Share

006 – Pasar

Jai dan Miria berjalan berdampingan menuju pasar. Usha kecil ada di antara mereka, berjalan dengan begitu anggunnya seperti pemilik jalan. Sudah beberapa kali Usha melewati pergelangan kaki Miria seolah-olah memang bermaksud melakukan hal itu. Tindakannya itu mengejutkan dan menarik perhatian Miria setiap saat. Meski begitu, Miria tidak merasa terganggu, dia bahkan menganggap apa yang dilakukan oleh Usha sebagai tindakan yang menggemaskan.

Jai bersyukur dengan apa yang dilakukan oleh Usha. Setidaknya hal itu bisa mengalihkan perhatian Miria darinya dan Jai bisa lebih memikirkan lagi tentang mimpinya semalam.

Jai tidak salah ingat. Dia bermimpi tentang api biru dan putih, dengan api putih mendominasi warna biru. Ada juga beberapa bayangan orang. Sebagian bayangan itu bisa Jai kira sebagai pihak militer, dan sebagian lain adalah orang-orang yang berstatus lebih rendah, mungkin lebih tepatnya penduduk biasa. Suasananya terlihat seperti medan perang, tetapi tidak terlalu besar untuk bisa disebut sebagai perang. Hanya saja Jai tahu kalau tindakan para militer itu terkesan sedang menindas penduduk biasa dengan alasan yang tidak diketahui. Jai tidak yakin apa alasannya hingga para militer berbuat seperti itu, dan Jai juga tidak ingin terlibat. Namun, ada perasaan aneh di dalam hatinya ketika teringat dengan bayangan terakhir. Bayangan itu membuat Jai merasa harus mengikuti dan melakukan apa yang dia minta. Ah tidak, lebih tepatnya bayangan itu memberi perintah pada Jai untuk melakukan sesuatu.

Jai sama sekali tidak tahu apa-apa tentang naga putih dan juga tempat di mana pertempuran itu terjadi. Apa mungkin pertempuran itu masih terjadi? Rasanya tidak mungkin. Bayangan itu menyuruh Jai untuk membunuh naga putih untuknya. Bukankah itu artinya peperangan itu sudah berada di masa lalu dan bayangan itu ingin Jai membalaskan dendamnya. Bukankah ini lebih masuk akal?

Jai mengangguk tanpa sadar.

“Ya, itu lebih masuk akal,” lirih Jai tanpa sadar.

“Ada apa Jai?”

Jai tersentak dan menatap Miria. Orang yang ditatap balas menatap.

"Ah tidak apa-apa... aku uhmm..." Jai melihat sekeliling, berusaha mencari kata-kata yang pas untuk berkilah.

Miria menatap Jai dengan bingung. "Hmm?"

Jai mengerutkan bibirnya. Belum sempat Jai berkata, wajah Miria terlihat lebih cerah sebelum kemudian berkata, "Jai, apakah kamu sudah mendapatkan ingatanmu kembali?"

"Ah ..." Jai lupa kalau dirinya berpura-pura amnesia pada Miria dan Barun. Seketika saja Jai langsung berpura-pura tersenyum gugup, "Ti-tidak, aku tidak ... aku sudah berusaha."

Miria tertunduk. "Oh... Sayang sekali...”

Tidak berapa lama kemudian Miria memberi Jai senyuman meyakinkan dan berkata, "Kamu akan segera ingat. Jangan memaksakan diri, oke?"

Jai menggaruk bagian belakang kepalanya; semburat merah muda nyaris tak terlihat di tulang pipinya.

"Baik," jawab Jai.

Miria tersenyum dengan begitu hangatnya lalu memalingkan pandangan dan melihat lurus ke depan.  Jai pun mencoba untuk lebih memperhatikan lingkungan sekitarnya. Waktu pertama datang saat malam hari pandangannya cenderung terbatas jadi dirinya tidak sempat memperhatikan seperti apa tempatnya saat ini berada. Ya, inilah kesempatan Jai untuk melihat-lihat. Hanya saja apa yang dilihat Jai membuatnya mengerutkan kening.

