, tetapi tidak telalu menyilaukan. Jai dapat merasakan hawa hangat yang mulai memanas di dalam dirinya.

Jai masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi.

Cahaya silau itu pun kemudian memudar perlahan dan membentuk siluet seorang pria. Siluetnya berwarna biru putih, begitu kontras dengan kegelapan yang kembali memenuhi lingkungan sekitar Jai.

“Jai.” Sebuah suara bergema dengan nada serius.

Jai mengerutkan keningnya. Suara itu sangat familiar. Jai bahkan bisa merasakan tatapan yang datang dari siluet pria itu. Terasa sangat serius, tapi juga hangat. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Jai Waetford.” Suara itu kembali menggema.

Jai terkejut dan berhati-hati merespon panggilan itu. Suaranya mulai bisa Jai kenali. Ini adalah suara milik bayangan pria yang ditusuk perutnya. Hanya saja, bagaimana orang ini tahu nama lengkap Jai? Ada apa sebenarnya?

“Bagaimana kau tahu namaku?! Kau siapa?!" tanya Jai.

"Bunuh dia. Bunuh naga putih itu.” Jawaban dari pria itu tidak sesuai dengan pertanyaan Jai.

Jai mengerutkan kening lebih dalam karena kesal, tetapi dia berusaha menenangkan diri dan mencoba bertanya lagi.

"Kau siapa? Kenapa aku harus mendengarkanmu?”

Pria itu kemudian berbicara lagi, "Bunuh dia untukku... Dan jawabanmu akan terungkap."

Sebelum Jai sempat bertanya lagi, siluet pria itu berubah menjadi kelopak putih yang terbang seolah bunga dandelion yang tertiup angin.

Kegelapan memenuhi tempat itu sekali lagi, tapi perasaan hangat itu masih ada.

Jai sangat bingung dengan segala hal yang sudah dia saksikan, terlebih permintaan pria itu, kenapa bisa semua itu terjadi? Ketimbang diliputi kebingungan tidak terkira seperti ini, Jai jauh lebih memilih tersesat saat sedang mengirimkan paket makanan, itu bahkan terdengar jauh lebih menyenangkan.

Tiba-tiba saja ada sesuatu yang berlendir meluncur ke atas dan ke bawah di pipi kiri Jai. Sontak saja Jai terbangun. Dia mengerutkan wajahnya lalu melirik ke sebelah kiri, terlihat seekor anak kucing putih yang balas menatapnya.

Anak kucing itu pun mengeong dan melompat ke arah Jai. Seketika Jai menggerutu karena gerakan yang tiba-tiba itu. Dia lekas mengulurkan tangannya dan menarik anak kucing dari pundaknya. Anak kucing itu berukuran cukup kecil hingga Jai bisa memegang tubuhnya hanya dengan satu tangan.

"Usha... Turun..." Gumam Jai, suara paginya terdengar sedikit lebih serak dari yang diharapkan.

Jai menatap anak kucing yang tergantung di udara. Anak kucing itu balas menatapnya. Mereka melakukannya selama beberapa detik sebelum anak kucing itu mengeong sebagai tanggapan. Jai pun terkekeh.

Sebuah ketukan pun terdengar dari pintu. “Jai? Apa kamu sudah bangun?"

Itu adalah suara Miria. Jai mengerjapkan matanya beberapa kali dan mencoba untuk lebih terjaga. Paling tidak Jai sudah tidur, meski mimpinya dihiasi kegelapan dan api biru-putih dengan segala tetek bengeknya. Jai tidak ingin memikirkannya dan lekas menyadarkan diri.

"Ya Miria, aku sudah bangun."

“Syukurlah, bisakah kamu ikut denganku ke pasar? Aku ingin membuatkanmu sarapan sebelum kamu pergi. Kakek juga sudah pergi melaporkan kejadian kemarin.”

"Tentu."

"Baik. Aku akan menunggu di depan pintu.”

Derap langkah Miria pun terdengar menjauh.

Jai meletakkan anak kucing di kepalanya. Dia pun berdiri dan mulai meregangkan tubuhnya. Anak kucing itu terlihat ketakutan dan memegangi kepala Jai dengan kedua cakarnya ketika Jai meregangkan lehernya. Setelah selesai, Jai pun melirik si anak kucing berbulu dan tersenyum.

“Jangan membuat Miria menunggu, ya?”

Kemudian mereka pun pergi bersama Miria ke pasar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status