Semalam Jai melihat desa Letush ini sebagai desa fantasi dengan atap rumah dari jerami yang berwarna pucat, dinding yang terbuat dari kayu dan batu bata, juga jalanan tanpa aspal alias hanya tanah. Jai kira lingkungan ini akan berubah setelah istirahat semalam, tapi ternyata tidak.

Kondisi lingkungan sekitar yang dilihatnya saat ini sama persis seperti semalam. Atapnya masih jerami, dindingnya pun masih berbahan kayu dan batu bata, juga jalanan yang tetap berupa tanah. Bedanya saat ini ada banyak orang, tidak sesepi semalam, dan lingkungan terlihat jauh lebih besar. Apa ini artinya Jai sudah gila?

‘Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apa kepalaku terbentur terlalu keras?’ Batin Jai bergejolak.

Jai berusaha memikirkan berbagai kemungkinan lain yang bisa menjawab sejuta kebingungannya hingga dia pun mendengar suara teriakan refleks Miria. Kesadaran Jai pun kembali dan segera saja Jai menolek ke kanan. Namun, Miria tidak ada di sana.

“Miria?” panggil Jai khawatir.

Suara desisan di belakang Jai membuatnya segera berbalik. Miria terlihat sudah terduduk di tanah sambil memegangi sisi kanannya. Usha berada tidak jauh di samping kanan Miria, kucing kecil itu terlihat waspada sambil sesekali mendesis garang pada beberapa pria yang ada di hadapan mereka.

“Miria?!” Jai lekas berjongkok. Merangkul pundak dan sisi kanan badan Miria. “Apa yang terjadi?”

“A-aku baik-baik saja.” Miria tersenyum seolah ingin meyakinkan Jai, tapi tetap saja Jai tidak yakin dengan kondisi Miria.

“Kamu tidak baik-baik saja, Miria.” Jai mengerutkan kening penuh khawatir.

Miria terdiam, dirinya tidak bisa menyangkal sama sekali.

“Kau berani menyentuhku, nona?!” bentak kasar seorang pria bersama kawannya yang lain.

Suaranya teramat sangat tinggi dan nyaring, membuat semua orang yang ada di sekitar melirik. Beberapa orang bahkan menghentikan kegiatan mereka dan mengalihkan perhatiannya pada keributan yang ditimbulkan di pria.

Usha mendesis marah pada para pria itu. Jai pun menatap mereka dengan tatapan nyalang. Bagi Jai, Miria tidak akan mungkin menyentuh atau menabrak mereka sekeras itu. Seharusnya pria itu tidak semarah itu kalau memang benar Miria tidak sengaja menyenggolnya.

“Dasar pereman,” lirih Jai yang langsung mengerti.

“Ma-maafkan aku...” ucap lirih Miria yang masih ada dalam rangkulan Jai, kepalanya menunduk sedih.

Pria yang ada di tengah melangkah maju sambil memberikan ekspresi mengejek. Matanya terlihat bersinar melihat Miria, dia pun menyeringai dan berkata, “Aku akan melepaskan kau, kalau kau berikan aku semua ruby yang kalian punya.”

Miria menggelengkan kepalanya. "Aku tidak punya..."

Seringai pria itu melebar, "Kurasa aku harus memberimu pelajaran."

Jai mengerutkan kening. “Hei, dia sudah meminta maaf. Lepaskan saja.”

Seketika saja perhatian si pria teralihkan pada Jai. “Hah? Siapa kau? Penjaganya? Kau tidak takut dengan kami?”

Jai mengangkat salah satu alisnya, rinai wajahnya tidak menunjukkan ketakutan sama sekali.

“Kenapa aku harus takut pada pereman sepertimu?” cecar Jai berterus terang.

Usha kembali mendesis pada para pria. Kucing itu seolah membenarkan perkataan Jai. Dirinya bagaikan tengah berkata: 'Ya, mengapa kami harus takut pada kalian?!'

Mendengar perkataan Jai membuat wajah Miria memucat dan hampir panik. Dia menatap Jai dengan mata lebar kemudian memohon, “Jai, ayo pulang...”

Pria itu mengalihkan pandangannya kembali pada Miria. Tatapannya tidak terbaca dan dia pun tidak menjawab perkataan Jai.

Miria tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya, tapi yang jelas Miria tidak ingin berurusan dengan para pria yang ada di hadapannya saat ini.

"Aku tahu kamu bisa bertarung, tapi tolong jangan membuat masalah dengan mereka ..." bisik Miria memohon.

Jai menatap Miria selama beberapa detik sebelum kembali menghadapkan pandangannya pada para pria pereman. Batin Jai bergemuruh dengan dua pilihan. Dia bisa saja menghajar para pereman ini dengan alasan telah menyakiti Miria atau dirinya pergi seolah tidak terjadi apa pun. Pilihan yang kedua sangat lebih baik dipilih demi menghindari masalah di masa depan yang mungkin muncul pada Miria dan kakeknya. Namun, Miria sudah terluka dan Jai pun sudah condong untuk memilih pilihan pertama.

Jai pun bertanya pada Miria sebelum dirinya benar-benar mengambil keputusan. “Apa kau benar-benar menabrak mereka, Miria?” tanya Jai pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari para pria pereman itu.

Miria terdiam sejenak. "Uh... aku... Mereka..."

"Apa itu benar?" tanya Jai lagi, tanpa mengurangi perasaan kesal pada para pria itu.

Miria menelan salivanya sendiri. Dia pun melirik pada para pria pereman yang menatapnya dengan sinis dan penuh kesombongan.

Salah satu pria tertawa dan Usha mendesis padanya. Kucing kecil itu mencoba mengintimidasi mereka, tapi sia-sia saja karena badannya yang kecil dan tidak terkesan menakutkan sedikit pun.

Miria pun menukar pandangannya pada Jai sebelum kemudian merunduk dan berbisik, “ti-tidak.”

"Baik. Menyingkirlah sedikit untukku, oke?”

“Tapi Jai—“

"Tidak masalah. Ini tidak akan sulit." Jai tersenyum lembut pada Miria.

Miria tersipu sesaat, tapi kemudian mengangguk. Dia pun bergegas pergi untuk memberi Jai ruang.

"Oh, kau ingin diberi pelajaran, bebek jelek?" Salah satu dari mereka berkata dengan sinis. Mereka pun mulai menunjukkan otot di lengan mereka.

Semua orang yang ada di sekitar menyadari akan segera terjadi pertarungan, segera saja mereka pun mundur memberikan ruang. Tidak ada satu pun yang berusaha menghentikan pertarungan, meski ada beberapa dari mereka yang terlihat gelisah campur panik.

Jai merasa jauh lebih bebas setelah Miria menyingkir. Dia pun berdiri dan meregangkan ototnya. Dia baru bangkit dan tidak sempat berolahraga. Meski pun Jai berkata kalau pertarungan ini akan mudah, tapi bukan berarti dirinya tidak boleh melakukan pemanasan.

Sebuah desis mengalihkan perhatian Jai ke bawah.

Ah, ya. Anak kucing kecil itu masih ada.

“Kamu juga, Usha. Pergilah dengan Miria,” ujar Jai.

“Kau berbicara dengan kucing? Dasar bodoh! Lihatlah, dia sedang berbicara dengan kucing!” Para pereman itu menertawakan Jai.

Melihat para pereman tertawa tidak membuat Jai kesal, meski pun alis kanannya berkedut dengan sendirinya.

Anak kucing itu mendesis lagi kemudian berdiri tegak. Para pereman itu semakin tertawa terbahak-bahak.

Jai mengangkat bahunya. "Baiklah. Jangan salahkan aku jika ekormu terinjak.”

Usha menjawab dengan sebuah 'auman' ala kucingnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status